Rabu, 12 September 2012

Elia Paul Ang: Riding The Waves


Paulus dan Amy (paling kanan), Pdt. Junry Alow (paling kiri)
Sudah lama saya mengenal secara dekat dengan suami istri Elia Paul Ang dan Amy Chandra. Kebetulan kami bertetangga. Tetapi baru kali ini mereka berdua berkenan membagi cerita perjalanan hidup mereka, khususnya kisah Elia Paul Ang, atau biasa dipanggil Paulus. Kisah Paulus adalah kisah perjalanan anak manusia yang harus meniti perjalanan kehidupan yang pahit sejak masih kanak-kanak. Perjalanan Paulus bagaikan menaiki gelombang samudra. Namun, Paulus terus bertahan dan mengatasi kesulitan dan kesengsaraan yang dialaminya dengan satu keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan umatnya yang setia dan terus berusaha terkapar tidak berdaya, dan Tuhan akan menolong umatnya tepat pada waktunya.

Lahir pada 21 April 1968 di Pasuruan, Paulus sebenarnya berasal dari keluarga mapan. Kakek dari ayahnya adalah orang berada di Lumajang. Pada saat peralihan pemerintahan penjajah Belanda ke penjajah Jepang, rumah mereka di pusat kota Lumajang diambil alih tentara pendudukan Jepang untuk dijadikan markas tentara pendudukan Jepang. Keluarga kakeknya kemudian pindah ke Pasuruan, dan memiliki beberapa usaha, antara lain; pabrik selep beras, pabrik sepatu kulit dan pompa bensin. Ibunya, berasal dari Probolinggo, juga berasal dari keluarga kaya. Keluarga dari ibunya memiliki pabrik beras juga. Pada saat panen beras, baik di pabrik keluarga ibunya maupun ayahnya, antrean panjang gerobak sapi yang mengirim dan mengambil beras untuk di-selep adalah pemandangan yang lumrah. Saat itu pernikahan ayah dan ibunya dimaksudkan agar terjadi sinergi dalam memadukan kekayaan keluarga ayah dan ibunya. Namun, intrik dalam keluarga ayah dan ibunya menghasilkan kondisi yang tragis. Ayahnya, sebagai anak lelaki satu-satunya dari lima bersaudara yang seharusnya menjadi ahli waris usaha keluarga, justru dihalang-halangi masuk bekerja di perusahaan keluarga sendiri. “Papa hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, ujar Paulus. Demikian pula, ibunya tidak memiliki hak atas harta orangtuanya. Harta keluarga dikuasai oleh keluarga yang lain. Sungguh ironis. Keluarga ayah dan ibunya hidup berkelimpahan, sementara ayah dan ibunya tersingkir dan harus hidup dalam kemiskinan.

Paulus masih bisa mengingat saat-saat mereka masih menjadi satu keluarga yang utuh. “Papa dan mama saya miskin sekali. Sejak TK saya sudah dilepas ke sekolah sendirian. Saya harus berjalan beberapa kilometer melewati pesawahan untuk mencapai sekolah TK Stella Maris, Surabaya, ujar Paulus. “Namun, saya tidak lama sekolah di sana. Hanya kira-kira tiga bulan saja, karena ada anak orang kaya yang sangat membenci saya, dan melakukan kekerasan fisik kepada saya. Guru tidak dapat mengatasinya, dan akibatnya saya yang dikeluarkan dari sekolah oleh Mama, kenangnya. Jadi, saya hanya mengecap TK selama 3 bulan saja. Akibatnya, saat memasuki kelas 1 SD saya belum bisa membaca, lanjutnya. Kerasnya penolakan dari teman-teman pada masa kecilnya membuat Paulus tumbuh menjadi anak yang minder dan memiliki sedikit teman. “Saya lebih senang menyendiri dan memecahkan semua masalah saya sendiri. Tetapi, dengan cara itu, saya justru terlihat lebih cepat dewasa di dalam pemikiran, walau saya masih anak anak, katanya. Ibunya mendidik Paulus dengan disiplin tinggi. Kehidupan miskin yang dialami kedua orangtuanya berujung pada keputusan tragis. “Akhirnya, Papa dan Mama bercerai. Keluarga mereka juga yang akhirnya membuat Papa dan Mama bercerai, ujar Paulus. Itulah kenyataan pahit yang harus ditelannya saat Paulus masih berusia sekitar 7 tahun.

Awalnya Paulus dan kakak perempuannya tinggal bersama ibunya. “Sempat beberapa bulan saya ikut Mama, ujar Paulus. “Saat itu, saya sangat merindukan Papa, lanjutnya. Beberapa bulan kemudian, saya diserahkan ke Papa. Mama menganggap saya adalah anak bodoh yang tidak punya masa depan. Saat itu saya menangis, kenapa keluarga kami hancur? Dan saya juga harus berpisah dengan kakak saya”, ujar Paulus.

Selanjutnya Paulus mengikuti kepindahan ayahnya ke Malang. Akibat perceraian kedua orangtuanya dan terlambatnya kemampuan membacanya membuat Paulus harus mengulang di kelas 2 SD. “Prestasi sekolah saya saat itu buruk sekali. Saya dan Papa saat itu menumpang di rumah Tante (kakak tertua Papa). Saya hampir tidak pernah belajar kecuali saat ada ulangan dan ulangan umum, ujarnya. Papa tidak pernah memukul saya, bahkan tidak pernah menegor saya atau menyuruh saya belajar. Saya benar-benar bebas, tidak ada aturan apapun. Prestasi sekolah saya biasa-biasa saja. Tidak ada yang dapat dibanggakan dengan pendidikan SD saya pada awalnya, lanjutnya. Suatu ketika, saya kedatangan saudara dari Surabaya yang menginap di rumah. Dalam perjalanan makan malam saya ditanya tentang prestasi di sekolah. Saya berbohong kalau nilai saya bagus. Setelah makan malam, mereka mengkonfirmasi prestasi saya ke Papa. Papa mengatakan hal yang sebenarnya apa adanya. Saya menjadi malu sekali karena ketahuan berbohong, dan mengunci diri di kamar, kenangnya. “Tetapi, sejak saat itu saya belajar dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya saya berhasil masuk 5 besar, dan terus membaik di posisi 3 besar. Guru-guru di sekolah terheran heran dengan perubahan prestasi saya. Prestasi tersebut dimulai dari kelas 4 SD hingga kelas 3 SMP. Saya benar benar berlomba dalam prestasi, ujar Paulus.

Paulus sangat membenci kemiskinan. “Saya tahu persis apa arti kemiskinan. Kita tidak dianggap selayaknya manusia, ujarnya. Saat saya kecil, saya pernah terkena penyakit TBC, dan tidak diobati karena tidak adanya biaya, lanjutnya. “Berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun saya batuk-batuk, sembuh sebentar, dan kambuh lagi. Saya terkena radang yang sangat parah, sampai lendir berwarna hijau, tetapi tidak sebutirpun obat saya minum. Saya masih menjalankan aktivitas seperti orang yang tidak sakit, ke sekolah dan bermain di jalanan, ujarnya. Kebenciannya terhadap kemiskinan melahirkan tekad yang sangat kuat untuk keluar dari kemiskinan. “Saya yakin suatu saat atas pertolongan Tuhan, lambat atau cepat saya dapat keluar dari kemiskinan. Takdir saya bukan sebagai orang gagal. Tuhan sanggup menolong saya keluar dan saya layak menerima pemulihan dari Tuhan, ujarnya.

Golden moment dalam hidup Paulus terjadi saat dia duduk di bangku SMA.“Saat itu, saya mengalami pencerahan, mengenal jalan Tuhan. Kehidupan saya banyak dipulihkan, luka-luka batin saya di masa lalu banyak mengalami kesembuhan, dan saya mulai aktif dalam pelayanan. Prestasi saya di SMA tidak sebaik di SMP, tapi juga tidak terlalu buruk”, lanjutnya. Paulus bersekolah di sekolah favorit di kota Malang, yaitu SMAK St. Albertus, Dempo. “Penurunan prestasi juga karena di sekolah tersebut banyak teman-teman yang lebih pandai”, jelasnya. “Selain itu, juga karena terlalu sibuk pelayanan di sekolah dan persekutuan doa mengakibatkan berkurangnya waktu belajar saya”, tambahnya. Pada masa SMA Paulus mulai mengerti bahwa dalam hidup harus memperhatikan sesamanya, dan harus bisa membantu banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. “Jiwa sosial saya mulai terbangun. Teman-teman saya menjadi banyak. Saya sembuh dari rasa minder itu”, ujarnya.

Ketika kuliah Paulus lebih aktif lagi dalam pelayanan rohani. “Saya sangat menikmati sukacita pelayanan dan pekerjaan saya ini. Saya bekerja sebagai kepala toko di sebuah toko buku di kota Malang. Pagi saya bekerja, siang kuliah, sore bekerja lagi”, ujarnya. “Sebenarnya hasilnya tidak terlalu besar, namun saya mendapat pengalaman yang sangat berharga. Saya mulai mengenal orang orang di bisnis media”, lanjutnya. “Saya mulai mengirim uang untuk Mama hasil pekerjaan saya setiap bulannya, sebagai bakti seorang anak kepada orang tuanya”, ujarnya. “Padahal saya jarang bertemu Mama. Apalagi zaman itu telepon masih sulit dan rumah kami tidak memiliki sambungan telepon. Jadi, setiap awal bulan saya mentransfer tanpa memberi tahu kalau saya sudah transfer dan tanpa berharap mendapat ucapan terima kasih dari Mama”, kenangnya bangga. Melalui aktifitas pelayanan persekutuan doa Paulus bertemu dengan Amy, yang sekarang menjadi istrinya. “Saya kenal Amy pada tahun 1987. Kami berkenalan selama lebih dari 3 tahun. Setelah itu Amy pergi ke Jakarta. Kami menikah pada tahun 1994”, ujar Paulus. 

Suatu hari di akhir 1992, tepatnya 12 Desember 1992, setelah saya menyelesaikan skripsi, saya mendapat mimpi. Inti mimpi itu menyuruh saya pindah ke Jakarta, padahal saat itu saya tidak memiliki uang untuk pergi ke Jakarta. Tetapi, secara ajaib hari itu juga saya mendapatkan uang persis seperti doa permintaan saya. Saya langsung berangkat ke Jakarta dengan hanya berbekal sebuah tas berisi baju dan sebuah dos berisi buku-buku”, kenangnya. Saat Paulus menginjakkan kaki di kota Jakarta, dia berkata kepada dirinya, "Jakarta, saya datang dan saya akan menaklukkanmu!".

Di Jakarta, Paulus mendapat pekerjaan di sebuah hotel di Jakarta Pusat sebagai duty manager. Selama 4 bulan karakternya ditempa. Bekerja 14 jam sehari tanpa ada hari libur. Tiga bulan dia mendapat giliran shift malam, bulan ke empat dia mendapat shift pagi. April 1993, Paulus memutuskan mengundurkan diri. Awalnya, pengunduran dirinya ditolak. Pemilik hotel menilai Paulus sangat jujur dan hasil pekerjaannya juga memuaskan. Paulus ditawari kenaikkan gaji hingga Rp 5 juta per bulan, yang untuk ukuran saat itu cukup tinggi. Dan ditawari fasilitas kredit mobil dengan bunga 0%, yang dapat diangsur sesuka dia. “Tetapi, saat itu saya menolak. Saya memilih mengambil tawaran  bekerja di sebuah yayasan Kristen, ujarnya.

Setelah sebulan bekerja, Paulus baru tahu ternyata gajinya sebulan adalah Rp 250.000. Saya sempat shock, karena gaji sebesar itu hanya cukup untuk membayar kos saja, belum untuk transportnya. Akhirnya saya harus cari kos baru dekat kantor sehingga tidak perlu naik kendaraan lagi. Saya harus hidup sangat hemat, setiap pagi saya hanya makan mie instan, dan malam hari hanya minum segelas coklat, karena uang saya tidak cukup untuk membeli nasi. Berat badan saya turun drastis. Siang hari, saya mendapat makan di kantor, jatah karyawan”, tutur Paulus. Paulus bertahan selama 4 tahun di yayasan Kristen itu untuk kemudian mengundurkan diri.

Setelah mengundurkan diri, Paulus mencoba merintis usaha bersama teman-teman. Usaha yang digelutinya adalah jasa pengiriman barang untuk kebutuhan rumah tangga. Namun, tidak bertahan lama karena keterbatasan modal. Setelah itu Paulus bergabung dengan Lippo Property, memasarkan rumah di Bukit Sentul (sekarang Sentul City). “Empat tahun saya di sana, 3 tahun sebagai Adminsitrator dan setahun terakhir sebagai tenaga pemasaran free lance, ujarnya.

Selanjutnya, Paulus membuka usaha sebagai distributor pelumas industri dengan dukungan modal dari pamannya. Usaha itu berkembang luar biasa dalam waktu singkat, sehingga kami mencapai prestasi sebagai distributor baru terbaik. Perusahaan menerima Rocky Awards dari principal, ujar Paulus. Tetapi, Paulus tidak dapat menikmati kesuksesan itu. Paulus difitnah melarikan uang perusahaan. Paulus terpaksa harus keluar dan usaha itu diambil alih oleh pamannya. Nama Paulus disebarkan lewat surat yang di tempel di pos-pos satpam di pelanggannya. “Saya tidak melakukan perlawanan apapun, karena prinsip saya dari pada energi habis untuk kemarahan, lebih baik diarahkan untuk membangun masa depan kembali, ujarnya.

Dalam waktu sebulan, kami akhirnya mendapatkan investor baru. Kami direkrut perusahaan besar, tetapi ini pun tidak berjalan lama. Kali ini, staf kami yang berkhianat. Ketika itu kami merayakan syukuran atas perusahaan yang baru kami bentuk. Pengkianat itu beserta suaminya ikut merayakan dengan penuh kegembiraan. Tetapi, keesokan harinya hampir seluruh tenaga penjual tidak ada yang ke kantor. Mereka semua meninggalkan kami. Hanya tersisa 3 orang tenaga penjual yang masih setia. Tim penjualan dibajak oleh staf kami itu, yang telah kami didik sekian lama. Akhirnya, perusahaan terpaksa ditutup, dan kehidupan kami kembali menderita lagi, tuturnya. Kehidupan Paulus kembali ke titik nadir. Bahkan, saat itu bukan hanya dia sendiri, tetapi juga istrinya, Amy, dan anaknya, Michael. “Untuk membeli susu Michael saja, kami tidak memiliki uang, kenangnya.

Selama dua bulan Paulus dan Amy tidak memiliki pekerjaan. Tiap malam mereka berdoa memohon pengampunan atas setiap dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan dan melepaskan pengampunan kepada paman dan mantan stafnya yang berkhianat. Pada bulan ketiga Tuhan menjawab doa mereka. Mereka mendapat kesempatan dipertemukan dengan seorang pengusaha pelumas Beltran Oil. Saat pertemuan pertama itu Paulus mendapat kepercayaan dan diijinkan menjadi distributor pelumas Beltran. Saya sangat optimis mampu menjual produk itu. Dalam waktu kurang dari setahun penjualan kami sudah cukup bagus. Awalnya, semua saya lakukan sendiri. Mulai dari mencari order, mencetak faktur, surat jalan, mengantar pesanan, tukar faktur dan menagih semua saya lakukan sendiri”, tutur Paulus. Paulus bekerja sangat keras. Usahanya tidak sia-sia. Pada tahun kedua dia sudah bisa menyewa sebuah kantor dan mulai merekrut karyawan. “Pada tahun itu, staf saya yang berkhianat kembali dan minta bergabung dengan saya lagi, karena dia telah dikhianati oleh anak buahnya. Kami tidak tega. Akhirnya kami menerima dia kembali, hanya karena satu alasan, yaitu kami sudah mengampuni . Tetapi, akhirnya Paulus harus mengalami kekecewaan kepada stafnya itu untuk kedua kalinya. “Tetapi, kali kedua itu kami tidak terlalu shock lagi, jelasnya. 

Paulus dan Amy
Tahun 2008 terjadi krisis keuangan global. Harga minyak dunia naik dari USD 46 per barell hingga mencapai USD 140 per barell. Semua industri mengalami imbas krisis tersebut, termasuk pelanggan-pelanggan Paulus yang kebanyakan adalah industri baja. Penjualan Paulus pun terjun bebas. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga demikanlah nasib Paulus. Saat itu Paulus masih memiliki kewajiban suplai sesuai harga kontrak dengan beberapa perusahaan. Dalam waktu setahun Paulus mengalami kerugian sangat besar. “Kami hampir menjual seluruh aset kami untuk menutupi kerugian itu. Saat itu rumah yang kami tinggali hampir disita oleh bank. Belum lagi ancaman masuk penjara karena gagal bayar ke prinsipal dan gagal bayar kartu kredit”, ujarnya. “Tetapi, Tuhan sungguh baik. Dalam keadaan kritis seperti itu hati prinsipal kami melunak. Beliau memberi kesempatan kepada kami untuk me-reschedulle pembayaran hutang. Dengan kesempatan itu dalam waktu 2 tahun kami dapat menyelesaikan hutang-hutang kami, tutur Paulus sambil tersenyum. Jatuh bangun usaha dan kebangkrut yang kami alami berkali-kali, secara akal sehat memang menimbulkan perasaan cemas. Dan yang pertama saya rasakan sebagai seorang istri adalah perasaan tidak aman. Mental sekuat apapun tetap akan mengalami perasaan putus asa ketika jatuh bangun terjadi berulang kali. Dalam keadaan seperti itulah maka Iman dan Pengharapan kepada Tuhan yang membuat kami bisa survive melalui semua kesulitan, tambah Amy. “Sebagai ucapan syukur, kami berkomitmen untuk hidup secukupnya, selebihnya kami akan kembalikan uang kami kepada Tuhan melalui pelayanan kepada masyarakat”, ujar Paulus.

Komitmen Paulus diwujudkan dengan memulai pelayanan bersama Pendeta Junry Alow, M. Div., M. Th., melalui acara siaran radio yang diberi nama Inspirative Power Ministry (IPM), yang memiliki visi memberikan inspirasi bagi orang-orang yang sedang terpuruk untuk bisa bangkit dan tidak menyerah dalam perjuangan hidup mereka. Kami dari awal sepakat bahwa yang dibutuhkan bangsa ini adalah perubahan mindset dari bangsa yang gagal, miskin, mudah putus asa, dan lemah dalam semangat juang untuk diubah menjadi bangsa yang memiliki mindset pemenang, pantang menyerah, sejahtera, mengasihi Tuhan dan sesama. Persatuan adalah pesan moral yang terpenting yang kami bawa, persatuan akan mengabaikan semua perbedaan pandangan yang ada, merasa senasib, sebangsa dan solidaritas kebangsaan harus di atas solidaritas yang lebih kecil lainnya, tutur Paulus. Pertama kali mengudara pada tanggal 20 Pebruari 2011 melalui Radio Heartline FM 100,6 di Karawaci, Tangerang, Banten. Acara, yang diisi bergantian dengan Pendeta Junry Alow, tersebut mengudara selama 10 menit setiap hari pada pukul 05.20-05.30, kecuali hari Sabtu pada pukul 06.20-06.30. Kini acara Inspirative Power Ministry juga mengudara melalui Radio Sangkakala AM 1063 di Surabaya, dan di Life Channel 70.

Launching Koperasi K3IPM
“Kami juga rindu bagaimana kami dapat menginspirasi masyarakat agar dapat saling menolong di dalam suatu komunitas ekonomi yang berswadaya, swakarsa dan swasembada. Ini yang kami namakan gerakan Ekonomi Komunitas. Gerakan Ekonomi Komunitas ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan adalah problem nasional yang kita hadapi, jangan Anda menutup mata untuk fakta ini, ujar Paulus. “Kemiskinan bisa di atasi dengan gerakan ekonomi komunitas, dimana anggota komunitas saling tolong menolong, menggali potensi agar kesejahteraan boleh dinikmati oleh para anggotanya. Keberhasilan anggotanya haruslah menjadi kebahagiaan bersama. Itu cita-cita kami, lanjut Paulus yang mengidolakan Mother Teresa dan Muhammad Yunus. Dalam perjalanannya, Paulus mengenal sistem koperasi Credit Union. Akhirnya komunitas IPM sepakat membentuk koperasi Credit Union K3IPM pada 1 Mei 2012. Tanggal 5 Mei 2012 koperasi tersebut diluncurkan. “Dalam waktu 3 bulan aset sudah mencapai sekitar Rp500 juta. Setiap hari aset koperasi terus bertambah, ujar Paulus.

Sekecil apapun yang kita lakukan untuk bangsa ini sepanjang di dorong rasa cintamu, lakukanlah dengan setia. Suatu saat engkau akan melihat hasilnya bila benih itu sudah bertumbuh dan berbuah. Jangan mudah putus asa ketika menghadapi kegagalan, keras dan kejamnya kehidupan ini. Belajarlah dan bijaksanalah agar keras dan kejamnya kehidupan ini justru melatih mental kita menjadi kuat menghadapinya. Itulah sang pemenang sejati, pesannya menutup pembicaraan.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.   

Senin, 03 September 2012

Man Jadda Wa Jada: Kisah Denni dan Selvi Kek Pisang Villa Batam


Bersama Selvi (paling kanan) dan Denni (kedua dari kanan) di Hangzhou, China.
Sebagian besar Anda, khususnya Anda yang tinggal di Batam atau pernah ke Batam, kemungkinan besar pernah mendengar Kek Pisang Villa Oleh-oleh Khas Batam atau bahkan sudah pernah membeli kek pisang yang diproduksi dan dipasarkan oleh pasangan muda Denni Delyandri dan Selvi Nurlia itu. Mereka berdualah yang pertama kali berani menyebutkan produk yang dijualnya sebagai Oleh-oleh Khas Batam. Kisah pasangan Denni & Selvi dalam membangun usahanya merupakah kisah perjuangan yang sarat dengan kegigihan, pengorbanan, dan usaha keras serta kepedulian terhadap sesama. Bermula dari usaha yang dimulai saat dia berusia 26 tahun, di sebuah rumah type 36, hingga saat ini mereka telah membuka 12 gerai di Batam dan 4 gerai di Pakan Baru dengan total omzet harian mencapai Rp 100 juta.

Bersama Selvi (ketiga dari kanan berkerudung) & Denni (di belakang berkaca mata hitam), di The Bund Shanghai, China
Saya mengenal mereka di musim panas 2010 dalam perjalanan wisata selama 8 hari mengunjungi kota Shanghai dan obyek-obyek wisata di kota-kota kecil sekitarnya. Mereka adalah pasangan muda yang sangat ramah, mudah bergaul, dan enerjik. Walaupun mereka berdua merupakan pasangan termuda dalam rombongan kami, tetapi mereka tidak mengalami kesulitan berkomunisasi dalam kelompok. Hal tersebut menandakan mereka adalah pasangan muda yang sudah matang kepribadiannya. Mereka cepat beradaptasi namun tetap memegang erat kepatutan yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Suhu di siang hari yang mencapai 40 derajat Celcius tidak menggoyahkan Selvi untuk tetap berpakaian selayaknya seorang muslimah.

Denni, anak pertama dari dua bersaudara, lahir di Magelang pada 11 Juni 1980. Ayahnya, Delyandri Rasyid (58 tahun), adalah seorang pensiunan PT Telkom. Sedangkan ibunya, Zul Eni (57 tahun) seorang Pensiunan Muda Guru SMU. Ayahnya adalah seorang pekerja keras dan sosok yang bertanggung jawab di mata seorang Denni. Ibunya sangat penyabar, yang selalu mendoakan kesuksesan anak-anaknya, dan selalu memotivasinya agar menjadi yang terbaik dalam hal apapun yang dipilihnya. Ibunya juga selalu mengingatkan dia agar tidak lupa berbagi kepada yang membutuhkan.

Bakat kepemimpinannya sudah tampak sejak Denni masih duduk di Taman Kanak-kanak. Denni kecil selalu menjadi murid pilihan guru-gurunya ketika sekolah membutuhkan komandan upacara, ketua regu untuk Pramuka, atau mewakili sekolah untuk membawa bendera. Denni mudah bergaul dengan teman-temannya. Dia sangat menyukai kegiatan mendaki gunung. Saya pencinta alam, gunung-gunung di Sumatera Barat hampir semua pernah saya daki. Sangat senang rasanya ketika bisa melihat matahari terbit (sunrise) di puncak gunung-gunung tersebut, ujarnya. Sumatera Barat. Ya, di Sumatera Barat, tepatnya di Universitas Andalas di kota Padang Denni bertemu dengan Selvi, yang sekarang menjadi istrinya. Mereka berdua sama-sama menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik Elektro dan sama-sama lulus menjadi Sarjana Teknik.

Selvi merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara. Lahir pada 11 Agustus 1980 di Tanjung Uban, Pulau Bintan. Ayahnya adalah pegawai BUMN, yang mendidik anaknya dengan keras. Ayahnya mendedikasikan waktu dan pikirannya agar keenam anaknya mendapatkan pendidikan hingga sarjana. Bagi ayahnya, pendidikan adalah yang terutama yang harus diupayakan. Walaupun untuk mencapai hal itu, ayahnya harus secara efektif membagi waktu antara bekerja dan berdagang. Dari ibunya, Selvi mendapatkan pelajaran agama. Ibu mengajarkan saya tentang agama yg kuat, taat kepada Allah, sholat tepat waktu, puasa dan berdoa. Bagaimana mengatur waktu dengan baik, sehingga semua pekerjaan selaras dengan waktu kita”, ujarnya Selvi.

Selvi kecil adalah anak yang pemalu, meski kerap mengikuti berbagai kompetisi, baik yang bersifat formal seperti cerdas cermat maupun yang informal seperti lomba lari, acara kesenian, dan lain-lain. Masa remaja Selvi dilalui tanpa banyak hal yang berkesan. Semua berlalu secara biasa saja karena tinggal di kota kecil di Bintan. Semua perhatian tercurah pada pelajaran. Namun saat itu Selvi sudah membangun mimpi. Mimpinya adalah suatu saat dapat menghajikan orangtuanya, tidak terbelenggu pekerjaan tetapi dapat sesuka hati melancong keluar negeri. Berkeliling dunia, bukan untuk belajar atau bekerja tapi hanya untuk menikmati hidup. “Aku tidak pernah membayangkan akan bekerja dengan berbusana rapi, seperti wanita modern saat ini, dan duduk di belakang meja sambil memegang komputer, ujarnya. Mimpi itu mungkin karena pengaruh televisi di lingkungan tempat tinggal Selvi saat itu, yang hanya dapat menangkap siaran dari Singapura dan Malaysia saja. Minat Selvi terhadap kuliner tergali melalui acara televisi Malaysia, yang merupakan acara favorit saat itu, yaitu Cooking with Wan Muhammad.

Kehidupan pasangan Denni dan Selvi sudah dirancang sejak mulai berpacaran di bangku kuliah. Mereka menargetkan lulus kuliah secepatnya. Dan berharap mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi sehingga dengan setahun bekerja dapat menikah dan mempunyai rumah. Menjelang kelulusan mereka, sebuah perusahaan elektronik di Batam membuka lowongan pekerjaan di kampus mereka. Denni dan Selvi sama-sama mendaftar. Namun, hanya Denni yang diterima bekerja di Batam. “Merantaulah Denni ke Batam, ujar Selvi. “Saya kembali ke rumah orangtua saya di Pulau Bintan, lanjutnya. Tak lama kemudian saya mendapat pekerjaan. Kami bertemu setiap dua minggu, karena Batam-Bintan berbeda pulau dan harus menggunakan speed boat untuk ke Bintan, jelas Selvi.

Semua berjalan sesuai harapan. Tidak lama bekerja mereka memberanikan diri mengambil kredit rumah sederhana type 36 di kawasan Mukakuning, Batu Aji, Batam. Tepat setahun bekerja mereka memutuskan menikah, sesuai rencana awal mereka. “Setelah menikah saya memutuskan keluar dari perusahaan tempat saya bekerja dan mengikuti suami ke Batam. Inilah awal kehidupan berumah tangga yang kami lalui, kenang Selvi.

Di Batam, Selvi mencoba mencari-cari pekerjaan. Akhirnya dia diterima bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi alat-alat infus dan sejenisnya. Sejujurnya saya tidak begitu suka rutinitas selama bekerja. Rasa bosan selalu melanda saya. Di perusahaan itu saya hanya bertahan dua bulan saja. Akhirnya saya memutuskan keluar. Kabar gembiranya saya positif hamil, ujar Selvi sambil mengucap syukur. Setelah tidak lagi bekerja, seharian di rumah membuat saya bosan, lanjutnya. Ditambah penghasilan suami yang pas-pasan. Bila suami lembur paling banyak hanya mendapat Rp 3 juta-an. Belum lagi harus membayar cicilan rumah dan biaya hidup di Batam yang tinggi. Inilah awalnya kami memutuskan untuk  mencoba-coba berjualan kecil-kecilan, tutur Selvi.

Usaha pertama mereka adalah menjual kerupuk udang yang digoreng dan dikemas sendiri. “Akhirnya saya punya kesibukan ketika sendirian di rumah, yaitu menggoreng kerupuk”, ujar Selvi sambil tersenyum. Semua kami lakukan dengan semangat, tambah Selvi. Malam harinya mereka mengemas kerupuk-kerupuk itu agar pagi hari sebelum bekerja Denni bisa memasarkan kerupuk tersebut. Denni menitipkannya di warung-warung pinggir jalan, rumah makan padang yang kecil, warung sembako, dan sebagainya. Kami mempunyai lebih dari 20 titik lokasi penitipan. Sebenarnya hasilnya lumayan untuk menambah penghasilan kami, tapi terasa sangat berat dalam kondisi triwulan pertama kehamilan, jelas Selvi. Kebetulan kegiatan Denni di pabrik kembali padat. Akhirnya setelah 3 bulan berjualan kerupuk udang mereka memutuskan berhenti.

Untuk sementara mereka cooling down. Selvi hanya istirahat dan fokus pada kehamilan pertamanya. Tapi, kondisi itu tidak bertahan lama. Rasa suntuk dan bosan yang dirasakan Selvi mendorong mereka untuk memulai usaha lagi. Kali ini mereka menjual kue klepon. Selvi yang membuatnya di rumah dan Denni yang memasarkan di pabrik-pabrik. Satu demi satu usaha mereka coba agar mendapatkan penghasilan tambahan, termasuk berjualan makanan untuk sarapan pagi. Ketika bayi pertama mereka, Faza Mutiara Denni, lahir keadaan bertambah berat karena biaya perawatan bayi yang luar biasa mahal. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk membuka rumah makan padang dengan uang hasil pinjaman ke beberapa pihak. Kami menerapkan sistem bagi hasil kepada karyawan kami, kata Selvi.

Usaha rumah makan tidak berjalan mulus seperti harapan mereka. Rumah makan, yang mereka namakan Tanamo hanya bertahan dua bulan saja karena kekurangan modal dan tidak fokus dalam mengelolanya. Inilah kerugian pertama kami yang alhamdulillah cukup besar, tutur Selvi. Lagi-lagi mereka mengalami kegagalan. Tapi semua itu tidak melunturkan niat kami untuk berhenti berusaha. Saya memberi dua pilihan ke suami saya; ingin terus bekerja ya jadi manager yang baik atau jika ingin memiliki usaha sendiri maka tinggalkan pekerjaan, bersama-sama kita fokus menjalani bisnis kita, kata Selvi saat itu. Selvi meyakini bahwa pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh maka hasil yang didapat juga tidak akan maksimal.

“Kami berdua mempunyai cita-cita yang sangat tinggi. Jika hanya menjadi karyawan, maka cita-cita ini kemungkinan besar akan hanya menjadi mimpi. Kami memiliki keinginan yang sama, yaitu bagaimana di hidup yang sekali ini benar-benar bisa bermanfaat buat banyak orang, kata Denni. “Berawal dari kegelisahaan itulah saya mulai mencari jalan, karena saya paham pasti ada sesuatu yg salah dalam hidup saya ketika itu (cita-cita semakin jauh dari kenyataan). Saya mulai mencari jawaban melalui buku, teman, dan sebuah organisasi yang dapat dikatakan mengubah pola pikir saya dari sebagai karyawan menjadi seorang pengusaha. Organisasi itu bernama Entrepreneur Association (EA)”, jelas Denni. “Saya bergabung di sana. Teman-teman saya berubah, yang dulunya kebanyakan teman-teman karyawan, sekarang saya punya banyak teman di kalangan pengusaha. Itulah yang membuat saya bercita-cita, suatu saat saya harus bisa menjadi seperti mereka, bahkan lebih, jelas Denni dengan antusias.

Akhirnya di tahun 2006, Denni memilih untuk sama-sama fokus berwirausaha. Langkah awal mereka adalah mendirikan usaha event organizer, dengan pertimbangan usaha EO tidak memerlukan modal yang besar. Karena kami memang tidak punya cukup uang saat itu, kata Selvi. Semua kami pelajari secara otodidak, lanjut Selvi. Dia membeli buku dengan judul “Cara Berbisnis EO Dengan Mudah. Hanya itu yang kami miliki, aku Selvi. Event pertama mereka adalah seminar motivasi. Itulah pengalaman pertama kami yang sangat lucu. Kami belum pernah mengikuti seminar, konsep riil suatu acara tidak tergambar detail. Alhamdulillah acara kami sukses walaupun secara financial kami rugi besar. Lagi-lagi pembelajaran bermanfaat bagi kami. Acara demi acara mereka adakan. Ada yang berhasil dan ada yang sepi peserta. Semua dilaluinya dengan suka cita. Pagi-pagi saat selesai berbenah menyiapkan segala keperluan si kecil Iara, kami bergegas untuk mencari sponsor dan update acara kami. Si kecil Iara kami titipkan sementara di penitipan anak. Akhirnya rutinitas ini membuat kami kewalahan juga, karena ternyata tidak berbeda dengan kerja di kantoran, bahkan yang lebih susahnya lagi harus menitipkan anak”, tutur Selvi.

Gerai pertama di Batu Aji masih eksis hingga saat ini.
Awal tahun 2007 mereka terpikir untuk membuat usaha yang pemasukannya harian. ”Prinsipnya, saya mencari usaha yang arus kasnya harian”, ujar Denni. Denni ingin membuka kursus yang akan diberi nama Entrepreneur Course atau e-course. Selvi memilih untuk membuat jajanan yang bisa dititipkan ke warung-warung di sekitar komplek perumahan. Selvi membuat banana cake yang dijual per porong 1000 rupiah. Melihat perputaran usaha banana cake ini bagus maka Denni memutuskan untuk sama - sama fokus membesarkan banana cake dengan merek VILLA, yang diambil dari nama perumahan tempat mereka tinggal. Setelah sama-sama terjun mengelola banana cake, mereka memutuskan untuk menjual dengan sistem kemitraan, setiap mitra yang menjual per loyang kue akan mendapat fee 3000 rupiah. Alhamdulillah, pesanan pertama kami 40 loyang dari tetangga sebelah rumah, kenang Selvi. Senang bercampur bingung, karena saat itu kapasitas produksi kami hanya 4 loyang sekali bakar dan prosesnya perlu waktu 1 jam. Pesanan kami kebut semalaman, berlangsung lebih kurang 2 mingguan sampai akhirnya kami memutuskan untuk mengutang oven berukuran besar ke pemilik toko sembako tempat kami mengambil barang dagangan. Kamipun merekrut karyawan, sampai akhirnya dalam rumah type 36, kami mempekerjakan 6 orang. Walaupun ramai dan keadaan rumah menjadi sumpek karena harus berbagi antara kerja dan anak, tetapi alhamdulillah semua berjalan lancar, si kecil Iara tetap dalam pengawasan, ujar Selvi. Setelah lebih kurang 3 bulan kami memutuskan untuk mengambil pinjaman ke Bank, kredit tanpa agunan sebesar Rp 40 juta. Uang itu yang kami pergunakan untuk menyewa sebuah ruko di depan perumahan kami Villa Mukakuning. Alhamdulillah keadaan bertambah baik. Setidaknya ketika itu banana cake kami telah menghasilkan omzet Rp 2 jt per hari. Tapi setelah 6 bulan pasar mulai lesu, minat terhadap banana cake kami mulai menurun sehingga omset kami turun drastis, bahkan ketika itu kami kekurangan dana untuk operasional membayar gaji karyawan dan sewa ruko. Akhirnya mobil butut kami yang kami pakai untuk berjualan ke instansi-instansi terpaksa kami jual dengan harga murah.

Alih-alih putus asa, mereka tetap gigih dalam berusaha. Mimpi mereka merupakan sumber energi yang tak ada habisnya untuk terus berikhtiar. Allah Maha Adil ketika kita tetap fokus dan menyakini impian kita jawaban-Nya selalu ada”, tutur Selvi. Suatu hari ada pelanggan kami yang hendak berangkat ke Medan. Dia membeli 4 loyang banana cake. Ia minta dibungkus yang rapi agar mudah dibawa karena dia menjadikan cake kami sebagai oleh-oleh di kampungnya. Inilah awal terlintas mempopulerkan banana cake kami sebagai oleh-oleh khas Batam. Nama banana cake kami ganti dengan kek pisang sesuai dengan bahasa melayu. Lahirlah Kek Pisang Villa Oleh-oleh Khas Batam.

Denni dan Selvi mencoba menembus pasar dengan cara memposisikan kek pisang sebagai buah tangan atau oleh-oleh khas yang harus dibawa ketika meninggalkan Batam. Mereka berpikir jika bika ambon, yang bukan makanan asli Medan, bisa menjadi makanan khas Medan mengapa mereka tidak bisa menjadikan kek pisang menjadi makanan khas Batam? Kami berusaha bagaimana agar masyarakat dan pendatang di kota Batam aware terhadap produk kami, Kek Pisang Villa sebagai oleh-oleh khas kota Batam, tutur Selvi. Serangkaian aktifitas komunikasi dipergencar. Awalnya masyarakat Batam memandang ini hanya reka-rekaan saja. Bahkan ada yang datang khusus untuk mencacimaki produk kami, lanjut Selvi. Namun, Denni dan Selvi bergeming. Sedikit demi sedikit kepercayaan mulai tumbuh kepada Kek Pisang Villa. Dengan perubahan positioning akhirnya penjualan Kek Pisang Villa mulai bergairah kembali. Melihat respon pelanggan yang cukup bagus dan keunikan produk mereka memberanikan diri untuk membuka 3 cabang lagi di daerah Batam Centre, Nagoya, dan Penuin di tahun 2008. Ekspansi mereka dapat dilakukan dengan bantuan pihak Bank yang telah mulai percaya kepada mereka. “Tiga gerai bisa kami buka dalam waktu 3 bulan, tutur Selvi. Tantangan dan resiko yang kami ambil semakin besar, imbuhnya. Belum genap sebulan sambutan pasar sangat bagus. Alhamdulillah prestasi pertama yang kami ukir adalah sebagai Pemenang III Wirausaha Muda Mandiri 2008, ujar Selvi. Perkembangan pesat usaha kami rasakan setelah mengikuti pelatihan-pelatihan yang diberikan. Kami banyak berkenalan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia yang seirama sehingga momentum positif tetap terjaga. Ini juga yang membawa saya akhirnya masuk sebagai member dari Women Entreprenuer Club ( WEC), tutur Selvi.Tahun 2009 mereka membuka oulet ke-5 di Bandara Hang Nadim. Gerai ke-6 dibuka awal tahun 2010 di kawasan Sei Panas.

Perpaduan pasangan Denni dan Selvi dengan nilai-nilai yang dianutnya memang menghasilkan sinergi yang luar biasa.Sinergi saya dan istri membuat usaha kami cepat berkembang. Strategi kami rancang bersama agar usaha kami layak naik kelas, dari usaha rumahan menjadi bisnis yang patut diperhitungkan. Tapi inilah tantangan kami bagaimana produk kami layak dan patut diperhitungkan, tutur Denni. Ketika awal kami mulai membangun sistem, saya memang agak kerepotan mengatur waktu antar pekerjaan rumah, mengurus anak dan berusaha. Bahkan ketika saya sedang hamil anak kedua kami. Tapi saya tetap menikmatinya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang kita kerjakan sesuai passion kita hasilnya adalah sukacita. Saya masih melobi klien saya, ketika hamil besar. Saat pengantaran kek keesokan harinya saya malah melahirkan, kenang Selvi.

Denni dan Selvi terus mengembangkan usaha mereka. Tahun 2011 mereka melebarkan usahanya ke Pakanbaru dengan mengembangkan merek dagang Viz Cake, yang mengolah durian menjadi aneka jenis kue. Kegigihan dan kerja keras pasangan muda Denni dan Selvi saat ini telah berbuah manis. Saat saya menulis artikel ini, gerai Kek Pisang Villa telah tumbuh menjadi 10 gerai di penjuru Batam, yaitu di Batu Aji, Batam Center, Tiban, Nagoya (2 gerai), Penuin, Botania, Bandara Hang Nadim (2 gerai), dan Sei Panas. Dan dua gerai baru Kek Pisang Villa di Tanjung Pinang. Merek Viz Cake yang baru digarap sejak Mei 2012 untuk pasar Pekan Baru pun telah hadir di 4 gerai. Kami merancang usaha ini dengan sistem dimana kami tidak masuk di dalamnya, bahkan kami tidak mempunyai ruangan khusus sendiri.Kami memposisikan diri kami sebagai konseptor, selebihnya dijalankan oleh professional, ujar Selvi.

Sederet penghargaan pun telah diraihnya. Tercatat penghargaan yang telah mereka raih; ASEAN Business Award Kategori SME (2011), Marketing Award (Market Driven Company, 2011), 1st Winner Indonesia Future Woman Business Leader (2011), Rekor Bisnis sebagai Pelopor dan Produsen Terbesar Makanan Oleh-oleh Khas Batam (2011), 1st Winner Ernst & Young Entrepreneurial Winning Woman (2010), Asia Pasific Entrepreneurship (2010), The Indonesia Small & Medium Business Entrepreneur Award (2010), Siddhakarya (2010), Entrepreneurship UKM Award (2010), 2nd Winner Young Marketer Championship (2009), dan Pemenang III Wirausaha Muda Mandiri (2008). Sebagian mimpi mereka pun sudah diraihnya. Mereka sudah menunaikan ibadah haji pada tahun 2011 yang lalu. Mimpi untuk menghajikan kedua orangtuapun sudah tercapai. Kedua orangtua Selvi menunaikan ibadah haji pada tahun 2010, sedangkan kedua orangtua Denni dijadualkan di tahun 2013. Melancong ke beberapa negara pun sudah mereka nikmati, walaupun sampai artikel ini ditulis tercatat mereka sudah melancong ke 19 negara di Asia dan Eropa. 

Denni & Selvi bersama karyawannya
Walaupun mereka telah menikmati kesuksesan, mereka tetap rendah hati. Suasana kekeluargaan begitu kental terasa dalam hubungannya dengan karyawannya. “Hubungan emosional kami dengan karyawan begitu dekat. Bahkan mereka memanggil kami dengan sebutan umi-abi (sama seperti anak-anak kami memanggil kami). Saya lebih konsen membangun dan meningkatkan taraf hidup karyawan kami dan berusaha mensejahterakan mereka. Bagi saya, pemimpin adalah bagaimana cara kita melayani bawahan kita, bukan sebaliknya, ujar Selvi. Mereka berbagi dengan sekitar 225 karyawan dari berbagai latar belakang. Selain itu juga dalam usahanya mereka berbagi rejeki dengan lebih dari 100 UKM yang menitipkan produk dagangannya di gerai-gerai mereka.

Prinsip berbagi kepada mereka yang membutuhkan, yang didapat dari ibunda Denni sungguh-sungguh diterapkan oleh Denni dan Selvi. Banyak hal yang dilakukan mereka, antara lain kegiatan Peduli Dhuafa dengan membagi-bagikan sembako kepada kaum Dhuafa, kegiatan Nikah Massal, Anak Asuh, Sunat Massal, dan sederet kegiatan sosial lainnya. “Perbanyaklah berbagi kepada sesama, jangan kikir. Sedekah mengurangi bala. Itu yang kami lakukan ketika mulai usaha hingga saat ini”, ujar Selvi.  

Selvi selalu ingat pada pesan ibunya untuk mengatur waktu dengan baik. Walau bagaimanapun keluarga, anak-anak menjadi prioritas utama. Memantau perkembangan anak-anak, sehingga jangan sampai mereka kehilangan sosok kita yang melahirkan mereka. Meluangkan waktu untuk bisa berdiskusi dengan mereka dengan penuh kehangatan dan kasih sayang itu adalah hal yang penting dalam keseharian. Karena saya suka memasak, saya luangkan waktu untuk bisa memasak makanan kesukaan anak-anak dan suami tentunya. Mencoba menu-menu baru adalah hobi saya, lanjut Selvi.

Denni dan Selvi adalah Sang Pemenang. Dengan keuletan, kegigihan, pengorbanan, dan usaha keras serta kepedulian terhadap sesama telah mengangkat kehidupan mereka dari seorang Denni berstatus karyawan dengan gaji Rp 2,5 juta/bulan menjadi pengusaha muda dengan omzet mencapai Rp 3 milliar per bulan, from nothing to something. “Jangan berharap keadaan menjadi lebih baik, namun berharaplah kita yang menjadi lebih baik, maka segalanya akan jauh lebih mudah. Selalu belajar, berikthiar dan berdoa. Man jadda wa jada (siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil”, pesan Denni. Kalau gagal anggap saja kita belum pantas untuk naik kelas sehingga masih harus belajar banyak. Jangan stress dan mati gaya. Lihat, masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Keep moving dan imani bahwa usaha kita pasti akan ada hasilnya. Just FIGHT tidak ada kata menyerah untuk berhenti belajar, tambah Selvi.

Dan perjalanan kesuksesan Sang Pemenang adalah perjalanan tak berujung hingga Tuhan memanggil kita kembali ke haribaan-NYA. Demikian juga pasangan Denni dan Selvi. Mereka terus bergerak memajukan usaha dan berbagi. “Visi kami di tahun 2015 adalah VILLA INDONESIA hadir di 40 kota di Indonesia, dengan tetap fokus di bidang makanan khas daerah atau oleh-oleh, ujar Selvi. Insya Allah. Amin ya robbalalamin”, tutup Denni.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.