Minggu, 09 Juni 2013

Sutomo: Berjuang Sejak Usia Remaja



Seseorang yang berasal dari keluarga sederhana harus tetap tegar, tidak boleh menyalahkan keadaan dan berani berjuang sejak dini. Itulah prinsip Sutomo, dan dia telah membuktikannya.

Sutomo lahir di Bandar Lampung, 21 Desember 1966, dari keluarga yang sangat sederhana merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya, yang lahir di Bangka pada tahun 1925, sejak usia 16 tahun pergi  merantau ke Bandar Lampung. Pendidikan yang rendah mengharuskan ayahnya bekerja keras sebagai pekerja kasar. 

Tapi, ayahnya memiliki sifat attentive, yang jeli memperhatikan situasi dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi yang dialaminya. Untuk memperbaiki nasibnya, ayahnya belajar service mobil dari penjajah Jepang. Dan ayahnya menjadi seorang monitor mobil, yang penghasilannya tidak menentu tergantung mobil yang datang.

Di Bandar Lampung, ayahnya bertemu dengan jodohnya, seorang wanita kelahiran Bandar Lampung yang berbeda tujuh tahun lebih muda. Pendidikan ibunya juga hanya sampai kelas tiga SD, karena sat usia 9 tahun ibunya sudah berstatus yatim  piatu. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang bersahaja, yang dengan telaten mengasuh keenam anaknya.

Sekali pun kehidupan mereka sulit namun orangtua Sutomo mempunyai  beberapa prinsip yang Santa bagus, yang kemudian menjadi pedoman hidup saya, yaitu kerja keras, disiplin, dan tidak bergantung pada orang lain. Ayahnya adalah pekerja keras. Jika terkait dengan urusan pekerjaan, ayahnya sangat gigih. Sebagai seorang montir, kadang pelanggannya minta mobilnya segera dikerjakan karena mobilnya akan dipakai. “Tidak jarang papa harus bekerja hingga larut  malam untuk memenuhi permintaan pelanggannya”, tutur Sutomo.

Ayahnya juga termasuk orang yang sangat disiplin terhadap waktu. Ayahnya tahu kapan waktu untuk bekerja dan waktu untuk keluarga. Dalam bekerja pun spare parts  untuk mobil yang satu selalu diletakkan di satu boks tertentu, dan spare parts mobil yang lain diletakkan di boks yang lain. Sehingga spare parts mobil pelanggan tidak  pernah tertukar, yang akhirnya efisiensi kerja dapat tercapai. Ayahnya tidak mau bergantung kepada orang lain. Jika ada suatu pekerjaan atau  hal-hal baru yang belum diketahuinya, dia selalu belajar atau bertanya kepada orang  lain. Dia selalu membekali pengetahuan dirinya sejak dini. Itulah sifat alertness yang sudah dipelajari oleh Sutomo sejak kecil. “Saya, kakak, dan adik selalu dididik untuk  bekerja di waktu liburan sekolah”, ujar Sutomo.
Sifat alertness ayahnya melekat erat pada diri Sutomo, dan sangat bermanfaat bagi dirinya dalm menghadapi kehidupan selanjutnya. Pada usia sembilan tahun, dimana anak-anak seusia Sutomo sepulang sekolah bebas bermain, tapi tidak untuk Sutomo. “Saya harus belajar dan bekerja. Pada saat itu saya bekerja membungkus sabun, membungkus semprong lampu, membungkus kue kering, mencuci botol di  pabrik minuman ringan”, kenangnya. “Upah dibayarkan setiap minggu. Jadi, jika tiba hari Sabtu saya sangat senang sekali bisa memiliki uang yang cukup lumayan pada saat itu”, jelasnya sambil tersenyum.

Menginjak usia dua belas tahun, ayahnya menderita sakit yang cukup berat. “Papa kena syaraf otaknya sehingga tidak bisa bekerja lagi. Ekonomi keluarga  berantakan”, ujarnya. “Suatu malam, papa memanggil keempat anak laki-lakinya, kakak saya, saya dan  dua adik. Ayahnya berkata bahwa dia sudah tidak bisa membiayai sekolah kami. Dia  berkata jika masih mau sekolah, kami disuruh mencari uang masing-masing”, tutur Sutomo.

‘Beruntung’ ada pelanggan ayahnya yang baik hati, yang menawarkan ke ayahnya agar Sutomo dan saudara-saudaranya bekerja menjual air minum yang diambil  dari sumber air yang ada di tanah miliknya. ‘Keberuntungan’ yang bukan keberuntungan, karena sesungguhnya didikan ayahnya telah membuat Sutomo dan saudara-saudaranya selalu siap dan sigap menyikapi situasi sulit. Prinsip hidup ayahnya telah membuat Sutomo dan saudara-saudaranya terbiasa untuk bekerja keras, tanpa memilih-milih pekerjaan yang harus dilakukan.   

“Akhirnya kami berempat berjualan air demi menyambung hidup dan sekolah  kami. Yang bersekolah pagi mendapat tugas berjualan di siang hingga sore hari, sedangkan yang sekolah siang, paginya berjualan air”, kenang Sutomo. “Pada usia dua belas tahun, saya duduk di bangku kelas enam SD. Sangat berat memang untuk  mengangkat air seberat 19 liter per kaleng. Tapi, saya tetap jalani karena memang  itulah yang dapat membiayai hidup saya dan keluarga serta biaya sekolah saya”, lanjut Sutomo menceritakan kondisi saat itu.

Setelah tamat SD, Sutomo melanjutkan ke SMP Xaverius Teluk Betung. Tentu saja Sutomo tidak mempunyai biaya untuk masuk sekolah, hingga akhirnya kakak tertuanya menghadap Kepala Sekolah Suster Elizabeth untuk minta keringanan biaya  masuk sekolah dan uang sekolah. Setelah mendapat persetujuan dari suster, akhirnya  Sutomo bisa bersekolah. “Untuk membayar uang sekolah, saya peroleh dari hasil penjualan air sampai  tamat SMP. Jika hasil penjualan ada kelebihan, saya menyisihkan Rp 500,- untuk  membeli sayur. Rp 500,- pada waktu itu mungkin setara dengan Rp 25.000,- nilai  sekarang”, ujarnya.

Setelah tamat SMP, Sutomo mendaftar ke SMA Negeri 2 Tanjung Karang. “Saya pilih sekolah negeri karena biayanya murah. “Uang masuk saat itu Rp 35.000,- dan uang  sekolah Rp 900,- per bulan. Untuk membayar uang masuk pun saya harus mengangsur beberapa kali. Setiap hasil dari penjualan air selalu saya sisihkan untuk membayar uang  masuk sekolah”, kenangnya.

Memasuki kelas 3, teman-temannya sudah merencanakan pilihan universitas mana yang akan dituju, sementara Sutomo menghadapi kebingungan. Lagi-lagi dia terkendala biaya pendidikan. “Saya sangat sedih sekali kala itu karena tidak dapat  melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya harus mengumpulkan uang lagi untuk membayar  biaya masuk kuliah”, ujarnya. Tetapi, semangat Sutomo untuk mengenyam pendidikan tidak surut. Dia yakin, pedidikan tinggi adalah tiket dia untuk melanjutkan perjuangannya sebagai Sang Pemenang. Itulah sifat alertness yang dimilikinya pada situasi dia saat itu.

“Setahun kemudian saya baru bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya pilih ke  Akademi
Akuntansi Lampung (A2L), hingga akhirnya saya menyelesaikan pendidikan D3 Akuntansi. Setahun berikutnya saya melanjutkan lagi ke STIE Lampung. Dan akhirnya  saya dapat menyelesaikan S1  Akuntansi”, jelasnya. Wajahnya menyiratkan kebanggaan. “Pengalaman bekerja di sektor non-formal, seperti membungkus kue, membungkus sabun, mencuci botol minuman sampai menjual air minum pada masa kecil hingga remaja telah membuat saya memahami kehidupan dan bagaimana mengatasinya”, ujar Sutomo.

Sutomo mengawali karirnya dengan bekerja menjadi Sales Admin di PT Capella Patria Utama Cabang Lampung. Prestasi kerja yang ditunjukkannya mengantarnya pada posisi sebagai salesman. Tugas Sutomo adalah menjual berbagai barang distributor GS  Battery, Kayaba Shock Absorber, KSK Brake Shoe, Federal Chain, Showa Shock Absorber, dan beberapa parts dari PT Astra International, Tbk.

Dari profesi salesman, Sutomo berpindah haluan menjadi Staff Accounting di PT Vista Grain Corporation. Karirnya terus menanjak menjadi Section Head di PT Charoen  Pokphand Indonesia di Lampung. Kemudian menjadi Accounting Manager di PT  Centralpertiwi Bahari. Dan akhirnya melangkah ke Jakarta sebagai Internal Consultant di kantor pusat PT Charoen Pokphand Indonesia, dengan jabatan Team Leader - FICO SAP Consultant. PT Vista Grain, PT Centralpertiwi Bahari merupakan perusahan afiliasi PT Charoen Pokphand Indonesia.

Dalam perjalanan karirnya tentu saja Sutomo pernah mengalami situasi-situasi sulit. Namun, tentu saja juga dia mempunyai kiat untuk mengatasinya. “Situasi yang paling sulit yang pernah saya alami adalah pada saat diminta menangani produk-produk yang baru di launching dengan harga jual yang tidak murah. Saat itu saya masih menjadi  salesman di PT Capella Patria Utama Cabang Lampung (CPU)”, tuturnya. “Awal-awal memasarkan produk-produk tersebut sangat sulit karena sebagian besar pelanggan pesimis produk-produk itu bisa diterima pasar”, lanjut Sutomo. “Alasannya klasik, harga terlalu tinggi produk belum dikenal”, jelasnya.

Respons pelanggan sempat membuat hati Sutomo miris dan membuatnya sedikit  goyah. Namun, Sutomo yakin akan bisa menjalankannya. Sutomo melakukan pendekatan personal kepada key person, tidak langsung kepada produk yang dijualnya. Sutomo berdiskusi mengenai hal-hal yang menjadi hot news saat itu, bercerita mengenai  hobi dan apa saja yang diminati key person itu. “Dalam berdiskusi jangan menentang pandangan yang berbeda dengannya, ikuti saja alur yang dia inginkan”, ujar Sutomo menjelaskan kiatnya dalam membangun relasi dengan pelanggan.

Jika diperlukan, Sutomo ikut membantu melayani pelanggan toko itu. “Sebagai seorang salesman saya sadar, tidak mungkin menawarkan produk-produk kita saat toko sedang banyak pembeli. Saya ikut melayani pembeli, membungkus produk yang terjual. Setelah toko agak sepi barulah saya menawarkan produk”, tutur Sutomo. “Di beberapa toko kondisi barang selalu berantakan, setiap kali tidak pernah rapi. “Jika saya datang ke toko, saya selalu merapikan produk-produk saya agar mudah dilihat penjaga toko. Dengan mudah dilihat sehingga apabila ada pembeli maka produk saya yang akan diambil duluan”, Sutomo menjelaskan alasannya.

Selain sebagai seorang salesman, Sutomo juga bisa menjadi seorang konsultan bagi pemilik toko. Dengan ringan Sutomo akan membantu pelanggan dalam pengisian SPT Tahunan. Bahkan, mengajar pelajaran buat anak-anak pemilik  toko. 

“Setelah melakukan pendekatan itu maka produk-produk yang saya pasarkan mendapat respon yang baik di toko-toko pelanggan”, ujarnya. “Ada tiga produk yang saat itu selama saya pegang meledak di pasar, yaitu; KSK Brake Shoe, Kayaba Shock  Absorber, dan Federal Chain”, lanjutnya. “Ketiga produk tersebut saat itu adalah pendatang baru di pasar, ditambah lagi harga jualnya di atas harga produk sejenis yang ada di pasaran. Akhirnya, saya berhasil mencapai hasil yang luar biasa dengan melakukan kiat-kiat di atas”, jelasnya.

Ganjaran yang dia dapatkan atas keberhasilan itu sungguh sangat berkesan bagi Sutomo. “Insentif paling spektakuler saya dapatkan produk KSK Brake Shoe. Jika penjualan melampaui target, saya akan mendapat insentif dari produsen sebesar Rp 250 per set. Bayangkan berapa insentif yang saya terima saat itu dengan menjual sampai 40.000 set. Selain insentif dari produk KSK Brake  Shoe, saya juga mendapat insentif dari penjualan produk lainnya. Saat-saat itu menjadi momen yang paling berkesan dalam hidup saya”, kenang Sutomo.

“Kita dikatakan berhasil dalam menjalankan profesi sales jika kita mampu ‘memasarkan diri’ diri kita sehingga menjadi kebutuhan pelanggan kita”, ujar Sutomo. “Artinya, jika pelanggan  kita  merasa  puas  dengan  apa  yang  kita  berikan kepadanya maka dengan sendirinya orang tersebut akan senantiasa mencari kita. Dengan demikian produk-produk yang kita tawarkan akan lebih mudah diterima mereka”, jelas Sutomo. “Semua itu tidak datang dengan sendirinya, kita harus kerja keras, kerja cerdas, jujur, dan ringan tangan memberikan bantuan yang mereka perlukan”, lanjut Sutomo.

Sifat alertness Sang Pemenang yang dominan sehingga selalu siap dan sigap membaca situasi, serta ketekunan, tidak mudah putus asa, dan selalu berpikir positif telah mengubah 180% kehidupan masa kecil Sutomo. Pencapaian demi pencapaian terus diraihnya. Namun, Sutomo tetaplah seorang yang sederhana, banyak membantu kegiatan sosial, dan juga memotivasi anak-anaknya agar bisa meraih kesuksesannya masing-masing.

Kesuksesan dalam karirnya semakin lengkap dengan kesuksesan dalam membina rumah tangga. Sutomo bersyukur memiliki Fung Khian, istrinya yang dua tahun lebih muda dari Sutomo. “Kebahagiaan kami semakin lengkap dengan kehadiran ketiga anak kami yang semuanya lahir di Lampung”, ujar Sutomo. “Anak pertama, Ivan Andri Kurniawan, saat ini masih kuliah di Binus University, Alam Sutera, Tangerang, Banten. Anak kedua, Shandra Kurniawati, saat ini duduk di kelas 12 SMA Tarakanita Gading Serpong, Tangerang. Sedangkan yang bungsu, Trianjaya Kurniawan, duduk di kelas 7 SMP Tarakanita Gading Serpong. Saya berharap anak-anak akan menjadi Sang Pemenang dalam episode kehidupannya,” Sutomo mengungkapkan harapannya sambil tersenyum bangga. Senyum seorang Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung.
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.