Senin, 18 Maret 2013

Benny Purnomo: Menari Dalam Badai


Istri saya sangat mengenal sosok Sang Pemenang yang satu ini. PasaInya, istri saya mengenal dia sejak awal kuliah di Universitas Atmajaya, Jakarta. Dan mereka sama-sama aktif di kegiatan bela diri Tae Kwon Do, dan sempat juga untuk beberapa lama bekerja di perusahan yang sama, sebuah bank swasta terbesar di Indonesia.

Benny, Lilian, Valerie, ibunya, dan Felicia (dari kiri ke kanan)
Sosok itu adalah Benny Purnomo. Pria kelahiran 18 September 1967 ini, Direktur Distribution Network Bank Mutiara. Benny, begitu biasa dia dipanggil, lahir dari seorang ayah, almarhum Urip Herman Purnomo, dan ibu, yang bernama Maria Lucia Widya Purnomo, 73 tahun. Ibunya dulu adalah seorang guru yang telah mengajar selama 41 tahun. Totalitas dan loyalitas atau kesetiaan ibunya yang luar biasa terhadap pekerjaannya tanpa terasa menurun kepada diri Benny. Kesetiaan yang terbentuk karena sikap antusias terhadap setiap tantangan yang dihadapi dalam perjalanan kehidupannya.
            “Ada dua peristiwa dari sekian banyak peristiwa yang membentuk karakter saya, ujarnya memulai penuturannya. Pertama terjadi saat Benny lulus SMA, ketika dia akan meneruskan pendidikan ke universitas di tahun 1985. Saat itu terjadi kebakaran yang menghanguskan semua harta milik keluarganya.
Yang tersisa hanyalah pakaian yang menempel di badan, tuturnya. “Saat itu, ibu meminta bantuan seseorang yang kebetulan menjadi petinggi agar uang kuliah dapat diberi keringanan, lanjut Benny. Petinggi itu mengatakan, Saya tidak percaya seorang guru dapat menyekolahkan anaknya sampai ke universitas. Kalimat ini begitu menyakitkan, kenang Benny. Betapa tidak, kalimat itu diucapkan di tengah musibah kebakaran yang sedang kami alami, sambung cerita Benny. Namun justru kalimat itu yang membuat saya menjadi pantang menyerah terhadap kesulitan, ujarnya.

Peristiwa kedua terjadi pada tahun 1994. Bulan April tahun itu terjadi lagi kebakaran di rumahnya. Atap rumah keluarganya habis terbakar. Semua perabot basah terkena siraman air dari pemadam kebakaran. Bulan Nopember, suami kakak perempuan ibunya meninggal. Seminggu kemudian, kakak ibunya juga meninggal. Dan puncak kesedihannya adalah tepat pada tanggal 31 Desember, ayahnya pulang menghadap Sang Pencipta.
Bisa dibayangkan, pada saat itu ketika semua orang merayakan pergantian tahun, saya menangis di samping jenasah papa tercinta, kenangnya sedih. Satu hal yang saya sesalkan adalah papa tidak sempat melihat saya menikah, lanjutnya. Benny menikah pada tangal 15 Oktober 1995, dengan Liliana, yang dua tahun lebih muda dari Benny, yang telah memberinya dua orang putri, Felicia Purnomo dan Valerie Purnomo yang keduanya masih duduk di bangku SMA.
Saya bertanya kepada Tuhan mengapa hal ini terjadi?, ujarnya dengan nada tanya. Hanya sepuluh bulan sebelum hari pernikahan kami”, tuturnya. Tetapi justru dengan kedua peristiwa itu, Tuhan mau mengasah ketahanan saya terhadap badai kehidupan. Tuhan mengajarkan bahwa kesedihan dan kebahagiaan itu adalah paket yang membuat kehidupan ini menjadi indah dan bermakna, ungkapnya.

Benny memulai karir dari bawah. Setelah lulus universitas, dia diterima sebagai manajemen trainee di PT Inti Salim Corpora, dan ditempatkan sebagai programmer. “Kuliah ekonomi kok jadi programmer, ya?, kenangnya sambil tersenyum. Tiga tahun kemudian, Benny dipindahkan ke PT Bank Central Asia (BCA). Jabatan saya keren, Kepala Bagian, tetapi pekerjaan saya adalah pengisi uang di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) sekaligus membersihkan ruang ATM”, ungkapnya sambil tertawa.

Terkait pekerjaannya saat itu, ada satu cerita yang menunjukkan kesetiaan, komitmen, dan tangungjawabnya kepada pekerjaannya. Saat itu, tahun 1998 saat BCA di rush habis-habisan. Waktu itu sudah lewat tengah malam. Istri saya, yang sedang berada di jalur antrian untuk mengambil uang di ATM di jalan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan, melihatnya dengan antusias masih sibuk mengatur antrian. Tidak sedikit pun terlihat rasa lelah di wajah Benny. Walaupun pasti saat itu dia bekerja dengan tingkat stres dan kelelahan yang tinggi.       

Seiring berjalannya waktu, dengan kerja kerasnya karirnya meningkat hingga menjabat sebagai Kepala Biro di BCA. Pada tahun 2006, saya ditawari untuk membantu Bank NISP yang pada waktu itu baru dibeli sahamnya oleh Bank OCBC Singapura, Benny melanjutkan ceritanya. Selama tiga tahun di OCBC NISP, Benny berhasil menambah 170 kantor cabang baru. Keberhasilannya mengundang tantangan yang lebih besar dan lebih sulit.
Tahun 2009, saya ditantang untuk membantu menyehatkan Bank Century yang baru saja diselamatkan oleh pemerintah. Pada saat saya menerima tantangan ini, semua orang bilang saya bodoh dan gila, karena saat itu tingkat kepercayaan orang kepada Bank Century hampir tidak ada. Padahal dalam mengembangkan suatu bank, kepercayaan adalah modal dasar yang paling utama”, ujarnya.
Pada saat itu saya berprinsip bahwa, hidup itu bukan menunggu badai berlalu, tetapi bagaimana kita dapat menari di dalamnya, papar Benny lebih lanjut. Tepat pada tanggal 1 Mei 2009 Benny bergabung dengan Bank Century.
Pada saat itu jika saya datang dengan membawa nama Bank Century ke nasabah, saya diusir dan tidak mau diterima, ungkapnya. Akhirnya yang saya lakukan adalah “menjual diri” saya, dalam artian mengunjungi nasabah dengan membawa nama sendiri, mengandalkan hubungan pribadi di masa sebelum saya di Bank Century, lanjutnya. Saya meminta nasabah untuk mencoba kembali menaruh uangnya di Century selama seminggu dengan jaminan diri saya (semacam garansi personal), dengan jangka waktu mulai harian. Artinya, kalau mereka takut, mereka dapat menarik uangnya kapan saja. Saya menganjurkan nasabah untuk tidak membaca koran dan menonton televisi”, paparnya.
“Pada tanggal 3 Oktober 2009, Bank Mutiara lahir menggantikan Bank Century. Bank Mutiara sangat berbeda jauh dengan Bank Century. Setidaknya ada tiga hal dasar yang membedakan Bank Mutiara dengan Bank Century”, tutur Benny.
“Pertama, soal kepemilikan. Bank Century dimiliki oleh orang-orang yang sekarang menjalani hukuman. Pemilik Bank Mutiara adalah pemerintah Republik Indonesia. Kedua, perbedaan manajemen. Manajemen Bank Century adalah orang-orang yang menjalani hukuman sedangkan manajemen Bank Mutiara terdiri atas orang-orang profesional. Dewan Komisaris Bank Mutiara terdiri atas eks wakil BPKP, bankir Bank Niaga, dan Pemimpin Redaksi Majalah Perbankan terkemuka. Dewan Direksi terdiri atas para bankir profesional yang berpengalaman di bidang perbankan lebih dari sepuluh tahun di bank-bank besar seperti Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Lippo. Ketiga, Bank Century tidak mempunyai budaya perusahaan, sedangkan Bank Mutiara memiliki budaya perusahaan yang disingkat dengan SPIRIT (Service Excellence, Profesionalism, Integrity, Relationship, Innovative, Trust)”, papar Benny menjelaskan perbedaan Bank Century dan Bank Mutiara.

Paska penggantian nama dari Bank Century menjadi Bank Mutiara, tidak mereduksi tantangan yang harus dihadapi Benny dan seluruh karyawan Bank Mutiara. Saat itu kasus dana talangan yang dikucurkan pemerintah kepada Bank Century justru sedang gencar menjadi bahan berita seluruh media. Tetapi, Benny dan seluruh karyawan tetap memiliki antusiasme yang tinggi untuk bersama-sama bahu membahu bagaimana memompa kinerja Bank Mutiara. Para Insan Mutiara, demikian Benny menyebut karyawan Bank Mutiara, sadar bahwa mereka tidak boleh menyerah. Mereka tetap berusaha untuk meyakinkan semua nasabah bahwa kemelut politik yang terjadi tidak akan membuat Bank Mutiara dilikuidasi.

Mereka mengemukakan dua alasan kuat mengapa Bank Mutiara tidak akan dilikuidasi. Alasan pertama adalah, jika Bank Mutiara dilikuidasi maka dana talangan senilai triliunan rupiah yang telah dikucurkan pemerintah itu bukan saja hilang, malah pemerintah harus menambah dana talangan baru. Suatu hal yang amat sangat tidak boleh terjadi. Alasan kedua adalah, Bank Mutiara kini adalah bank yang sehat, jika suatu bank yang sehat dilikuidasi maka akan dapat terjadi ketidakpercayaan kepada perbankan Indonesia. Jika hal ini terjadi maka akan merusak perekonomian Indonesia. Suatu hal yang amat sangat tidak boleh terjadi juga. “Saya merasa bahwa dua alasan itu sangat valid. Hal ini yang secara terus menerus dijelaskan kepada nasabah. Nasabah tidak perlu ragu untuk melakukan transaksi perbankan dengan Bank Mutiara”, ujar Benny. Sekarang Bank Mutiara sudah menjadi bank yang normal, lanjut Benny tersenyum puas.

Perjuangan Benny menari dalam badai saat itu sungguh sangat berkesan bagi dia. “Di tahun 2009 dan awal 2010, saya dan anggota tim direksi yang lain beserta beberapa kepala divisi, selama enam bulan rata-rata hanya tidur 2-3 jam per hari termasuk hari sabtu dan minggu, kenangnya. Pada saat Ramadhan 2009, saya ikut berpuasa. Kami sahur dan buka puasa di kantor, lanjutnya. “Yang lucu lagi, kalau ada undangan pernikahan dari nasabah, kami mandi di kantor, pergi ke undangan, dan kembali ke kantor. Seluruh aktivitas saya di gereja terpaksa saya hentikan sementara. Hanya mengajar di Unika Atma Jaya yang saya teruskan”, ungkapnya.

Benny adalah Sang Pemenang, antusiasme yang tinggi terhadap tantangan dan tanggungjawab atas situasi sulit yang dihadapi telah menjadi sumber energi yang besar bagi dia untuk mampu menari dengan baik dalam terpaan badai yang dahsyat. “Kini, tantangan berikutnya adalah bagaimana bagaimana meningkatkan value Bank Mutiara sehingga bisa dijual dengan harga Rp 6,7 triliun”, ujar Benny.
“Kunci sukses saya cuma tiga hal”, katanya. “Pertama, jangan takut. Jangan takut tantangan, jangan takut hambatan, jangan takut perubahan. Jangan tunggu badai berlalu, tapi bagaimana kita memanfaatkan peluang yang ada dalam badai itu. Hidup itu memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak bisa, jelasnya.
“Kedua, lakukan seluruh pekerjaan dengan pikiran bahwa hasilnya akan diberikan kepada orang yang paling kita kasihi. Dengan demikian kita akan melakukan pekerjaan kita dengan sepenuh hati, lanjutnya.
“Dan terakhir, jangan lupa berserah dan meminta pertolongan Tuhan untuk setiap aktifitas kita, tutur Benny menutup kisahnya. Benny adalah Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah satu dari tiga puluh kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi dengan para sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Buku tersebut telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di seluruh Gramedia.
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Sabtu, 09 Maret 2013

Eddy Gunawan: Disiplin, mandiri, ulet, dan bertanggung jawab


Kisah ini adalah 1 dari 30 kisah dalam buku National Best Seller “ANGEL & DEMON 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang sudah beredar di seluruh toko buku Gramedia di Pulau Jawa dengan harga Rp 54 ribu.

Pertama kali mengenal beliau secara langsung adalah pertengahan bulan Mei 2005. Sejak itu hingga pertengahan Nopember pada tahun yang sama kami sering bertemu, karena saya merupakan bagian dari tim konsultan yang merancang strategi pemasaran produk-produk furniture knockdown Olympic Group. Eddy Gunawan, pria kelahiran bulan Desember 1959, saat itu adalah CEO Olympic Group.

Ekonomi Bidang Kehidupan Keluarga
Pria yang lulus sarjana ekonomi pada tahun 1984 dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Jakarta, itu sempat mencoba berkarir di beberapa tempat sebelumnya hingga akhirnya fokus membaktikan dirinya di Olympic Group sejak 1986 hingga saat ini.

Sepertinya bidang ekonomi merupakan bidang kehidupan keluarganya. Ayahnya adalah credit controller dari sebuah perusahaan multinasional dan lulusan Amex Bank. Anak-anaknya, Daud, Daniel, dan Davin semuanya kuliah di FEUI International double degree. Anak pertama dan kedua sudah lulus kuliah. Prinsip hidup yang ditanamkan orangtua Eddy adalah disiplin, mandiri, ulet, dan bertanggung jawab.
“Prinsip tersebut sangat membekas pada diri saya sampai saat ini”, ujarnya.

Dan memang Eddy sudah belajar mandiri sejak masih kuliah. Dia sudah memulainya sejak tahun 1979 dengan menjual buku soal-soal ujian yang dia kumpulkan dari tahun-tahun sebelumnya. Lalu dia juga bekerja sebagai asisten fotographer, juga membantu membuatkan pembukuan perusahaan teman-temannya.
“Tahun 1983, saya masuk kerja ke Kantor Akuntan hingga 1984. Menjelang lulus di tahun 1984 saya pindah ke sebuah perusahaan Cash & Credit, jelasnya. “Tahun 1985 saya pindah lagi ke salah satu perusahaan konglomerat Indonesia”, lanjutnya. Di sana Eddy kembali hanya bertahan selama sekitar setahun saja.

Pelabuhan Terakhir
Tahun 1986, Eddy bergabung ke Olympic Group, suatu kelompok usaha yang memiliki sekitar 20 pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia. Walaupun pasar ekspor hanya berkontribusi sekitar 20% terhadap pendapatan perusahan, tetapi produk-produk furnitur Olympic Group telah diekspor ke sekitar 100 negara yang tersebar di Asia, Afrika, Timur Tengah, Australia, dan Sudan. Kontribusi terbesar untuk ekspor berasal dari Asia, Timur Tengah, Sudan dan negara-negara bekas Uni Soviet. Saat pertama masuk bekerja, Eddy diterima sebagai Staf Consolidated Accounting di perusahaan induk (holding). Rupanya pekerjaan di Olympic Group mampu membuat Eddy tidak tertarik untuk melirik peluang di perusahaan lain. Eddy bekerja dengan disiplin, mandiri, ulet, dan bertanggungjawab. Tidak mengherankan jika hanya dalam enam empat tahun Eddy diangkat menjadi Finance Director.
“Itu terjadi pada tahun 1992”, jelasnya.

Empat tahun berikutnya, yaitu tahun 1996 Eddy diangkat menjadi Presiden Direktur unit distribusi.
Saat krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, Eddy juga diminta untuk mengkoordinir unit manufaktur. Tahun 2006, Eddy diangkat menjadi grup CEO.
“Tahun 2011, saya diminta untuk membentuk kembali holding, yang pada tahun 1998 sempat dibubarkan karena krisis ekonomi”, tuturnya. “Awal 2012, saya ditunjuk sebagai Komisaris Olympic Group. Dan diminta mengembangkan unit bisnis baru, yaitu Cash & Credit”, ujarnya.

Sejak bergabung ke Olympic Group, Eddy mengalami dua kali krisis ekonomi, yaitu pada tahun 1998 dan 2008.
“Tahun 1998 merupakan masa-masa sulit bagi saya dalam memimpin perusahaan. Waktu itu perusahaan terpuruk luar biasa. Hutang kami bisa sepuluh kali lipat dari pendapatan penjualan. Saat itu pendapatan penjualan sekitar Rp 100-an miliar. Jadi hutang perusahaan mencapai hampir Rp 1 triliun”, kenangnya. “Namun, justru pada masa-masa sulit itulah kepemimpinan saya diuji”, ujarnya. “Ternyata, sepanjang karir saya, itulah saat yang paling membanggakan buat saya. Saya berhasil menjadi pemimpin yang membawa perusahaan keluar dari krisis dan membuat merek Olympic diakui, baik pada tataran nasional maupun regional”, ujar Eddy sambil tersenyum.

Eddy Gunawan saat menerima penghargaan Primaniyarta yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 21 Oktober 2008 
(sumber foto: website perudahaan)
Eddy berhasil membawa perusahaan Olympic Group keluar dari krisis 1998, karena dia siap dan sigap. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan dia lakukan dengan sigap. Dia mampu melakukannya karena sikap alertness yang dominan. Dia sensitif atas apa yang terjadi di sekitar sehingga dapat mengenali peluang yang muncul dan mengambil langkah yang tepat dalam merespon peluang tersebut. Sebagai contoh, ketika krisis 2008 dimana pasar ekspor menyusut sementara pasar domestik tidak terlalu terganggu, maka yang dilakukannya adalah terus merekrut dan lebih banyak memberikan training-training kepada karyawannya.
“Krisis itu bagi saya istilahnya diberikan waktu untuk bernafas agar bisa lari lagi lebih kencang. Pada saat bernafas ini kami manfaatkan untuk menyiapkan SDM dengan memberikan training-training”, jelasnya.
Hal itu dia lakukan agar ketika pasar sudah pulih maka kemampuan sumber daya manusianya telah meningkat sehingga akan meningkatkan peluang keberhasilan.

Eddy Gunawan, adalah sosok yang memiliki sifat alertness yang dominan. Siap dan sigap adalah dua kata yang dia implementasikan juga pada dirinya. Beberapa kali saya bertemu beliau di toko buku. Ternyata, kami memiliki minat yang sama, yaitu membeli dan membaca buku. Untuk orang dengan jabatan seperti dia, kebiasaan membaca yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan merupakan sesuatu yang mengagumkan. Itulah yang membedakan antara Sang Pemenang dan lainnya. Dan Eddy Gunawan adalah Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.