Selasa, 31 Januari 2012

Kesuksesan Bukan Melulu Soal Uang [5]: Cerita Tentang Bagus Rahmat Prabowo


Kesuksesan bukan melulu soal uang. Kesuksesan adalah juga ketika bertekun pada suatu pengabdian yang lahir atas keprihatinan terhadap persoalan masyarakat yang lebih luas, dan terus bergerak maju sekalipun kesulitan demi kesulitan menghadang perjalanan pencapaian cita-cita itu. Itulah yang kita pelajari melalui sosok “Bagus Rahmat Prabowo: Kegelisahan Terhadap HIV/AIDS” (Kompas, Jum’at, 06 Januari 2012).
Selalu dimulai dari suatu keputusan. Sejak masih kuliah Bagus sudah aktif mendedikasikan diri sebagai relawan, khususnya untuk masalah kesehatan reproduksi. Bersama temannya, sesama mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bagus sering memberi ceramah di SMA-SMA di Bandung untuk mensosialisasikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Kegiatan tersebut dijalaninya hingga dia mendapat gelar dokter.

Kegelisahan Bagus atas penyebaran HIV/AIDS bermula saat dia mengelola klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kawasan lokalisasi Saritem, Bandung. Tugasnya adalah mencari tahu angka prevalensi Infeksi Menular Sex (IMS) di Bandung. Dalam tugasnya, dokter muda tersebut bergaul dekat dengan kelompok yang rentan IMS, seperti para Pekerja Sex Komersial (PSK), homoseksual, maupun masyarakat umum. Walaupun banyak tantangan dan hambatan, Bagus tetap memegang komitmen tinggi terhadap pengabdiannya atas isu HIV/AIDS. Bagus terus menimba ilmu, pengetahuan, dan wawasan-wawasan baru tentang HIV/AIDS. Bagus juga mendedikasikan diri pada berbagai organisasi/lembaga yang secara khusus menangani HIV/AIDS. Salah satunya, dia pernah aktif di Komisi Nasional Penanggulangan AIDS pada periode 2009-2011. Dia juga pernah magang di satu lembaga di Sydney, Australia, terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS. Selain menjadi pembicara, Bagus juga aktif membangun jejaring, karena sadar bahwa persoalan HIV/AIDS tidak bisa ditangani seorang diri. Bagus juga menginisiasi sebuah gerakan kepedulian, yaitu Dokter Aksi. Gerakan ini digagas agar dokter-dokter muda mau berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas dan belajar dari lapangan. Gagasan itu muncul karena keprihatinan Bagus pada mahasiswa kedokteran saat ini yang lebih berotientasi pada uang. Bagus juga aktif memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi , seperti menulis blog, berkicau melalui Twitter dan Facebook.

Bagus Rahmat Prabowo adalah sosok Sang Pemenang, yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus maju selangkah demi selangkah. Kesuksesan bagi dia bukan semata soal uang. Bagi dia, jika mampu memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik sudah merupakan kesuksesannya terhadap pengabdiannya kepada masyarakat, khususnya bagi penanggulangan HIV/AIDS. Sejak 2011, Bagus juga aktif di WHO Indonesia, HIV Unit, yang wilayah tanggung jawabnya mencakup area Jawa dan sebagian Sumatera. Komitmen yang tinggi, pengorbanan, dan kegigihan, merupakan modal yang kuat bagi perjalanan dokter Bagus Rahmat Prabowo dalam menyusuri rute Sang Pemenang.

Sabtu, 28 Januari 2012

Kesuksesan Bukan Melulu Soal Uang [4]: Cerita Tentang Frans Duli Poli


Kesuksesan bukan melulu soal uang. Kesuksesan adalah juga ketika bertekun pada suatu pengabdian yang lahir atas keprihatinan terhadap persoalan masyarakat yang lebih luas, dan terus bergerak maju sekalipun kesulitan demi kesulitan menghadang perjalanan pencapaian cita-cita itu. Itulah gambaran singkat ketika kita belajar melalui sosok “Frans Duli Poli: Ibarat Terang Dalam Kegelapan” (Kompas, Kamis, 05 Januari 2012).

Selalu dimulai dari suatu keputusan, yang didorong oleh keberanian mengambil tanggungjawab, sementara yang lain bergeming. Saat itu (1969), Frans Duli Poli baru berusia 17 tahun, saat dia diminta oleh masyarakat di Desa Demondei, Adonara, Flores Timur untuk mengajar anak-anak setempat sekaligus membangun SD di kampung itu. Saat itu di Desa Demondei tidak ada guru. Frans baru lulus Sekolah Guru Bawah, yang sesungguhnya belum berhak mengajar. Yang boleh mengajar adalah mereka lulusan Sekolah Guru Atas. “Kondisi warga di Demondei waktu itu sangat membutuhkan tenaga guru. Di Pulau Adonara bagian barat itu tidak ada guru sama sekali. Anak-anak usia sekolah tidak bisa belajar karena tidak ada sekolah. Desa-desa di pedalaman itu belum mengenal sekolah dasar”, ujar Frans kepada Kompas.  Tahun itu Frans membuka sekolah yang diberi nama SD Don Bosco di Desa Demondei. Dua tahun kemudian (1971), Frans mendirikan SD di Desa Rianpadu, sekitar lima kilometer dari Demondei, atas permintaan masyarakat setempat. Pada periode 1973-1976, Frans mendirikan 4 sekolah yaitu, SD swasta di Ritawolo, Watodei, Beludua, dan SD Swasta Leter.

Selalu dimulai dari suatu keputusan. Keputusan yang didasari keberanian (courage) mengambil tanggung jawab. Keberanian tersebut tentunya menuntut komitmen (committment) tinggi dan pengorbanan. Dengan segala keterbatasan yang ada, Frans mendidik anak-anak setempat sendirian. Honor yang didapat hanya sekedarnya, malah terkadang orangtua murid membayar dengan celana, baju, pisang, ubi, jagung, ataupun padi. Namun, Frans senantiasa mengucap syukur dan menjalani pengabdiannya dengan sukacita. Tiga tahun kemudian barulah tujuh orang lulusan Sekolah Guru Atas dari Larantuka datang untuk membantu Frans mengajar. Sebagai guru di pedalaman, selain mengajar di sekolah, Frans juga melatih koor untuk gereja, membimbing pasangan muda yang mau menikah, dan mengajari orangtua yang buta huruf. Dia juga membantu aparat desa menata administrasi desa, dan mengamankan warga yang sering bertengkar. Frans terlibat hampir di semua sektor kemasyarakatan. ”Guru di pedalaman itu ibarat terang di tengah kegelapan. Ini sungguh terjadi sejak tahun 1970-an sampai hari ini. Kami di sini bisa dikatakan masih miskin dan terbelakang”, ujarnya kepada Kompas.   Kegigihan (persisten) Frans juga tampak ketika pada tahun 1975 dia memutuskan untuk  mengikuti sekolah persamaan yang diadakan beberapa rekan guru lulusan Sekolah Guru Atas dan Sekolah Pendidikan Guru di Desa Demondei. Frans berhasil mendapat ijazah Sekolah Guru Atas pada 1976, dan diangkat menjadi guru negeri.

Selama 43 tahun pengabdiannya kepada masyarakat di sekitarnya, khususnya di bidang pendidikan, Frans telah terlibat dalam pembangunan enam sekolah dasar di desa terpencil di pulau terluar di wilayah Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Tahun 2012, dia memasuki masa pensiun. Namun, semangatnya masih tetap tinggi. Dia mengisi hari-hari selanjutnya dengan bertugas di tiga sekolah TK di Desa Mewet, Desa Demondei, dan Desa Watodei. Untuk tugasnya membimbing siswa TK, dia tidak digaji. Di sela-sela kesibukannya Frans masih harus mengajari guru TK cara membaca dan mengajarkan musik kepada anak-anak. Bahkan, dia sendiri yang mempersiapkan lagu-lagu yang cocok untuk anak sekolah TK. Frans rela pergi ke Kupang dengan perahu motor, hanya untuk memilih dan menyalin lagu-lagu yang cocok untuk anak-anak sekolah TK dari buku-buku nyanyian yang ada di Toko Buku Gramedia di kota Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Frans Duli Poli adalah sosok Sang Pemenang, yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus maju selangkah demi selangkah. Kesuksesan bagi dia bukan semata soal uang, tetapi bagi dia lebih banyak lagi anak-anak usia sekolah yang bisa menikmati pendidikan adalah kesuksesannya terhadap pengabdiannya kepada masyarakat setempat.  Keberanian mengambil tanggung jawab, komitmen yang tinggi, pengorbanan, kegigihan, dan senantiasa mengucap syukur merupakan modal yang kuat bagi perjalanan Frans Duli Poli dalam menyusuri rute Sang Pemenang.

Rabu, 25 Januari 2012

Kesuksesan Bukan Melulu Soal Uang [3]: Cerita Tentang Masnu’ah


Kesuksesan bukan melulu soal uang. Kesuksesan adalah juga ketika bertekun pada suatu cita-cita yang lahir atas keprihatinan terhadap persoalan masyarakat yang lebih luas, dan terus bergerak maju sekalipun kesulitan demi kesulitan menghadang perjalanan pencapaian cita-cita itu. Kali ini kita belajar melalui sosok “Masnu’ah: Kebangkitan Perempuan di Kampung Nelayan” (Kompas, Rabu, 18 Januari 2012). Adalah Masnu’ah, seorang perempuan biasa, istri seorang nelayan di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang menyadari bahwa kehidupan ekonomi keluarga nelayan tidak menentu seiring dengan musim tangkapan yang sulit diperkirakan. Seperti umumnya keluarga nelayan, perempuan yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 38 tahun yang lalu itu hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Tetapi, semangat dan pemikirannya melampaui pendidikan formal yang diterimanya.

Selalu dimulai dari suatu keputusan. Keputusan yang didasari keberanian mengambil tanggung jawab, sementara yang lain terdiam saja. Akhir Desember 2005, Masnu’ah mendirikan kelompok Puspita Bahari, yang bertujuan memberdayakan perempuan dan meningkatkan ekonomi keluarga nelayan. Masnu’ah gencar mendorong para istri nelayan aktif dalam kegiatan usaha. Langkah awalnya adalah koperasi beras. Namun, pertengahan 2006 koperasi terjerat kredit macet. Kegagalan koperasi tidak membuat Masnu’ah surut. Masnu’ah mengupayakan pelatihan usaha bagi perempuan nelayan, antara lain pembuatan getuk lindri, es krim, mie basah, dan tepung ikan. Pelatihan tersebut sempat berjalan selama dua tahun (2007-2009). Kembali kegiatan tersebut menghadapi kendala. Produk yang dihasilkan tidak laku dijual karena para penduduk di perkampungan nelayan tidak memiliki daya beli. Masnu’ah tidak putus asa, dia mengajak perempuan dan anak nelayan menekuni usaha salon dan otomotif dengan binaan dari Koalisi Perempuan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum. Lagi-lagi, usaha tersebut tidak berjalan karena tidak didukung keluarga nelayan.

Masnu’ah layak disebut seorang “pendaki (climber) sejati”. Tantangan-tantangan dan kesulitan “medan pendakian” tidak membuat dia surut. Usaha-usaha yang tidak berhasil tidak dianggap sebagai kegagalan, melainkan suatu proses yang harus dilalui. Masnu’ah mengajak perempuan di kampungnya untuk menggeluti usaha produk olahan berbasis ikan, seperti kerupuk, keripik dan abon. Tantangan-tantangan yang ada diatasinya sehingga saat ini kerupuk produksi Puspita Bahari mampu dipasarkan di beberapa kantor pemerintahan, toko-toko, warung-warung, bahkan sampai ke Semarang, Jawa Tengah.  

Tidak hanya usaha pengolahan ikan, Puspita Bahari juga terjun mengelola sampah dengan memisahkan sampah organik dan non-organik untuk mengurangi kekumuhan perkampungan nelayan. Upayanya berbuah penghargaan Kusala Swadaya pada Oktober 2011 sebagai kelompok perempuan nelayan yang berhasil mengatasi kekumuhan di perkampungan nelayan. Perjalanan Masnu’ah dan Puspita Bahari tentu belumlah selesai, karena hakekat kesuksesan itu adalah suatu perjalanan, bukan tujuan. Masnu’ah bersama Puspita Bahari terus bergerak dengan segala keterbatasan yang ada. Masnu’ah juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi kemasyarkatan, seperti Koalisi Perempuan Indonesia, dan Forum Masyarakat Peduli Lingkungan. Masnu’ah adalah sosok Sang Pemenang, yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus maju selangkah demi selangkah. Keberanian mengambil tanggung jawab, komitmen yang tinggi, pengorbanan, kegigihan atau persistensi, dan senantiasa bersyukur merupakan modal yang kuat perempuan nelayan itu.

Kamis, 19 Januari 2012

Kesuksesan Bukan Melulu Soal Uang [2]: Cerita Tentang Marandus Sirait


Kesuksesan bukan melulu soal uang. Kesuksesan adalah juga ketika berhasil melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kali ini kita belajar melalui sosok “Marandus Sirait: Lahan Keluarga Untuk Lingkungan” (Kompas, Rabu, 04 Januari 2012). Bagi Marandus Sirait, lelaki berusia 44 tahun itu, kesuksesan adalah ketika dia berhasil membangun hutan yang dapat menghidupi masyarakat sekitar. Hutan seluas 40 hektar, yang terletak sekitar 6 kilometer dari bibir Danau Toba di Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, itu adalah lahan milik keluarga yang sedang dia upayakan menjadi “surga” bagi masyarakat sekitar. Hutan itu dia namakan Taman Eden 100, yang dia bangun sejak 1999. Saat ini ada sekitar 100 jenis pohon produktif, seperti pohon durian, jambu biji, mangga, dan pohon alpukat. Upaya Marandus Sirait, yang jatuh bangun membangun Taman Eden 100, merupakan contoh yang tepat bagi kegigihan seorang “pendaki (climber) sejati” dalam pendakian menaklukan gunung-gunung kesulitan sepanjang perjalanan menyusuri rute Sang Pemenang. Penghargaan Kalpataru (2005), Wahana Lestari (2010), Danau Toba Award (2010), dan Penghargaan Penanaman Pohon dari Dinas Kehutanan (2011), hanyalah terminal pemberhentian sementara bagi perjalanannya menyusuri rute Sang Pemenang.

Selalu dimulai dari suatu keputusan. Keputusan yang didasari keberanian mengambil tanggung jawab, sementara yang lain tidak berani. Sejak masih bekerja sebagai guru musik dan penyanyi gereja (1988-1998) di Medan, Sumatera Utara, Marandus Sirait sudah sering menyuarakan pentingnya melestarikan alam. Dia juga sering mengikuti seminar, diskusi, dan lokakarya yang membahas mengenai lingkungan hidup di Medan. Tahun 1999, dia memutuskan untuk secara nyata bertindak melestarikan alam. Dia pulang ke kampung halaman. Namun, yang dia temui adalah kekecewaan orangtua, saudara-saudaranya maupun tetangga, karena anggapan dalam masyarakat Batak hanyalah mereka yang gagal yang kembali ke kampungnya setelah merantau sekian lama ke kota. Tapi, Marandus Sirait bergeming. Dia rela tinggal di bekas kandang kerbau di tengah lahan hutan keluarga. Dia belajar bercocok tanam dari berbagai bacaan. Dia pun rela menjual peralatan musiknya hanya untuk membeli bibit dan membayar pekerja untuk membersihkan lahan.

Tahun 2002, dia sempat hampir menyerah dan kembali ke Medan untuk mengajar musik. Tapi, itu hanya bertahan selama tiga bulan. Dia kembali lagi ke hutan. Tahun 2004, Marandus Sirait jatuh sakit. Beberapa penyakit silih berganti menghampiri dia. Dokter mengatakan bahwa penyakit yang dia derita adalah akibat stres dengan obsesinya terhadap pengembangan hutan keluarga. Dia diminta untuk menjauhi hutan. Dia kembali ke Medan, dan bermain musik lagi. Suatu perjalanan seorang Marandus Sirait yang tidak mudah.

Pertengahan 2005, ada secercah harapan baru. Hasil kerja kerasnya berbuah penghargaan Kalpataru. Semangatnya bangkit kembali. Namun, perjalanan “pendakian” tetap tidak mudah bagi Marandus Sirait, bahkan hanya untuk menutup biaya operasionalpun dia masih mengandalkan kedermawanan pengunjung. Saat ini dia masih terus berjuang, bekerja keras mewujudkan mimpinya menjadikan Taman Eden 100, lahan hutan keluarga seluas 40 hektar, dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Itulah mental Sang Pemenang, yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus maju selangkah demi selangkah. Keberanian mengambil tanggung jawab, komitmen yang tinggi, pengorbanan, kegigihan atau persistensi, dan senantiasa bersyukur dalam keadaan apapun merupakan modal kuat bagi Marandus Sirait.

Senin, 16 Januari 2012

Kesuksesan Bukan Melulu Soal Uang [1]: Cerita Tentang Samtuwo Jaya


Seringnya kita mengaitkan kesuksesan dengan uang dan harta. Namun, sesungguhnya kesuksesan bukan melulu soal uang. Kesuksesan adalah juga ketika berhasil melakukan sesuatu yang menjadi solusi bagi permasalahan masyarakat sekitar kita sehingga manfaatnya langsung bisa dinikmati oleh masyarakat sekitar. Setidaknya, itulah yang bisa kita simpulkan ketika kita belajar melalui sosok Samtuwo Jaya, “Pendekar” Infrastruktur Pelosok Sinjai (Kompas, Selasa, 20 Desember 2011). Samtuwo Jaya berhasil mendorong partisipasi warga selama 22 tahun terakhir dalam mengatasi permasalahan bersama sehingga memberikan manfaat banyak bagi kehidupan di pelosok Sinjai Barat, Sulawesi Selatan.

Inisiatif Samtuwo Jaya membangun jembatan gantung, yang beroperasi pada Oktober 2011, telah membuka keterisolasian warga di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sinjai, Bone, dan Gowa. Jembatan gantung sepanjang 83 meter dengan lebar 1,7 meter, yang menelan biaya sebesar Rp 208 juta, berhasil dibangun dari penggabungan bantuan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan partisipasi warga di empat dusun di Desa Arabika, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Jembatan tersebut membentang di atas sungai Tangka, yang terletak di Dusun Tonro, Desa Terasa, Kecamatan Sinjai Barat. Adanya jembatan tersebut mempersingkat rute yang harus dilalui sebelumnya oleh warga Desa Arabika, Desa Terasa, dan Desa Turungan Baji menuju Pasar Bontosalama di seberang sungai. Mobilitas penduduk menjadi lebih lancar dalam memasarkan hasil bumi, bahan pokok, dan produk industri rumah tangga. Akses warga ke puskesmas yang ada di Desa Bontosalama pun menjadi lebih mudah, demikian juga rute yang harus ditempuh oleh siswa SD dan SMP, yang sebelum adanya jembatan harus menempuh jarak 20 kilometer, saat ini menjadi 6 kilometer saja. Jembatan tersebut juga menjadi akses bagi warga Desa Ta’binjai, Kecamatan Tombolo Pau, Kabupaten Gowa dan Desa Bana, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Terwujudnya jembatan tersebut yang secara nyata memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar mengantarkan Samtuwo Jaya menjadi Koordinator Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara Sarana Prasarana Desa (KPP) Terbaik Tingkat Nasional 2011 dari Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Saya mencatat setidaknya ada lima hal yang mendukung kesuksesan Samtuwo Jaya, yaitu:
Keberanian
Keterlibatan Samtuwo Jaya dalam masalah-masalah desa bermula dari kesadaran dan keberaniannya mengambil tangungjawab sebagai Ketua Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) Soba di tahun 1989, yang bertanggung jawab memelihara jaringan irigasi desa dan membagikannya secara merata untuk sawah seluas 14 hektar di Dusun Bondo, Desa Arabika. Keberhasilan sistem yang diterapkan Samtuwo Jaya meningkatkan produktifitas padi para petani.

Komitmen
Setelah sukses mengelola irigasi desa, Samtuwo Jaya diberikan tanggung jawab mengatur kebutuhan air bersih warga. Setiap tanggung jawab yang diberikan kepada dirinya dijalankan dengan komitmen penuh. Hasilnya, saat ini pipa telah terpasang di 90 persen dari 200 rumah penduduk Desa Arabika.

Kegigihan
Dana pembangunan Jembatan gantung yang membentang di atas sungai Tangka di Desa Terasa berasal dari gabungan bantuan dana PNPM Mandiri untuk empat dusun. Tidak mudah untuk bisa meyakinkan warga “merelakan” dana tersebut. Namun, kegigihan Samtuwo Jaya berhasil membangun kesadaran warga atas manfaat yang lebih besar dengan adanya jembatan tersebut.

Bersyukur
Samtuwo Jaya mengembangkan sikap bersyukur atas terwujudnya segala sarana dan prasarana yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, dimana biayanya berasal dari dana bantuan. “Kami tidak boleh menyia-nyiakan bantuan yang diberikan karena uluran tangan orang belum tentu hadir setiap saat”, katanya kepada Kompas. Wujud sikap bersyukur tersebut adalah dengan membentuk sistem pemeliharaan atas semua sarana dan prasarana tersebut. Dalam jaringan irigasi desa, Samtuwo Jaya membentuk tim pemelihara jaringan irigasi. Sedangkan dalam pengaturan kebutuhan air bersih, dia membentuk lembaga pengelola air bersih.

Pengorbanan
Dalam setiap pencapaian pasti ada harga yang harus dibayar. Atas aktifitasnya terlibat dalam permasalahan sarana dan prasarana desa, Samtuwo Jaya tentu harus bekerja keras, mengorbankan waktunya dan tidak pernah menerima bayaran. Bahkan, dia merelakan sawah dan kebun kakao seluas 2,5 hektar miliknya dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil. Samtuwo Jaya bekerja tanpa pamrih demi kepentingan masyarakat banyak.

Selasa, 10 Januari 2012

The Power of Giving: Kiat Sukiyat Di Balik Kiat Esemka


“The more you give the more you get” – The Power of Giving

Berita mengenai keberhasilan siswa-siswa SMK Warga, SMK Negeri 2, dan SMK Negeri 5 Solo, Jawa Tengah dalam merakit mobil Kiat Esemka masih terasa gemanya. Terlepas dari pro dan kontra atas kelanjutan produksi secara massal mobil Kiat Esemka, mari kita belajar sisi lain lahirnya Kiat Esemka. Adalah Sukiyat, pemilik bengkel Kiat Motor di Klaten, Jawa Tengah yang berada di balik kesuksesan prestasi para siswa tersebut melahirkan Kiat Esemka. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari sosok Sukiyat (Kompas, Sabtu, 7 Januari 2012). Sukiyat (55 tahun), yang lahir di Klaten adalah contoh mereka yang berhasil menekuni rute Sang Pemenang sejak dia tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Pada usia enam tahun Sukiyat menderita polio. Cacat pada kakinya membuat dia minder, dan saking tidak tahannya menerima ejekan teman-temannya terpaksa dia keluar dan tidak menamatkan pendidikannya di sekolah teknik menengah (STM). Tapi, Sukiyat keluar dari sekolah bukan untuk menyerah, itulah ciri Sang Pemenang. Sang Pemenang bukanlah manusia super yang harus selalu menang dalam mengatasi suatu situasi sulit. Terkadang Sang Pemenang bisa juga jatuh, memilih mundur karena tidak tahan dalam menghadapi cuaca dalam pendakiannya. Tetapi, Sang Pemenang kemudian terus bangkit dan bergerak lagi. Sukiyat kemudian belajar menjahit di Rehabilitasi Centrum Prof Dr Soeharso, Solo. Setelah enam bulan belajar menjahit Sukiyat hijrah ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan konfeksi dan percetakan milik Yayasan Harapan Kita sebagai tukang obras dan setting huruf.

Saat orangtuanya meminta Sukiyat pulang ke kampungnya, dia memilih tinggal di Solo, yang jaraknya sekitar 25-30 kilometer dari Klaten. Dia bekerja di sebuah bengkel. Di bengkel tulah Sukiyat mendapat ketrampilan di bidang otomotif. Dia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan otomotif ke Jepang dan Jerman atas biaya Departemen Sosial. Tahun 1977, saat dia berusia 20 tahun, atas bantuan Yayasan Dharmais Sukiyat membuka bengkel di kampung halamannya di Desa Kradenan, Kecamatan Trucuk, Klaten. Bengkelnya hanya melayani perbaikan sepeda motor dan sepeda kayuh. Bengkelnya berkembang pesat, sehingga pada tahun 2004 dia membuka bengkel keduanya di Jalan Solo-Yogya, Desa Mlese, Kecamatan Ceper, Klaten, dengan spesialisasi di bidang cat oven dan body repair. Ceper adalah kecamatan di Klaten yang terkenal dengan pusat industri logam usaha kecil dan mikro. Sejauh ini kita melihat sepertinya perjalanan Sukiyat dalam mengembangkan usahanya mulus-mulus saja. Namun, sesuai pengakuannya pada Kompas, dia terbiasa bekerja dengan giat. Pikirannya tidak berhenti memikirkan pengembangan usahanya. Saya percaya Sukiyat memiliki attitude yang baik dan mampu dengan baik menempatkan dirinya. Sepanjang perjalanan hidupnya, sejauh yang dia ceritakan kepada Kompas, keberhasilannya tidak terlepas dari bantuan pihak lain, mulai dari Pusat Rehabilitasi Prof Dr Soeharso (tempat dia belajar menjahit), Yayasan Harapan Kita (pertama kali bekerja di Jakarta), Departemen Sosial (yang membiayai pelatihan dia ke Jepang dan Jerman), dan Yayasan Dharmais (bantuan dana saat membuka bengkel pertamanya).

Sukiyat juga mengembangkan sikap bersyukur atas anugerah Tuhan, bahwa kesuksesan dia tidak terlepas dari bantuan pihak lain, dan setelah mencapai kesuksesannya dia ingin berbagi kepada banyak orang agar juga bisa menikmati kesuksesan seperti yang sudah dia nikmati. Perannya dalam membidani kelahiran Kiat Esemka muncul dari keinginannya membantu para siswa jurusan otomotif di SMK Negeri 1 Truck, Klaten, dimana dia adalah ketua konite sekolah di sekolah itu. Sukiyat ingin agar siswa di sekolah itu dapat melakukan praktek membuat body mobil. Dia menyumbangkan dua unit mobilnya untuk dibongkar. Para siswa diajari cara membuat body mobil secara manual. Ternyata sukses para siswa tersebut melampaui harapan Sukiyat, sehingga dia berpikir lebih jauh lagi mengapa tidak sekalian saja para siswa itu membuat mobil. Sukiyat mecanangkan visi baru, dari sekedar membantu anak didik mempraktekkan apa yang dipelajari di sekolah ke pembuatan mobil. Visi Sukiyat mendapat jalan dengan dipertemukannya dia dengan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Joko  Sutrisno. Bengkel Kiat Motor di Ceper, Klaten ditunjuk menjadi mitra dalam program perakitan mobil oleh siswa SMK, yang telah dimulai Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun sebelumnya. Sejak itu SMK-SMK mengirimkan siswanya ke Kiat Motor untuk belajar membuat body mobil, termasuk bagian interior dan eksterior, serta rangkanya. Selanjutnya, proses kelahiran Kiat Esemka jenis SUV terus bergulir. Mesin mobilnya adalah rakitan siswa, demikian juga komponennya sebagian besar juga dibuat oleh siswa bersama mitra industri. Keberhasilan kelahiran Kiat Esemka membanggakan banyak pihak, para siswa yang terlibat jelas merasa bangga sekali dapat berkontribusi atas pencapaian itu. Dukungan banyak pihak terus mengalir. Bahkan, Wali Kota Solo Joko Widodo berujar, “Saya ini kan salesman Kiat Esemka” (TribunNews.com, Kamis, 5 Januari 2012). Saat ini Jokowi sedang merancang rencana bisnis bagi produksi massal Kiat Esemka, yang mengandung 80% komponen lokal.

Sukiyat, sebelum kelahiran Kiat Esemka, mungkin sudah cukup sukses dalam hidupnya. Namun, sikapnya yang ingin berbagi ketrampilan dengan mengajari para siswa SMK, sehingga banyak orang juga bisa menikmati kesuksesan, ternyata juga meningkatkan kesuksesan dia. Dan Sukiyat tidak berhenti pada peranannya membantu kesuksesan para siswa SMK pada proses kelahiran Kiat Esemka, Sukiyat telah memiliki mimpi baru. Mimpi barunya adalah mencetak tenaga andal di bidang otomotif dan body repair dari para penyandang cacat. Tahun ini Sukiyat merencanakan pendirian bengkel baru di kawasan Manahan, Solo yang dipadukan dengan pusat pelatihan bagi penyandang cacat, yaitu Difabel Training Center, yang dilengkapi dengan asrama. Sesungguhnya, membantu orang lain untuk sukses adalah kesuksesan itu sendiri. Itulah kekuatan the power of giving. The more you give the more you get.

Minggu, 08 Januari 2012

Satu Mitos Kesuksesan Dipatahkan (Lagi): Cerita Tentang Kiat Esemka


Banyak mitos tentang kesuksesan yang salah. Salah satunya adalah mitos usia. Sebagian orang masih meyakini bahwa kesuksesan bukanlah milik mereka yang berusia muda. Padahal sudah banyak contoh keberhasilan yang dicapai oleh mereka yang muda-muda. Farah Gray dari Amerika Serikat adalah milyuner yang mencapai penghasilan satu juta dollar (Amerika)-nya pada usia empat belas tahun. Di Indonesia ada Merry Riana, yang mencapai penghasilan sejuta dollar di usianya yang ke-26. Siswa-siswi Indonesia yang masih duduk di bangku SMP dan SMA terus berjaya di ajang Olimpiade Sains Internasional (OSI). Pada periode 1993-2010 tercatat ada empat belas ajang olimpiade yang diikuti siswa-siswi Indonesia dan mereka telah menyumbang 58 emas, 96 perak dan 165 perunggu (Kompas, Rabu, 4 Januari 2012). Di bidang lainnya pun tidak kalah banyaknya mereka yang muda sudah menorehkan tinta emas dalam kehidupannya.

Kali ini saya akan menambahkan satu lagi prestasi anak muda Indonesia, yaitu siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2, SMK Warga, dan SMK Negeri 5 Solo, Jawa Tengah, di bawah binaan bengkel mobil Kiat Motor, Klaten Jawa Tengah, yang berhasil merakit mobil yang diberi nama Kiat Esemka, yang menjadi berita populer di awal tahun 2012. Prestasi itu sangat membanggakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, dan Menteri Perindustrian MS Hidayat memberikan apresiasi yang tinggi atas keberhasilan siswa-siswa SMK tersebut. Bahkan, Wali Kota Solo Joko Widodo (yang lebih akrab dipanggil Jokowi) dan Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo langsung membeli dan mencanangkan pemakaian mobil Kiat Esemka, yang kandungan lokalnya mencapai 80%, jenis sport utility vehicle (SUV) sebagai mobil dinas mereka. Mobil dinas Wali Kota Solo Joko Widodo adalah Toyota Camry tahun 2002. Bahkan, tidak cukup dengan cara memakai Kiat Esemka sebagai mobil dinas, dukungan Wali Kota Solo Jokowi lebih jauh lagi menyiapkan rencana bisnis untuk produksi massal mobil Kiat Esemka. Berita keberhasilan siswa-siswa SMK di Solo merakit mobil Kiat Esemka tersebut menjadi berita nasional. Bangsa Indonesia menjadi sentimentil ketika bicara tentang mobil nasional, karena itu merupakan cita-cita yang sudah menjadi mimpi.

Keberhasilan para siswa SMK itu merupakan prestasi kolektif, karena proses pembuatan sebuah mobil melibatkan banyak pihak, sinergi dan harmoni menjadi titik kritikal. Tidak kurang 15 SMK dari sejumlah daerah, seperti Malang dan Kediri di Jawa Timur, Magelang (Jawa Tengah), dan Jakarta,  terlibat dalam proses pembuatan mobil Kiat Esemka. Para siswa SMK itu, sebelumnya bukanlah siapa-siapa karena mereka hanya pelajar, tapi hasrat mereka yang mengebu-gebu untuk belajar dengan tekun dan secara disiplin mengikuti bimbingan para guru itulah yang memungkinkan potensi mereka teroptimalisasi. Selain hal itu, kerjasama juga merupakan faktor penting. Maksudnya, kesuksesan itu tidak didapat hanya oleh diri sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Dengan kata lain, perluaslah jaringan (networking) Anda. Anda tidak pernah tahu kapan membutuhkan bantuan dari seorang teman, tetapi manakala membutuhkan Anda tahu harus kemana.        

Adalah Joko Widodo, yang melihat keberhasilan para siswa SMK merakit mobil dengan bimbingan Sukiyat, pemilik bengkel Kiat Motor di Klaten Jawa Tengah, adalah suatu langkah penting yang harus segera ditindaklanjuti dalam membangun industri mobil nasional yang dapat meningkatkan perekonomian lokal. Langkah yang tidak mudah, sekalipun yang mendukung Kiat Esemka semakin banyak. Konon, politisi dan artis juga sudah memesan mobil tersebut, antara lain; Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie, Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Fauzi Bowo, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Anggota DPR Roy Suryo, Guruh Soekarno Putra, Puan Maharani, Tjahyo Kumolo, Aria Bima, Pelawak Ginanjar, Sutradara Garin Nugroho, dan penyanyi Afgan Syah Reza. Selain dukungan yang luas, reaksi sinis pun muncul antara lain dari Wali Kota Semarang Soemarmo, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Sampai-sampai Wali Kota Semarang mengatakan kalau Joko Widodo jangan narsis. Terlepas dari topik politik, saya sendiri kebetulan pada suatu masa memiliki kesempatan mengenal lebih jauh Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo secara lebih dekat. Apa yang saya lihat, maupun yang saya dengar dari kerabat yang sangat mengenal mereka berdua, demikian juga hasil bincang-bincang saya dengan tukang becak, sopir taxi di Solo, mereka sangat jauh dari kesan mencari perhatian (narsis). Dukungan banyak pihak dan rakyat kota Solo ditunjukkan pada kemenangan mutlak (lebih dari 90% suara) pasangan tersebut dalam pemilihan umum daerah untuk memimpin kota Solo, Jawa Tengah kedua kalinya.

Perjalanan karya anak-anak muda Indonesia dalam hal mobil rakitan sendiri masih panjang. Persoalan ijin, uji kelayakan emisi, dan serangkaian ijin lainnya. Demikian pula rencana produksi massal mobil Kiat Esemka. Itulah perjalanan Sang Pemenang, sukses bukanlah tujuan melainkan suatu perjalanan.

Kamis, 05 Januari 2012

Kita Perlu STOPPERS!


Suatu siang, saya menerima pesan dari seorang teman sekompleks melalui jaringan grup BBM (BlackBerry Mesenger), bahwa Ani (bukan nama sebenarnya), tetangga satu kompleks berteriak-teriak sendirian di salah satu bunderan di kompleks kami. Sontak berita itu menjadi sumber kegemparan di antara anggota grup. Lantas berkembang informasi mengenai si Ani itu. Ani adalah seorang wanita, tinggi, langsing, dan gurat-gurat kecantikan masih terlihat di usianya yang sekitar empat puluhan, kecuali raut muka yang tidak bercahaya yang menyiratkan adanya problem yang berat. Dia tinggal sendirian di sebuah town house di dalam kompleks kami. Sebelum tinggal di kompleks kami, Ani tinggal bersama suaminya di sebuah kota di Jawa Timur. Dari informasi teman-teman yang berkembang sebenarnya dia bukannya tidak berdaya secara ekonomi. Sebelumnya dia adalah salah satu pendukung calon kepala daerah. Dia bertugas menghimpun suara pemilih dengan janji imbalan uang. Dia tidak bisa menepati janjinya kepada pemilih yang dihimpunnya, karena ternyata calon yang didukungnya kalah. Suatu situasi sulit yang dia hadapi saat itu. Sayangnya, Ani kalah telak terhadap kesulitan yang menerpanya. Hubungan pernikahannya bubar dan dia dikejar-kejar masyarakat pemilih yang dijanjikannya. Sosok Ani adalah contoh orang yang memiliki AQ rendah. Dan sekarang lebih buruk lagi, Ani masuk pada tahap depresi.   

Menurut para ahli psikologi kognitif, di antara serangkaian luas respon-respon terhadap kesulitan, ada satu respon yang dapat sangat melumpuhkan, yaitu menganggap suatu situasi sulit sebagai bencana. Orang-orang menganggap bencana apabila mereka mengubah ketidaknyamanan-ketidaknyamanan yang ada sebagai akibat situasi sulit tersebut menjadi sebuah malapetaka. Menganggap akibat-akibat dari suatu situasi sulit sebagai suatu bencana seringkali terjadi terjadi ketika merenungi peristiwa-peristiwa yang buruk secara destruktif. Menganggap sesuatu sebagai bencana berkaitan dengan dimensi AQ  (CO2RE) yang ketiga, yaitu Reach (jangkauan) dan terjadi sewaktu Anda membiarkan akibat-akibat dari situasi sulit itu menyebar seperti api liar sambil menghancurkan bagian lain kehidupan Anda. Dalam situasi tertentu, saat badai prahara yang sungguh luar biasa terjadi, orang dengan AQ tinggi pun untuk sesaat dapat mengalami hal seperti itu. Jadi, ketika hal tersebut terjadi Anda harus segera menghentikannya. Anda harus segera mematikan api kecil itu sebelum membesar dan menjalar kemana-mana.
Paul G. Stoltz menyarankan pemanfaatan delapan teknik yang disebut Stoppers! Delapan teknik itu digolongkan menjadi dua kategori, yaitu Perintang dan Pembingkai Ulang. Teknik-teknik tersebut dapat digunakan untuk mempercepat pemulihan diri Anda dari kesulitan dan mengurangi akibat-akibat kesulitannya (lihat gambar). Kedelapan teknik itu merupakan metode-metode yang telah teruji, baik secara ilmiah maupun pengalaman. Anda bisa gunakan salah satu dari kedelapan teknik itu untuk menghentikan upaya destruktif pikiran Anda.
Perintang dirancang untk membantu Anda menginterupsi respon destruktif Anda.
Perintang #1: Menyentak Diri. Ketika Anda sedang memikirkan akibat-akibat dari situasi sulit dan tanpa sadar Anda membiarkan pikiran Anda untuk terus memperbesar akibat-akibat tersebut dan bergerak liar masuk ke wilayah lain kehidupan Anda, bersiaplah untuk segera mengangkat tangan Anda dan pukullah permukaan keras yang ada di dekat Anda dengan telapak tangan Anda sekeras yang Anda mau sambil berteriak “STOP!”. Permukaan keras bisa sebuah meja, kursi, tembok, dashboard mobil, helm yang sedang Anda pakai, atau apapun permukaan keras yang dapat Anda pukul dengan telapak tangan Anda, sehingga Anda merasakan telapak tangan Anda menjadi perih. Dengan menyentak diri melalui rasa perih pada telapak tangan Anda akan memutus pikiran yang mulai destruktif, dan mengambil kendali lagi atas kesulitan Anda. Teknik ini tentunya dapat Anda lakukan saat Anda sedang sendirian, karena jika dalam keramaian apalagi saat rapat dengan atasan tentu Anda akan menimbulkan kesulitan baru. Perintang #2: Mengalihkan Perhatian. Teknik ini dapat Anda lakukan pada situasi apapun. Caranya adalah ketika pikiran Anda mulai destruktif maka Anda bisa mengalihkan perhatian pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan situasi sulit. Misalnya, Anda sedang berada di suatu mal bersama suami / istri, atau bersama kawan maka Anda bisa mengalihkan perhatian dengan memperhatikan sikap dan wajah orang yang sedang lalu lalang. Atau, jika sedang memegang suatu benda Anda bisa mulai memperhatkan detil dari benda tersebut. Dengan mengalihkan perhatian maka Anda telah memutus alur pikiran yang destruktif untuk kemudian mengambil kendali lagi atas kesulitan yang sedang Anda hadapi. Perintang #3: Mengejut Diri. Pakailah gelang karet di pergelangan Anda. Ketika pikiran destruktif mulai masuk tarik gelang karet itu dan jepretlah hingga lengan Anda terasa perih, maka Anda akan memutus dan menghentikan pikiran destruktif tersebut. Stoltz melaporkan bahwa Charles Barkley, bintang bola basket di klub Houston Rockets, pemain All Star, dan tiga kali menjadi anggota U.S. Dream Team menggunakan gelang karet untuk “membantu menjaga agar segala sesuatunya tetap pada tempatnya”. Perintang #4: Menyibukkan Diri. Ketika Anda merasa tidak mampu melakukan apapun dalam suatu situasi sulit, maka Anda bisa memutus pikiran destruktif dengan melakukan kegiatan-kegiatan lain. Anda bisa mendengarkan musik yang keras, menonton film laga, atau film komedi yang lucu, mencuci mobil, menguras akuarium, merawat tanaman. Kegiatan apapun itu yang dapat membuyarkan pikiran destruktif itu. Perintang #5: Berolahraga. Kita sadar saat kita merenungkan suatu situasi sulit maka energi dan vitalitas kita terkuras. Untuk itu kegiatan berolahraga merupakan cara yang efektif untuk memulihkan kesegaran kita. Anda bisa berlari, bersepeda, berenang, aerobik, atau apapun jenis olahraga yang Anda sukai.

Pembingkai Ulang merupakan alat untuk membantu Anda menghentikan kebiasaan menganggap semua kesulitan sebagai bencana dengan menempatkan kesulitan Anda pada tempatnya.
Pembingkai Ulang #1: Kembali Ke Tujuan Awal. Teknik ini digunakan untuk mengingatkan kita alasan atau tujuan kita yang sebenarnya untuk terlibat dalam situasi dimana kesulitan itu terjadi. Misalkan, Anda terlibat dalam tim pengembangan bisnis baru sebagai tugas tambahan di luar pekerjaan rutin Anda di suatu perusahaan. Keterlibatan Anda menuntut waktu dan konsentrasi lebih dari sebelumnya. Situasi sulit muncul ketika, karena kesibukan, terpaksa Anda sering absen dalam kegiatan rutin bersama keluarga. Istri merajuk karena kehilangan perhatian. Anak mengeluh karena Anda tidak bisa hadir pada pertunjukkan drama sekolah dimana anak Anda terlibat sebagai pemeran utama. Anda mulai merasa tertekan dalam pekerjaan Anda. Segala sesuatunya menjadi memburuk. Jika saat seperti itu terjadi, maka cara yang paling tepat adalah kembalilah ke tujuan awal. Apa tujuan Anda berkarir di sana? Apa alasan kuat sehingga Anda berkarir disana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyadarkan Anda dan memutus pikiran destruktif yang mulai muncul. Pembingkai Ulang #2: Mengecilkan Diri. Ketika kita menganggap kesulitan sebagai suatu bencana, kita akan kehilangan perspektif. Salah satu cara untuk mendapatkan kembali perspektif dan membingkai ulang kesulitan adalah mengecilkan diri. Mengecilkan diri disini adalah tindakan menempatkan diri pada situasi dimana Anda menjadi sangat kecil dibanding apa yang ada di sekitar Anda. Misalnya, di ketinggian suatu gunung, di pinggir pantai memandang luasnya laut, atau duduk memandang langit yang penuh dengan bintang. Saat itu Anda akan disadarkan bahwa kebesaran Tuhan begitu luar biasa. Anda dan kesulitan Anda menjadi terasa kecil. Pembingkai Ulang #3: Membantu Orang Lain. Pikiran destruktif Anda mungkin akan menganggap Anda adalah orang yang paling mnederita dengan adanya situasi sulit yang Anda alami. Ambillah waktu untuk membantu orang lain, misalnya membantu orangtua-orangtua yang tinggal di panti jompo, mengunjungi dan membantu anak-anak di panti asuhan, membantu para gelandangan yang tinggal di rumah kardus. Kegiatan tersebut akan memutus pikiran destruktif Anda dan mengingatkan bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang memilki kesulitan yang jauh lebih besar dari Anda.

Kedelapan teknik STOPPERS! Tersebut bukanlah teknik yang akan menghilangkan masalah-masalah sebagai akibat dari situasi sulit Anda. Teknik–teknik itu berfungsi memutus pikiran destruktif Anda yang bergerak liar merasuki sisi-sisi lain kehidupan Anda, yang membuat masalah menjadi semakin besar dan tidak terkendali. Dengan menerapkan teknik STOPPERS!  Anda akan mendapatkan kembali perspektif serta kendali atas situasi sulit Anda untuk diatasi.

Rabu, 04 Januari 2012

Bagaimana Meningkatkan AQ Anda?


Kita sudah mulai menapak tahun 2012 dengan segala resolusi yang sudah kita tetapkan berikut rencananya dan harapan agar tahun ini kondisi kita akan lebih baik dari sebelumnya.  Tahun 2011 saya tutup dengan artikel mengenai Adversity Quotient (AQ) berikut keempat dimensinya, yaitu CO2RE, yang masing-masing merupakan kepanjangan dari Control (kendali atas kesulitan), Origin (sumber penyebab kesulitan) dan Ownership (tanggung jawab atas akibat dari kesulitan), Reach (jangkauan kesulitan), dan Endurance (daya tahan terhadap kesulitan). AQ, yang merupakan konsep Paul G. Stoltz, adalah indikator sejauh mana kita dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perjalanan kita mencapai resolusi-resolusi yang telah kita tetapkan. Kita sadar bahwa banyak hal terjadi tidak sesuai dengan rencana kita. Dengan kata lain ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan bisa saja terjadi dalam kehidupan kita menyusuri rute Sang Pemenang. Dalam konteks itulah AQ memainkan peran penting.

Saya juga sudah menawarkan jasa secara gratis bagi Anda yang ingin mengukur level AQ saat ini dengan mengirimkan kuis AQ beserta cara pengisiannya. Beberapa teman kemudian bertanya, bagaimana jika ternyata level AQ-nya relatif rendah, apakah level AQ rendah merupakan suatu vonis, apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk meningkatkan level AQ? Jawaban saya adalah, nilai AQ Anda saat ini bukanlah sebuah vonis. Anda dapat melakukan sesuatu agar nilai AQ Anda menjadi lebih tinggi (dengan kata lain daya tahan Anda terhadap kesulitan akan lebih baik).

Kesulitan dalam hal ini adalah segala macam kesulitan yang berpotensi menggagalkan apa yang telah Anda rencanakan. Kesulitan tidak hanya melulu kejadian yang dramatis, tetapi juga termasuk kejadian-kejadian kecil yang berpotensi menimbulkan akibat sesuatu tidak berjalan semestinya. Dan seperti yang telah kita ketahui kebanyakan orang terjatuh karena tersandung batu kecil, karena batu besar tentu akan terlihat sebelum Anda tersandung. Katakanlah suatu situasi terjadi seperti ini, pagi itu Anda ada janji pertemuan dengan klien untuk negosiasi suatu deal yang nilainya besar. Janji Anda jam 09.00. Namun, malamnya Anda tidur terlambat karena harus menyelesaikan materi negosiasi yang baru Anda ketahui belakangan akibat kelalaian staf Anda. Akibatnya Anda bangun terlambat. Saat ingin mandi ternyata sabun Anda habis. Saat Anda ingin masuk ke mobil ternyata ban mobil Anda kempes, padahal waktu sudah semakin mepet. Saat itu mungkin sudah terbayang Anda tidak akan bisa tiba di tempat klien sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, mungkin ada potensi Anda kehilangan kesempatan deal tersebut. Atau situasi seperti ini, besok pagi Anda ada rapat orangtua murid di sekolah anak Anda. Anda dijadualkan sebagai salah satu orangtua murid yang akan berbicara dalam rapat pada waktu yang ditentukan. Sepanjang malam sebelumnya Anda tidak bisa tidur karena anak Anda yang paling kecil sakit sehingga rewel. Anda baru bisa tertidur saat dinihari, dan sudah pasti Anda bangun terlambat. Terbayang Anda akan menjadi penyebab masalah rapat tidak berjalan dengan semestinya. Dan masih banyak lagi situasi-situasi yang bisa terjadi tanpa terduga dan berpotensi menimbulkan kekacauan rencana Anda.

Stoltz menyarankan empat langkah untuk meningkatkan AQ Anda, yang disingkat menjadi LEAD (Listen, Explore, Analyze, dan Do). Langkah pertama dalam upaya meningkatkan AQ adalah dengan mendengar (listen) respon Anda terhadap situasi yang terjadi. Apakah respon Anda mencirikan level AQ yang rendah atau tinggi. Pada dimensi yang mana (C, O2, R, atau E) respon Anda paling tinggi atau paling rendah. Kemampuan ini membutuhkan latihan yang terus menerus sehingga Anda dapat dengan jelas membedakan respon Anda, dan kemudian tentunya memilih respon yang lebih baik. Langkah kedua adalah melakukan eksplorasi (explore) apa penyebab terjadinya kesulitan tersebut. Seberapa besar kontribusi Anda dalam hal penyebab kesulitan itu. Akibat-akibat apa yang harus Anda akui dan tidak akui. Langkah ketiga adalah menganalisis (analyze) fakta-fakta. Fakta-fakta apa yang membuktikan bahwa Anda tidak memiliki kendali atas situasi tersebut. Fakta-fakta apa yang membuktikan bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah-wilayah lain kehidupan Anda. Fakta-fakta apa yang menunjukkan bahwa kesulitan itu harus berlangsung lama. Langkah terakhir adalah lakukan sesuatu (do). Apa yang bisa Anda lakukan untuk mendapatkan kendali atas situasi kesulitan. Apa yang bisa Anda lakukan untuk membatasi jangkauan kesulitan itu. Apa yang dapat Anda lakukan agar kesulitan tersebut tidak berlangsung lama.

Sekitar empat tahun yang lalu, saya dijadualkan untuk berbicara di depan staf klien saya di beberapa kota secara marathon. Hari pertama di Yogya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hari kedua di Surabaya, Jawa Timur. Hari ketiga di Denpasar, Bali. Tiket pesawat disediakan oleh staf klien yang menjadi panitia penyelenggara. Hari pertama saya dijadualkan berbicara selama empat jam, yaitu pada jam 13.00–17.00, sementara penerbangan Jakarta-Yogya dijadualkan jam 09.00. Aman, bukan? Namun apa yang terjadi? Penerbangan ditunda menjadi jam 10.00 tanpa ada kejelasan. Masih aman juga. Ternyata ditunda lagi ke jam 11.00. Nah, kali ini sudah mulai was-was. Naluri saya mencium kemungkinan bakal terjadi situasi yang menyulitkan, yaitu tidak bisa berada di lokasi acara sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan padahal sekitar 200 orang sudah ada di suatu hotel di Yogya dalam acara tersebut. Dan sebagian besar dari mereka berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, yang sebagian besarnya akan kembali ke kota asal mereka begitu acara selesai hari itu.

Bagaimana respon saya? Langkah pertama (listen), mendengarkan respon saya dan merasakan kendali atas kesulitan yang bakal terjadi. Langkah kedua (explore), saya meyakini bahwa penyebabnya adalah sesuatu di luar diri saya (pihak eksternal), yaitu penerbangan tersebut dan staf yang menyediakan tiket penerbangan dari maskapai yang memang sudah terkenal kurang dapat diandalkan. Apa akibat dari situasi tersebut? Pertama, jelas kelelahan akibat  menunggu waktu berangkat. Kedua, jika tetap harus berbicara selama empat jam maka kelelahan saya bertambah. Jika waktu selesainya acara tidak berubah maka saya harus berusaha lebih ekstra bagaimana materi yang dialokasikan empat jam harus saya padatkan menjadi dua jam tanpa menghilangkan inti dari apa yang harus saya sampaikan. Langkah ketiga (analyze), saya membatasi jangkauan kesulitan itu. Alih-alih saya menggerutu yang berakibat pada situasi hati menjadi tidak nyaman, saya mengisi waktu menunggu dengan membuka laptop dan melihat lagi materi yang akan saya sampaikan agar jika benar-benar terlambat dan alokasi waktu saya cuma dua jam maka saya sudah siap. Langkah terakhir (do), ketika jam 11.00 belum ada kepastian keberangkatan pesawat, saya melakukan tindakan dengan mencari penerbangan lain. Sayangnya, hanya ada satu maskapai lain dan kursi sudah tidak tersisa. Alhasil, pesawat berangkat ke Yogya pada pukul 12.00 lebih dan saya tiba di ruangan acara pada pukul 15.00. Dan klien meminta acara berakhir sesuai dengan waktu yang telah mereka susun, dengan kata lain materi yang seharusnya saya sampaikan selama empat jam terpaksa harus dipadatkan menjadi dua jam. Tetapi, karena saya sudah menyiapkan kemungkinan-kemungkinan itu maka akhirnya acara tetap berjalan sesuai dengan yang diinginkan klien. Lakukan prinsip LEAD ketika situasi sulit menghampiri Anda. Mungkin kali pertama mencoba Anda akan merasa canggung. Namun, jika Anda lakukan terus berulang-ulang pada akhirnya Anda akan terbiasa dan akan menjadi mekanisme otomatis ketika kesulitan itu datang. Sama halnya seperti saat Anda belajar mengendarai motor, pertama pasti canggung. Tetapi, pada akhirnya Anda akan mahir dan menjadi mekanisme otomatis Anda.