Selasa, 25 Desember 2012

Lima Kepribadian Utama Sang Pemenang


Beberapa hari lagi kita akan meninggalkan tahun 2012 untuk memasuki tahun 2013. Sebagian dari Anda mungkin sudah bisa tersenyum lega karena target / resolusi yang Anda tetapkan di awal tahun 2012 saat ini sudah tercapai seluruhnya. Anda mungkin sudah menetapkan resolusi-resolusi baru untuk tahun 2013. Dan Anda mungkin saat ini sedang menikmati liburan bersama keluarga.

Namun, sebagian dari Anda mungkin saat ini masih berjuang hingga detik-detik terakhir tahun 2012. Sebagian dari Anda mungkin berpikir apakah tepat jika menghabiskan waktu bersama keluarga dalam kondisi seperti itu, sementara Anda masih menatap bingung resolusi apa yang akan dicapai selama tahun 2013 nanti.

Apa pun kondisi Anda saat ini, pastikan bahwa Anda masih tetap berada di rute yang tepat. Rute perjalanan Sang Pemenang. Dan Sang Pemenang adalah mereka yang terus bergerak ke atas dan ke depan, menjalani kehidupannya sekalipun ada banyak ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan serta bentuk-bentuk kesengsaraan lainnya yang menghadang sepanjang perjalanannya.

Dalam menekuni perjalanannya Sang Pemenang perlu memiliki lima kepribadian utama, yaitu Sang Pemimpi, Sang Pemikir, Sang Pencerita, Sang Pemimpin, dan Sang Pendaki. Kelima kepribadian itu akan dijelaskan lebih rinci di bawah ini. 

Sang Pemimpi
Sang Pemimpi memiliki mimpi. Mimpi yang besar, sangat besar.
Ada lima tingkatan mimpi.
  1. Mimpi untuk keluar dari kemiskinan. Inilah tingkatan mimpi yang paling rendah.
  2. Mimpi pada tingkat kedua adalah mencapai jenjang karir tertinggi, di bidang   profesional ataupun wiraswasta.
  3. Mencapai kebebasan finansial, merupakan tingkat selanjutnya.
  4. Mimpi tingkat keempat adalah berkontribusi pada lingkungan kehidupannya, yang mencakup keluarga inti, keluarga besar, lingkungan sekitar rumah atau kantor.
  5. Mimpi tertinggi adalah berkontribusi luas pada kemanusiaan.                            
Umumnya orang akan mulai dengan tingkatan mimpi yang paling rendah. Setelah mimpinya tercapai barulah dia menetapkan mimpi yang lebih tinggi. Namun, hal tersebut tidak selalu demikian. Seseorang yang masih berjuang mencapai tingkatan mimpi kedua bisa saja telah memiliki mimpi tingkatan tertinggi, yaitu berkontribusi luas pada kemanusiaan.

Mimpi adalah sumber energi dan inspirasi. Semakin besar mimpi kita maka semakin besar juga sumber energi yang kita miliki. Demikian pula semakin kecil mimpi semakin kecil pula sumber energinya. Jadi, jika kita ingin memiliki sumber energi dan sumber inspirasi yang besar milikilah mimpi yang besar.

Mimpi atau gagasan biasanya terpenjara oleh kebiasaan, pengalaman dan pola pikir. Kita tidak berani menetapkan mimpi atau gagasan yang besar karena selama ini kita hanya mengerjakan hal-hal yang kecil dan tak berarti. Pengalaman yang kita miliki terbatas. Kita berpikir bahwa mimpi atau gagasan besar hanya milik orang-orang tertentu saja. Jadi jika Anda ingin memiliki mimpi atau gagasan yang besar singkirkan kebiasaan Anda, lupakan pengalaman Anda, dan perluas wawasan Anda dengan menerapkan pola pikir positif.

Sang Pemikir
Sang Pemenang adalah juga Sang Pemikir, yaitu mereka yang memiliki visi. Sang Pemikir tahu dengan jelas gambaran hidup seperti apa yang benar-benar dia inginkan. Kehidupan bahagia seperti apa yang benar-benar dia inginkan. Sang Pemikir tidak pernah berhenti memikirkan pencapaian visi hidupnya.

Visi bicara tentang bentuk kehidupan yang dinginkan dengan perspektif waktu yang lebih panjang, lima tahun ke depan, sepuluh tahun atau dua puluh tahun yang akan datang. Sang Pemikir hidup bersama visinya dan menghidupkan visinya.

Sang Pencerita
Sang Pencerita memiliki tujuan (goal) hidup yang jelas. Untuk apa dan siapa semua ini kita lakukan. Tujuan hidup yang jelas menjadi motivasi kuat bagi upaya kita mencapai visi dan mimpi-mimpi kita. Tujuan hidup ini menjadi suatu cerita, dan kitalah penulisnya. Kita perlu menghidupkan cerita itu dan menceritakannya kepada orang-orang terdekat kita, orangtua kita, suami/istri kita, anak kita sepanjang perjalanan pencapaian-pencapaian yang kita inginkan. Cerita kita seharusnya juga menjadi bagian dari cerita mereka.      

Sang Pemimpin
Sang Pemenang adalah juga Sang Pemimpin. Setidaknya menjadi Sang Pemimpin bagi dirinya sendiri. Memimpin diri sendiri merupakan pekerjaan yang jauh lebih sulit dibanding memimpin orang lain, karena biasanya kita lebih toleran terhadap diri sendiri dibanding terhadap orang lain. Kita lebih mudah merasa iba pada diri sendiri dibanding kepada orang lain. Oleh sebab itu tantangan sesungguhnya adalah bagaimana dapat secara efektif memimpin diri sendiri.

Sang Pemimpin memiliki misi yang harus dicapainya dalam kerangka waktu yang jelas. Kerangka waktu yang lebih pendek, misalnya sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam tahun ini, tahun depan dan seterusnya.

Sang Pendaki
Sang Pemenang adalah Sang Pendaki sejati, yang sepanjang hidupnya membaktikan dirinya kepada pendakian. Sang Pendaki mempelajari tantangan-tantangan yang harus dihadapinya sepanjang jalur pendakiannya. Sang Pendaki sadar bahwa ada jalan mendaki atau menurun tajam, ada jalan berkelok, ada jurang di samping kiri-kanannya, sehingga dia mempersiapkan dirinya sebaik mungkin dan peralatan-peralatan yang dibutuhkannya.
Sang Pendaki terus menerus meningkatkan daya tahannya. Semangat untuk terus bertahan dan mengatasi setiap tantangan merupakan kata kunci bagi Sang Pendaki.

Itulah kelima kepribadian utama Sang Pemenang. Selamat memasuki tahun yang baru, dengan harapan baru, semangat baru, strategi / cara-cara yang baru, dan pencapaian baru yang lebih baik dari sebelumnya. Lakukan bagian kita, dan Tuhan yang akan menyempurnakannya.
Selamat berjuang.

Salam Pemenang!
Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.   

Rabu, 19 Desember 2012

Sang Legenda Tupperware Indonesia: “Saya Benci Kemiskinan”


Suatu petang di bulan puasa yang lalu, saya bergegas berjalan menuju sebuah meja di sebuah kafe hotel di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Dari kejauhan saya sudah bisa melihat sosok paruh baya yang bersahaja menunggu kedatangan saya. Sesaat kemudian kami sudah duduk bersama dan mulai membuka obrolan. Sosok yang hangat itu adalah Nur Kuntjoro, Sang Legenda Tupperware Indonesia, demikian saya menyebut beliau.
Tupperware Indonesia merupakan perusahaan direct selling terbesar di Indonesia. Pendapatan tahun 2011 mencapai Rp 3 triliun, dan tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp 4 triliun. Kisah beliau yang sukses melakukan turn-around perusahaan direct selling terbesar di Indonesia, dari posisi merugi selama enam tahun berturut-turut menjadi untung dalam waktu 18 bulan sudah banyak diulas oleh berbagai media. Namun, kisah masa kecilnya dan perjalanan hidupnya yang membentuk dirinya seperti sekarang ini belum banyak ditemui di berbagai tulisan. Sambil menikmati makan malam kami asyik mengobrol tentang perjalanan hidupnya.

Masa Kecil Yang Sulit
Nur Kuntjoro, lahir di bulan September 1946 di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, dekat kota Solo. Beliau merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Keluarganya sangat sederhana, kalau tidak dikatakan miskin. Ayahnya adalah perwira militer yang mengepalai Rumah Sakit Angkatan Darat di Solo. Situasi Indonesia tahun 1962-1964 sangatlah sulit. Makan nasi saat itu merupakan suatu kemewahan. Nur dan keluarganya hanya bisa makan bulgur (sejenis makanan untuk kuda) dicampur jagung. Terlebih lagi ayahnya adalah sosok yang sangat jujur dan memiliki integritas tinggi. Ayahnya tidak pernah berkompromi jika terkait hal kejujuran. Bahkan, hanya untuk  perkara baju seragam. Ayahnya merupakan satu dari sedikit  tentara yang mengembalikan seragamnya saat pensiun. Ayahnya berpendapat bahwa setelah pensiun dia sudah tidak berhak menyimpan seragam. Nur Kuntjoro memegang prinsip ayahnya hingga saat ini. Bagi dia kepercayaan hanya ada di dua titik ekstrim, yaitu 0% atau 100%. Dalam kamus hidupnya, tidak ada kepercayaan yang separuh-separuh.   
Ketika Nur naik ke kelas dua SMA, ayahnya sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya. Saat itu teman sekolahnya menawarkan Nur apakah mau ikut tinggal bersama paman dan bibinya, dan bersekolah di Bandung asalkan Nur mau bantu-bantu pekerjaan bibinya di rumah. Dalam benak Nur saat itu, sepanjang dia masih bisa bersekolah kenapa harus ditolak? Sejak saat itu Nur tinggal dan bersekolah di Bandung.
Sambil bersekolah, Nur membantu pekerjaan rumah tangga di rumah paman dan bibi temannya. Di rumah itu, anak-anak paman dan bibi temannya masih kecil-kecil. Nur membantu mengepel, mencuci, dan juga memasak. Bahkan, ada satu kejadian yang tidak akan pernah dilupakan Nur. Suatu ketika bibi temannya melahirkan putri ketiga. Pada masa itu sanitary napkin belum populer sehingga bagi wanita yang melahirkan biasanya menggunakan kain sebagai sanitary napkin, yang disebut duk. Bibi temannya termasuk orang yang fisiknya kurang kuat dan harus banyak bed rest, sehingga tanpa pikir panjang Nur mengambil inisiatif mencuci duk tersebut. Bibi temannya mencegah karena menurut kepercayaan anak laki-laki pamali jika mencuci duk. Tapi, Nur tidak peduli. Apa yang dilakukan Nur membuat bibi temannya sangat terharu, sehingga sejak saat itu Nur diangkat sebagai anak mereka, menjadi saudara tertua bagi anak-anak mereka.
Lulus SMA, Nur melanjutkan kuliah ke Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Namun, semasa kuliah di Yogya beliau menggeluti bidang jurnalistik yang sudah dilakukan sejak masih SMA di Solo. Untuk menambah uang saku, beliau bekerja sebagai redaktur pelaksana Mingguan Angkatan Bersenjata. Pekerjaan sebagai redaktur pelaksana didapatnya karena semasa tinggal di Solo beliau adalah koresponden mingguan tersebut.   
 
Membenci Kemiskinan
Jika dari ayahnya, Nur Kuntjoro belajar tentang integritas dan kejujuran maka dari ibunya beliau belajar tentang kesetiaan kepada keluarga. Ibunya adalah ibu rumah tangga yang dengan setia melayani suami dan kesepuluh anak-anaknya. Kesetiaan pada keluarga yang ditunjukkan sosok ibunya sangat membekas pada diri Nur Kuntjoro.
“Ibu tidak pernah tidur sebelum anak-anaknya tidur”, ujar Nur. “Masalahnya anak-anak tidak bisa tidur karena perut mereka kosong”, tambahnya.
Nur dan saudara-saudaranya tidak pernah kenyang makan bubur. Ayah dan ibunya sangat miskin. Gaji ayahnya hanya cukup untuk makan nasi plus garam. Ayahnya berprinsip bahwa hidup harus disesuaikan dengan apa yang ada. Jika tidak bisa makan nasi dan lauk, ya makan saja nasinya. Jika tidak bisa makan tiga kali sehari, ya buat untuk cukup makan dua kali sehari. Jika tidak bisa makan dua kali sehari, ya cukup makan sekali saja. Jika tidak cukup untuk makan nasi, ya makan bubur. Tetapi, ibunya tidak tega melihat anak-anaknya tidak makan. Alhasil ibunya memiliki banyak hutang. Rentenir sering mendatangi rumahnya untuk menagih hutang. Saat itu Nur sudah tinggal bersama orang tua angkatnya di bandung.
Di suatu malam, ibunya dengan menggendong adiknya yang baru berusia tujuh bulan berjalan menyusuri rel kereta api. Tujuannya adalah ke Bandung menemui Nur Kuntjoro. Berhubung tidak ada uang maka ibunya berjalan kaki. Ketika tiba di Delanggu, petugas PT KAI (Kereta Api Indonesia), dulu masih bernama PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), sangat terkejut melihat seorang ibu dan anaknya yang masih bayi malam-malam berjalan di rel kereta api.
“Ibu mau kemana?”, tanya petugas PJKA seperti yang diceritakan oleh Nur Kuntjoro.
            “Saya mau ke Bandung menemui anak saya”, jawab ibunya kala itu.
            “Lho, Bandung itu jauh sekali dari sini”, kata petugas itu.
“Tidak apa. Kalau saya terus berjalan mengikuti rel kereta api maka suatu saat saya pasti tiba di Bandung”, jelas ibunya.
Iba dengan kondisi ibunya, petugas PJKA tersebut kemudian membantu mengarahkan ibunya untuk naik kereta jurusan Yogya dan seterusnya hingga tiba di Bandung.    
          Ketika melihat ibu dan adiknya yang masih bayi tiba di depan pintu rumah orangtua angkatnya, Nur tidak mampu menahan rasa harunya.
“Saya sayang pada ibu melebihi rasa sayang pada diri sendiri”, ucap beliau. Matanya berkaca-kaca ketika beliau menceritakan bagian ini.     
Kehidupan yang susah semasa kecilnya membuat Nur Kuntjoro sangat membenci kemiskinan.
“Kemiskinan sunguh sangat tidak menyenangkan”, tegasnya.

Jadi Kondektur Bus
Suatu ketika, Nur Kuntjoro diminta ibu angkatnya untuk mengantar adik angkatnya ke Jakarta. Selesai mengantar adik angkatnya, alih-alih pulang beliau malah tetap tinggal di Jakarta. Sempat “menggelandang” di Jakarta hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai kondektur bus. Kehidupan sebagai supir dan kondektur adalah kehidupan yang keras. Tapi, tekadnya begitu kuat untuk membawa keluarganya keluar dari kemiskinan.
Walaupun hanya tiga bulan bekerja sebagai kondektur bus, tapi ada dua kejadian yang mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Suatu saat, ketika Nur sedang memungut bayaran ongkos kepada para penumpang, ada seorang anak sekolah kebingungan karena lupa membawa dompet. Nur Kuntjoro sudah terbiasa dengan ulah penumpang yang pura-pura seperti itu agar tidak perlu membayar ongkos.
“Baik, kali ini kamu boleh tidak bayar. Tetapi, lain kali jika naik bus ini lagi kamu harus membayar ongkos yang hari ini”, kata Nur kepada anak sekolah itu.
Keesokan harinya anak sekolah itu kembali naik bus yang sama. Dan anak sekolah itu benar-benar membayar ongkos hari itu dan hari kemarinnya.
“Anak sekolah itu adalah nenek dari cucu-cucu saya”, Nur Kuntjoro menjelaskan sambil tertawa lepas. Itulah kejadian pertama.
Kejadian kedua mirip dengan kejadian pertama. Seorang penumpang pria berjaket kuning sepertinya tidak mau membayar ongkos.
“Saya mau membayar, tapi jawab dulu pertanyaan saya”, kata penumpang tersebut. “Anda adalah Anton Chekov, bukan?. Masih mau menulis?”, lanjut pria itu bertanya.
Anton Chekov adalah penulis Rusia yang anti komunis. Terjemahan Nur Kuntjoro atas tulisan-tulisan Anton Chekov yang dimuat di Mingguan Angkatan Bersenjata saat kuliah di Yogya membuatnya dikenal sebagai anton chekov-nya Indonesia.
Alhasil Nur Kuntjoro kemudian bekerja di Pusat Hubungan Masyarakat Angkatan Udara, menerbitkan mingguan Angkasa, kembali ke dunia jurnalistik. Nur Kuntjoro mendapat tempat tinggal di mess AURI, makan teratur, tidur teratur, hidup teratur lagi dan meninggalkan kehidupan jalanan.
Masa itu Nur Kuntjoro menekuni bidang jurnalistik.
Suatu ketika Mochtar Lubis menawarkan beliau untuk bekerja di harian Indonesia Raya. Nur mengenal Mochtar Lubis ketika menjadi asisten sutradara pada film yang mengangkat cerita tentang Mochtar Lubis. Tawaran itu diterima sepanjang dia bisa mendapat penghasilan yang lebih baik, karena beliau sangat ingin bisa keluar dari kemiskinan. Di harian Indonesia Raya, sebagai Advertising Manager Nur bertugas mencari iklan. Harian Indonesia Raya berkembang pesat hingga terjadi Peristiwa Malari 1974. Harian Indonesia Raya dibreidel. Itulah akhir cerita kiprah Nur Kuntjoro di bidang jurnalistik.

Meniti Karir Profesional
Selesai di harian Indonesia Raya, Nur Kuntjoro sempat bekerja di Caltex, di Rumbai, Pakanbaru. Hanya bertahan tiga bulan, karena rindu pada sang pacar mengalahkan keinginannya bekerja di Pakanbaru. Nur kembali ke Jakarta. Waktu itu Nur sering main ke Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen (LPPM). Saat itu pimpinan PT Binaman Utama adalah Winoto Duriat. Berhubung Nur menguasai bahasa Inggris, dia diperbolehkan tinggal di mess dan mengikuti kelas-kelas pelatihan yang diadakan di LPPM.
Kesempatan datang ketika Nur Kuntjoro ditawari bekerja di perusahaan asing Singer Sewing Machine Company, sebuah perusahaan mesin jahit. Walaupun sebelumnya Nur pernah menjadi Advertising Manager, namun di Singer dia harus memulai sebagai seorang salesman. Pekerjaan itu dijalaninya dengan suka cita. Kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil menjadi Salesman of The Year.
Tahun 1978, Nur Kuntjoro pindah dari Singer ke Union Carbide. Namun, sekitar tahun 80-an kembali lagi ke Singer. Kembali ke Singer, beliau melakukan program quantum leap di bidang penjualan dalam rangka 100 tahun Singer. Penjualan melesat dan beliau mendapat ganjaran sebuah tiket ke New Orlean. Itulah pertama kali beliau pergi ke luar negeri.
Dari Singer, beliau pindah ke Johnson & Johnson sebagai Marketing Manager. Atasannya adalah orang India. Dari atasannya itulah Nur Kuntjoro mengenal istilah turn-around. Ketika bekerja di Johnson & Johnson Nur Kuntjoro dan beberapa rekan kerjanya mendapat kesempatan dikirim sekolah ke Asian Institute of Managament (AIM) di Filipina untuk mengambil program Master of Business Management (MBM). Kerja kerasnya berbuah manis. Beliau berhasil lulus dengan prestasi kedua terbaik. Biasanya setelah lulus karyawan akan mendapatkan promosi ke jenjang berikutnya. Dan memang teman-temannya mendapat promosi, tapi tidak dengan Nur Kuntjoro. Beliau tidak naik pangkat walau pun gajinya naik. Tidak bisa menerima perlakuan yang dirasakan tidak adil, saat itu juga beliau mengundurkan diri. Itu terjadi pada tahun 1988.
Ketika kuliah di Filipina, Nur Kuntjoro mengenal seorang Filipina yang bekerja di Avon, yang kemudian membawanya bekerja di Avon Indonesia. Selanjutnya Nur Kuntjoro menjadi Managing Director Sara Lee, memegang House of Sara Lee dan Sara Lee Personalcare Products.

Tupperware Indonesia
Nur Kuntjoro masih menikmati karirnya yang mapan di Sara Lee, hingga suatu ketika Rick Goings, yang saat itu (hingga saat ini) adalah CEO Tupperware Worldwide, menghubunginya. Rick mengenal Nur Kuntjoro ketika sama-sama bekerja di Avon dan Sara Lee. Ketika di Avon, Rick adalah President Pacific Rim dan Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Demikian pula ketika di Sara Lee, Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Jadi, ketika Tupperware Indonesia memerlukan pemimpin, Rick meminta Bob Williams, President Tupperware Asia Pacific menghubungi Nur. Rick menawarkan posisi tertinggi di Tupperware Indonesia, yaitu Chief Operating Officer (COO). Saat itu Nur menolak, karena merasa karirnya di Sara Lee sudah mapan.
“Ok. Tidak apa. Saya akan melihat Anda mati di comfort zone Anda”, kata Rick kala itu.
Kata-kata Rick Goings terus terngiang-ngiang di kepala Nur Kuntjoro. Dan Rick Goings pun tidak berhenti hanya sekali saja membujuk Nur Kuntjoro. Perlu waktu delapan bulan hingga akhirnya Nur Kuntjoro tergelitik juga dengan tantangan Rick Goings.
“Tapi, tantangan di Tupperware Indonesia tidak ringan lho”, kata Rick. Saat itu Nur Kuntjoro justru jadi tertantang.
Dan ketika Nur Kuntjoro masuk ke Tupperware Indonesia ternyata persoalan yang ada jauh lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Antar bagian selalu ribut dan berkelahi. Human Resources (HR) acak-acakan. Keuangan perusahaan selama 7 tahun berdarah-darah. Kondisinya benar-benar hancur-hancuran. Dan kondisi itu ada saat Indonesia menghadapi krisis moneter 1998. Dan manajemen pusat hanya memberi dua pilihan, yaitu melipatgandakan kinerja perusahaan atau Tupperware Indonesia ditutup.
Pada situasi seperti itu, mungkin dapat dipahami jika Nur Kuntjoro menyerah. Tapi, Nur Kuntjoro tidak mengenal kata menyerah. No-compromise, tidak ada kompromi. Dia sudah membakar kapalnya, sama seperti yang dilakukan Julius Caesar yang memimpin pasukan Romawi menyerbu untuk merebut dan menduduki kerajaan Inggris Raya. Ketika mendarat di kepulauan Britania, Julius Caesar memerintahkan ratusan kapal perang yang mengangkut dia dan pasukan semuanya dibakar. Tekadnya cuma satu, meraih kemenangan atau menjemput kematian.
Vini Vidi Vici. Saya datang, saya berjuang, dan saya menang. Nur Kuntjoro menggunakan motto Julius Caesar yang terkenal itu untuk membenahi Tupperware Indonesia. Dia meyakini semboyan Brownie Wise, pencetus party selling Tupperware, “build people then people will build the business”. Semboyan itulah yang digunakan untuk mengurai benang kusut dalam persoalan Tupperware Indonesia saat itu.
Kepiawaian Nur Kuntjoro yang sarat pengalaman dan serangkaian strategi yang disusun bersama timnya mampu membangkitkan semangat dan menggerakkan seluruh elemen dalam bisnis Tupperware Indonesia untuk bersama-sama memperbaiki keadaan. Hasilnya, dalam waktu 18 bulan Nur Kuntjoro mampu mengubah Tupperware Indonesia yang selama enam tahun berturut-turut merugi menjadi untung. Penjualan meningkat 222%. Dan selama delapan tahun (1998-2006) beliau memimpin Tupperware Indonesia, penjualan meningkat delapan kali dan tidak pernah merugi.

Ibadah Selanjutnya
Nur Kuntjoro berprinsip pada hari pertama menjabat sebagai pemimpin maka dia sudah harus mencarikan pengganti dirinya. Demikian juga di Tupperware Indonesia. Pada tahun 2001, saat itu usianya mencapai 55 tahun, beliau minta pensiun. Namun, permohonannya baru dikabulkan pada tahun 2005. Itu pun dia masih diminta satu tahun lagi menjadi konsultan dan mentor mendampingi penggantinya, Nining W. Pernama. Tahun 2006 barulah Nur Kuntjoro bisa benar-benar melepaskan diri dari Tupperware Indonesia.
Beliau telah menggapai mimpinya keluar dari kemiskinan. Beliau juga telah berhasil membantu adik-adiknya bersekolah. Beliau bersama istrinya mendahulukan pemenuhan kebutuhan orangtua mereka atas rumah. Setelah mereka mampu membelikan rumah untuk kedua orangtua mereka barulah mereka membeli rumah untuk mereka. Semua itu beliau perjuangkan tanpa kompromi. Beliau tidak berkompromi dengan kemiskinan.
Setelah pensiun dari Tupperware Indonesia sesungguhnya Nur Kuntjoro sudah tidak perlu bekerja lagi, karena secara materi Nur sudah sangat berkecukupan. Adik-adiknya pun sudah mandiri dan sukses. Tapi, Nur Kuntjoro sadar perjalanan Sang Pemenang adalah perjalanan tidak berujung hingga Tuhan memanggil pulang. Beliau terus melanjutkan perjalanannya. Mimpinya saat ini bukan untuk pemenuhan kehidupan jasmani, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan jiwanya. Apa yang dia lakukan sekarang adalah membantu perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan turn-around, profit improvement, quantum leap, dan menikmati sustainable growth melalui perusahaannya, Quantum Consulting.
Dalam usianya saat ini yang telah mencapai 66 tahun, Nur Kuntjoro masih terus berkarya. No-compromise. Usia bagi beliau bukan halangan untuk terus berkarya. Nur Kuntjoro adalah Sang Pemenang sejati.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.

Selasa, 09 Oktober 2012

Sang Pemenang dan Adversity Quotient


Bersama Kepala Kantor BCA Wilayah VII
Sabtu, 6 Oktober 2012 saya diminta oleh sahabat saya, Iwan Senjaya Kepala Kantor BCA Wilayah VII Malang, untuk berbicara mengenai Sang Pemenang di depan sekitar 100 orang anak buahnya yang terdiri atas pimpinan Kantor Cabang Pembantu (KCP), Kantor Cabang Utama (KCU), dan Team Bisnis.

Dalam acara yang berlangsung di Hotel Savana, Malang, salah satu isu yang saya angkat adalah keprihatinan atas banyaknya orang yang mengambil jalan pintas atas persoalan hidupnya atau situasi sulit yang terjadi dengan mengakhiri hidupnya. Bunuh diri saat ini sudah menjadi wabah bisu atau silent epidemics. Diperkirakan pada tahun 2020 depresi unipolar akan menduduki peringkat kedua sebagai beban global setelah penyakit jantung koroner (Kompas, 8 Oktober 2012). Tiap tahun tidak kurang sekitar 50.000 orang meninggal karena bunuh diri di Indonesia. Bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok usia 15-44 tahun. Dan kasus bunuh diri merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian di setiap negara.
Mengapa ada orang-orang yang menyerah terhadap masalah atau situasi sulit yang dialaminya, sementara ada orang-orang yang tetap bertahan menghadapinya, seperti Beck Weathers atau Inggrid Betancourt? Kedua orang itu saya ceritakan untuk dibandingkan dengan situasi kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan kita. Beck Weathers adalah salah satu dari 31 pendaki yang berhasil mencapai puncak Everest pada 10 Mei 1996. Namun, tiba-tiba terjadi badai yang hebat. Peristiwa itu merupakan yang terburuk sepanjang masa dalam hal jumlah korban meninggal yang mencapai delapan orang. Dan tahun 1996 itu merupakan tahun terburuk bagi para pendaki gunung yang berusaha mencapai puncak Everest. Peristiwa itu menjadi cover story majalah Time dengan judul “Death Storm on Everest”. Kisah tragedi itu juga dapat ditemui di wikipedia dengan judul “1996 Mount Everest Disaster”.

Beck Weathers
Malam itu Beck Weathers terhempas dan jatuh pingsan di atas salju. Beberapa jam kemudian regu penyelamat menemukan tubuhnya. Tetapi regu tersebut memutuskan meninggalkan Weathers untuk mencari korban lain yang mungkin masih bisa diselamatkan. Keputusan tersebut didasarkan pada kondisi Weathers yang sepertinya tidak akan tertolong jiwanya. Lagipula lokasi tempat Wathers ditemukan jalannya sulit untuk evakuasi. Tapi, ternyata Weathers siuman. Badannya kaku, sarung tangannya terlepas dan entah kemana. Dia melihat tangannya sudah seperti plastik. Ada banyak alasan bagi Weathers untuk menyerah. Tak berdaya, sendirian, gelap, tanpa bekal apapun. Tapi, Weathers tidak menyerah. Dia bangkit dan mulai bergerak, bergerak, dan bergerak. Dia hanya tahu kalau dia berhenti bergerak maka kematian akan lebih cepat menjemputnya. Setelah bergerak beberapa jam dia merasakan kakinya terantuk sesuatu dan dia jatuh. Ternyata, itu adalah tenda tempat teman-temannya berlindung. Teman-temannya membawa tubuh Weathers masuk ke dalam tenda. Baju yang dikenakan Weathers sudah membatu sehingga harus dipotong. Sebotol air panas diletakkan di dadanya. Dan Weathers diberi oxygen. Melihat kondisinya teman-temannya tidak ada yang berharap Weathers akan selamat. Namun, Weathers bertahan dan akhirnya selamat. Kelak Weathers menceritakan pengalamannya ke dalam sebuah buku “Left For Dead: My Journey Home from Everest”.

Inggrid Betancourt saat ditawan
Inggrid Betancourt, lahir di Bogota, Kolombia dan besar di Perancis. Pada usia 32 tahun, wanita ini meninggalkan kenyamanan hidup di Perancis dan kembali ke Kolombia. Saat itu kehidupan di Kolombia sangat mencekam. Teror, pembunuhan, dan ketakutan menyelimuti kehidupan rakyat Kolombia. Terpanggil untuk menyelamatkan negaranya, Betancourt maju sebagai calon presiden Kolombia. Di tahun 2002, saat berkampanye dia dan asistennya diculik dan dibawa masuk ke markas gerilyawan kiri di dalam hutan Amazon sebagai tawanan. Tanpa penjagaan pun, bagi siapa saja yang  masuk ke dalam hutan Amazon akan merasakan kengerian. Lebatnya hutan dan binatang-binatang buas yang berkeliaran bebas adalah ancaman alami bagi siapa pun. Saat pertama digelandang masuk ke dalam hutan, Betancourt berpikir bahwa dia akan secepatnya dilepaskan dan menghirup udara bebas. Namun, begitu hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan maka Betancourt tidak yakin apakah dia akan dilepaskan atau tidak. Ada banyak alasan Betancourt untuk menyerah. Kehidupan sebagai tawanan adalah kehidupan yang sangat mencekam. Setelah begitu lama ditawan bagaimana Betancourt bisa punya harapan akan dibebaskan atau diselamatkan. Tapi, Betancourt tidak menyerah. Dia merancang pelarian. Hingga suatu hari dia berhasil melarikan diri. Tetapi, sebelum berhasil keluar dari hutan dia sudah tertangkap kembali. Betancourt tidak menyerah. Dia terus berupaya melarikan diri hingga empat kali, dan gagal. Tahun demi tahun berlalu. Bagaimana bisa seorang wanita yang hidup berkecukupan, seorang pemimpin partai dan calon presiden harus hidup seadanya bertahun-tahun di dalam hutan Amazon dengan rantai mengalungi lehernya, tidur di dalam kerangkeng terbuat dari kayu seperti seekor anjing serta di bawah tekanan orang-orang bersenjata. Ada banyak alasan bagi Betancourt untuk menyerah. Tetapi, Betancourt tidak menyerah. Dia terus bertahan sambil memikirkan cara lain untuk kembali melarikan diri dan keluar dari hutan Amazon, walaupun di sudah empat kali gagal. Dia bertahan hingga 6½ tahun! Hingga pada akhirnya, suatu hari di tahun 2008, dia bersama belasan tawanan lainnya berhasil diselamatkan oleh tentara Kolombia yang menipu kelompok gerilyawan itu. Tidak hanya gerilyawan bersenjata yang tidak tahu, para tawanan pun tidak tahu bahwa helikopter yang menjemput mereka adalah penyelamat yang akan membebaskan mereka. Mereka hanya berpikir akan dibawa ke markas lain para gerilyawan. Di atas helikopter yang sudah menjauhi lokasi barulah para tawanan, termasuk Betancourt, tahu bahwa hidup mereka sudah bebas. Betancourt menuliskan kisahnya ke dalam sebuah buku “Even Silence Has An End”.

Apa yang membedakan orang-orang seperti Weathers, Betancourt dengan mereka yang memilih jalan pintas keluar dari situasi sulit dengan cara bunuh diri? Paul G. Stoltz menyebutnya sebagai Adversity Quotient (AQ), yaitu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. AQ meramalkan kemampuan seseorang untuk bertahan menghadapi situasi sulit dan terus bergerak maju menjalani kehidupannya. AQ terdiri atas 4 dimensi, yaitu CO2RE. C adalah control, yaitu mempertanyakan “Sebesar apa kendali yang Anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?”. O2 merupakan gabungan Or (origin) dan Ow (ownership), mempertanyakan “Siapa atau apa yang menjadi penyebab kesulitan?” dan “Sampai sejauh manakah saya mengakui akibat-akibat kesulitan itu?”. R adalah reach atau jangkauan, yaitu mempertanyakan “Sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan saya?”. E adalah endurance, yang mempertanyakan “Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?” dan “Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?”

Ketika kita menghadapi situasi sulit, sejauh mana kita merasakan kendali atas situasi sulit itu. Memiliki kendali atas situasi sulit artinya kita akui ada situasi yang sulit, tapi kita mengambil sikap untuk menghadapi dan mengatasi situasi sulit itu. Semakin besar kendali yang dirasakan atas situasi sulit yang terjadi maka AQ akan semakin tinggi. Semakin besar kendali yang dirasakan maka kita pada posisi mental yang lebih siap dalam menghadapi situasi sulit itu. Ketika seseorang tidak merasakan kendali atas situasi sulit, maka orang itu akan merasa tidak berdaya, sehingga jika berkelanjutan akan menyebabkan depresi.

Ketika menghadapi situasi sulit, kita perlu tahu siapa / apa yang menjadi penyebab situasi sulit itu dan sampai sejauh mana kontribusi kita dalam situasi sulit itu. Dengan tahu persis penyebab situasi sulit dan menempatkan rasa bersalah kita pada proporsi yang tepat, maka kita sudah “menguasai” situasi sulit itu.

Jangan bakar lumbung Anda hanya untuk membunuh seekor tikus, demikian kalimat bijak yang pernah kita dengar. Suatu situasi sulit dari satu area kehidupan harus dilokalisir agar tidak menjalar ke area lain dalam kehidupan kita. Jika dilokalisir maka kita akan lebih fokus dalam mengatasi situasi sulit yang terjadi. Sebaliknya jika kita biarkan hal itu merasuki area-area lain dalam hidup kita maka situasi sulit yang ada akan dengan cepat membesar dan sulit di atasi.

Dimensi terakhir AQ adalah Endurance. Respon yang tepat dalam suatu situasi sulit adalah keyakinan bahwa situasi sulit itu sifatnya sementara. Artinya, segera akan berlalu karena kita akan segera mengatasinya. Mungkin Anda pernah mendengar seseorang berkata, “Selamanya saya tidak berani mengendarai mobil. Trauma karena pernah menabrak”. Dengan kalimat itu maka orang tersebut sudah menganggap traumanya bersifat permanen yang tidak dapat diatasi, sehingga dia tidak akan pernah berani mengendarai mobil. Sebaliknya jika ada yang berkata, “Saya trauma dalam mengendarai mobil. Saya tahu ini bukan permanen. Saya harus bisa mengalahkan rasa takut. Beri saya waktu untuk mengatasi rasa takut saya”. Anda dapat merasakan perbedaan kedua kalimat itu, bukan?

AQ dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki respon kita pada setiap situasi sulit yang kita hadapi. Ingat saja, ambil kendali pada setiap situasi sulit yang terjadi. Cari tahu siapa/apa yang menyebabkan situasi sulit itu. Tempatkan rasa bersalah kita (kalau memang kitalah penyebab terjadinya situasi sulit itu) pada proporsi yang benar. Rasa sesal yang terlalu berlebihan tidak akan membuat kita lebih baik. Lokalisir situasi sulit itu agar tidak menjangkau segi-segi lain kehidupan kita. Dan yakinlah setiap situasi sulit yang terjadi bersifat sementara. Lakukan sesuatu yang bisa dilakukan untuk mengatasi situasi sulit yang ada. Sang Pemenang tidak pernah menyerah. Sang Pemenang terus bertahan, bergerak maju ke depan dan ke atas sekalipun ada banyak rintangan / kesulitan yang menghalanginya.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.