Senin, 26 Desember 2011

Merasakan Kendali Atas Kesulitan


“Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil sekalipun, akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya.” (Paul G. Stoltz)

Pada tulisan sebelumnya saya membahas mengenai Adversity Quotient (AQ) , karya Paul G. Stoltz, dan keempat dimensinya, yaitu CO2RE. Dimensi pertama, yaitu “C(control) atau kendali mempertanyakan “Seberapa besar kendali yang Anda rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan?”. Kendali berhubungan langsung dengan keberdayaan dan pengaruh, dan mempengaruhi semua dimensi lainnya. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, pasti dapat dilakukan. Mungkin Anda pernah memperhatikan ketika anak Anda atau keponakan Anda atau anak teman / tetangga Anda sedang belajar berjalan? Mulai dari upaya untuk dapat berdiri, kemudian menggerakkan kakinya untuk berjalan, namun baru beberapa langkah awal anak kita sudah jatuh. Tapi apa yang dilakukan anak tersebut? Dia bangkit lagi dan kembali mencoba melangkah sejauh mungkin sebelum kemudian terjatuh. Tapi, lagi dan lagi anak tersebut terus bangkit dari jatuhnya dan mulai melangkah lagi. Terjatuh karena keseimbangan belum sempurna tidak menyurutkan upaya sang anak untuk kembali bangkit dan berjalan. Tanpa disadari anak itu merasakan tingkat kendali yang kuat atas kesulitan yang dia hadapi. Dan itu membuat dia terus berupaya sampai benar-benar berhasil.
Mereka yang memiliki skor dimensi C yang relatif tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya dibanding mereka yang skornya lebih rendah. Akibatnya mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka akan merespon kesulitan dengan lebih positif, seperti misalnya “Saya tahu bahwa permasalahan ini memang dilematis, tapi pasti ada yang bisa saya lakukan”, atau “Sepertinya memang itu adalah persoalan yang pelik, tapi saya yakin selalu ada jalan keluar”, atau “Saya sudah mencoba berbagai cara tapi sejauh ini belum memberikan hasil yang memadai, jadi saya harus mencari cara lain lagi”. Dengan respon yang benar terhadap kesulitan yang kita hadapi, maka pikiran kita akan lebih kreatif memikirkan solusi atas kesulitan tersebut.
Kolonel Saunders, pendiri Kentucky Fried Chicken (KFC), saat dia pensiun di usia enam puluh lima tahun mulai menawarkan resep keluarga ayam goreng kepada pemilik restoran dengan sistem bagi hasil. Resep itu ditawarkan dari satu restoran ke restoran lainnya. Setiap kali dia selalu mendapat penolakan. Namun, dia merasakan kendali atas kesulitan itu. Persoalannya bukan pada resep ayam gorengnya, melainkan mungkin pada cara dia menjelaskan sehingga pemilik restoran tidak dapat melihatnya sebagai kesempatan yang baik. Dengan respon seperti itu maka tanpa mengenal putus asa dia terus keluar masuk restoran menawarkan resep ayam gorengnya hingga kunjungan yang ke-1008 kali barulah dia berhasil menemukan seorang pemilik restoran yang setuju dengan kerjasama yang ditawarkan. Selanjutnya cerita kesuksesan mengenai KFC kita semua sudah tahu.
Daniel Carlos Patay sebelumnya adalah remaja normal. Pria Papua, yang baru berusia tujuh belas tahun itu adalah atlit renang yang sering tampil pada kejuaraan nasional. Namun, suatu peristiwa tragis yang terjadi pada 9 Pebruari 1999 mengubah hidupnya. Daniel menjadi korban bom ikan dan harus kehilangan kedua kakinya (Kompas, Selasa, 20 Desember 2011). Saya dapat membayangkan bagaimana rasa tertekan yang dialami Daniel. Dari seorang remaja atlit yang memiliki masa depan cemerlang secara tiba-tiba harus menerima kenyataan menjadi seorang cacat tanpa kedua kaki dan harus istirahat menjalani proses pemulihan selama dua tahun. Meskipun situasi yang dialami begitu berat, namun Daniel tetap memegang kendali atas peristiwa tersebut. Dia memahami bahwa kondisi dia sudah berbeda dibanding sebelum kejadian kecelakaan itu, dia menerima keadaan itu tapi bukan berarti kecintaannya terhadap olahraga renang pupus dan semangat sebagai seorang juara tidak pernah sirna. Setelah pulih, Daniel mendaftar ke program atlit difabel. Tahun 2004 Daniel ikut Pekan Olahraga Penyandang Cacat Nasional di Palembang dan meraih emas. Tahun berikutnya dia membawa pulang dua medali emas yang didapat pada ajang ASEAN Para Games di Filipina 2005. Berikutnya, di ASEAN Para Games Thailand 2008 Daniel menyabet empat emas dan semua catatan waktunya adalah baru. Di ASEAN Para Games VI/2011 di Kota Solo, Jawa Tengah, Daniel merebut emas dari cabang renang 50 meter gaya dada dan memecahkan rekor atas namanya sendiri. Anda lihat, walaupun kejadian saat Daniel berusia remaja telah menghilangkan kesempatan berlaga di event-event normal (non-difabel), tetapi Daniel merasakan kendali yang penuh atas situasi itu. Dia tidak terlarut dalam kesedihan tak berujung, tetapi dia tetap bisa berprestasi di kategori atlit difabel. Kendali itu pula yang membuat dia mampu mengatasi rasa sakit di kaki bekas amputasi saat baru berlatih kembali paska-kecelakaan. Merasakan tingkat kendali akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya.

7 komentar:

  1. menarik banget nih.. bikin motivasi agar ga gampang menyerah dengan tingkat kesulitan yg bagaimana juga dan tetap yakin kalo kita bisa.. :)

    BalasHapus
  2. BERANI BERANI DAN PANTANG MENYERAH KAYANYA POINTNYA YA PAK

    BalasHapus
  3. terus berjuang tanpa mengenal lelah atau putus asa dan tetap optimis serta yakin kalau kita bisa!! mangstab banget neh.. :beer:

    BalasHapus
  4. Kita tidak bisa menolak ketika kondisi sulit terjadi pada diri kita. Persoalannya bukan ada atau tidak kondisi sulit itu, tetapi bagaimana kita merasakan kendali penuh atas kondisi sulit yang terjadi. Sebagian orang tidak merasakan kendali atas kondisi sulit, malah sebaliknya kondisi sulit yang memegang kendali atas dirinya sehingga mereka pasrah menerima nasib, dan berakhir sebagai Sang Pecundang. Itulah orang-orang yang memiliki skor AQ (Adversity Quotient)yang rendah. Kendali yang dirasakan merupakan dimensi pertama dari AQ. AQ adalah suatu ukuran (seperti IQ & EQ) yang menunjukkan sejauh mana seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menyusuri rute perjalanan Sang Pemenang. Semakin tinggi skor AQ seseorang semakin besar daya tahannya terhadap kesulitan-kesulitan, demikian juga sebaliknya.

    Terima kasih atas komentar-komentarnya.
    Besok saya akan mengupas dimensi kedua AQ.

    BalasHapus
  5. bagus banget pak..

    jadi makin menambah wawasan, sebenernya saya lebih sering jadi silent reader.. tapi dengan membaca tulisan2 bapak saya jadi tergugah buat memacu diri untuk jadi lebih baik pak.. sekali lagi terima kasih..

    BalasHapus
  6. @Josh:
    Terima kasih atas masukannya.
    Saya bersyukur artikel-artikel ini dpt memberi pencerahan dan inspirasi bagi Anda. Jika Anda berkenan silahkan membagi artikel-artikel ini kpd teman-teman Anda shg lbh banyak lagi teman-teman mendpt manfaat spt yg Anda rasakan.
    Bbrp artikel berikutnya saya msh akan membahas topik Adversity Quotient (AQ) karya Paul G. Stoltz, yg yg mengupas mengenai daya tahan kita thd kesulitan-kesulitan yg kita hadapi dlm hidup.

    Jika Anda dan teman-teman lainnya ingin mengukur tingkat AQ saat ini kirimkan permintaan ke email saya suhartono.chandra@gmail.com, segera akan saya kirimkan kuesioner yg bisa Anda gunakan berikut penjelasannya shg Anda dan teman-teman lainnya bisa mengevaluasi sendiri kondisi AQ Anda saat ini.

    Selamat menikmati artikel-artikel ini.
    Salam sukses unt Anda semua.

    Suhartono Chandra

    BalasHapus