Sabtu, 31 Desember 2011

Merespon Dengan Tepat Kesulitan Dan Penyebab Kesulitan


Tepat di hari terakhir tahun 2011 ini saya menuntaskan ulasan mengenai dimensi-dimensi AQ (Adversity Quotient – Paul G. Stoltz). Endurance (daya tahan) merupakan dimensi keempat, yang merupakan dimensi terakhir dari AQ. Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu;
1.    Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?
2.    Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?
Semakin rendah AQ seseorang semakin besar kecenderungannya orang itu meyakini bahwa kesulitan dan / atau penyebab kesulitan akan berlangsung lama, bahkan mungkin selama-lamanya.
Terkait dengan hal pertama, “Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?”, perhatikanlah perbedaan ungkapan berikut. “Tahun ini saya tidak berhasil mencapai jumlah premi yang diharapkan karena memang saya tidak berbakat menjadi agen asuransi” dengan “Saya harus banyak belajar dan memperbaiki cara kerja saya agar di tahun berikutnya berhasil mencapai jumlah premi yang diharapkan”. Kalimat pertama bersifat pasti, tidak akan pernah berubah, suatu penegasan ketidakberdayaan, suatu dalih atas kegagalan yang dialami (perhatikan kata “memang” yang saya garis bawahi). Sedangkan kalimat kedua bersifat sementara, harapan atas kondisi yang dapat berubah, suatu pemahaman terhadap diri Anda saat ini (perhatikan kata “agar” yang saya garis bawahi). Perhatikan juga perbedaan ungkapan ini, “Saya selalu tidak berhasil membuat orangtua saya merasa bangga” dengan “Sejauh ini saya belum berhasil membuat orangtua saya merasa bangga”, atau “Saya pasti tidak bisa menjalin komunikasi yang baik dengan ibu mertua saya” dengan “Saya belum bisa menjalin komunikasi yang baik dengan ibu mertua saya”. Contoh-contoh kalimat pertama dari tiap pasangan kalimat di atas adalah ungkapan mereka yang memiliki skor AQ rendah, yang bersifat permanen, yang menyakini bahwa kondisi sulit itu akan berlangsung lama atau bahkan selama-lamanya, menunjukkan ketidakberdayaan atas kondisi sulit yang ada. Sebaliknya, contoh kalimat kedua adalah ungkapan dari mereka dengan AQ yang lebih tinggi. Mereka meyakini bahwa kondisi sulit itu bersifat sementara, menunjukkan keberdayaan atas kondisi sulit yang dihadapi, dan ada semangat dan harapan mengubah kondisi sulit itu.
Untuk membahas hal kedua, yaitu “Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?”, saya akan menggunakan contoh ungkapan yang mirip dengan di atas. “Saya tidak berhasil mencapai jumlah premi yang diharapkan karena memang saya tidak berbakat menjadi agen asuransi” dengan “Saya tidak berhasil mencapai jumlah premi yang diharapkan karena cara kerja saya kurang terencana”. Perhatikan perbedaan kedua kalimat di atas. Penyebab kesulitan pada kalimat pertama, yaitu tidak berbakat bersifat permanen atau tidak dapat diubah. Itulah respon mereka dengan AQ yang rendah, yang meyakini bahwa penyebab kesulitan mereka adalah sesuatu yang bersifat permanen, berlangsung dalam jangka panjang bahkan selama-lamanya. Sedangkan pada kalimat kedua, penyebab kesulitan adalah cara kerja, sesuatu yang bersifat sementara, yang dapat diubah. Itulah respon mereka dengan skor AQ yang lebih tinggi.
Dengan respon yang tepat, maka endurance (daya tahan) kita dalam menghadapi kondisi sulit yang ada akan menjadi lebih baik. Hal itu terjadi karena kita menyikapi setiap kondisi sulit dan penyebabnya hanya bersifat sementara dan dapat kita ubah. Itu menimbulkan semangat dan gairah untuk terus berjuang dan berusaha mengatasi setiap kondisi sulit yang kita hadapi. Daya tahan itu yang kita butuhkan dalam melakukan pendakian mencapai puncak-puncak gunung kesuksesan kita. AQ, bersama-sama dengan IQ dan EQ, berperan penting dalam kesuksesan kita. Diantara ketiganya, AQ berkontribusi paling besar dalam “meramal” siapa yang akan keluar menjadi Sang Pemenang dan siapa yang akan tetap tinggal sebagai Sang Pecundang.
Sekali lagi, bagi Anda yang ingin mengukur skor AQ saat ini, Anda bisa mengukurnya sendiri dengan mengisi lembar evaluasi AQ. Anda bisa mendapatkan softcopy lembar evaluasi AQ dengan mengirimkan permintaan ke alamat email saya: suhartono.chandra@gmail.com. Segera akan saya kirimkan ke alamat email Anda lembar evaluasi AQ berikut petunjuk pengisian dan interpretasi hasil pengukurannya. Dan seandainya Anda membutuhkan konsultasi atas hasil pengukuran AQ Anda silahkan kirimkan pertanyaan ke alamat email saya. Saya tidak memungut biaya semasekali atas jasa ini.  
Akhirnya di hari terakhir tahun 2011 ini mari kita sempatkan waktu untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas perkenan-NYA sehingga kita boleh meninggalkan tahun 2011 dengan segala kesuksesan yang sudah kita raih maupun kesuksesan yang tertunda. Mari kita songsong tahun 2012 dengan target-target hidup kita, perencanaan dan harapan atas kondisi yang lebih baik daripada tahun 2011.
Selamat Tahun Baru 2012
Salam sukses untuk Anda semua.

Kamis, 29 Desember 2011

Sejauh Manakah Kesulitan Akan Menjangkau Bagian-bagian Lain Kehidupan Anda?


Hari ini saya akan mengupas dimensi ketiga didalam AQ (Adversity Quotient – Paul G. Stoltz), yaitu Reach (jangkauan). Seperti yang sudah saya uraikan bahwa AQ menunjukkan tingkat ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dan tetap tegar di dalam upayanya mencapai kesuksesan diri. AQ, bersama-sama dengan IQ dan EQ, berperan dalam kesuksesan seseorang. Dan diantara ketiganya AQ memainkan peran yang paling besar. AQ terdiri atas empat dimensi, yaitu CO2RE. Dua dimensi, yaitu C (Control) dan O2 (Origin dan Ownership), sudah saya kupas pada dua artikel sebelumnya.
Dimensi R mempertanyakan “Sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan saya?”. Semakin tinggi skor AQ, Anda akan cenderung mampu membatasi jangkauan suatu masalah atau kesulitan yang sedang Anda hadapi. Sebaliknya mereka yang memiliki skor AQ yang rendah cenderung tidak memiliki cukup perisai diri sehingga kesulitan akan menyusup ke segi-segi lain kehidupannya. Misalkan, Anda baru saja gagal dalam proses tender yang Anda ikuti, yang nilainya besar. Tentu saja Anda kecewa, bukan? Suatu hal yang sangat wajar jika Anda kecewa, karena tender itu sangat berarti bagi Anda. Nah, respon Anda terhadap kegagalan itu menunjukkan sejauh mana AQ Anda. Jika Anda membiarkan rasa kecewa itu mempengaruhi keseluruhan hari Anda, sehingga mood Anda hari itu menjadi tidak karuan, maka mungkin akibatnya sikap Anda menjadi uring-uringan. Semua orang yang berhubungan dengan Anda hari itu akan mendapat perlakuan yang kasar dari Anda, bahkan mungkin termasuk keluarga di rumah. Anda merasa dunia kimat. Anda membiarkan masalah kekalahan tender itu merembes ke segala segi kehidupan Anda. Bahkan, bisa jadi hubungan Anda dengan banyak orang menjadi terganggu karena sikap Anda yang kehilangan kontrol. Bayangkan saat Anda tiba di rumah, anak Anda yang berusia lima tahun berlari menyambut Anda sambil menunjukkan gambar hasil karyanya mengharapkan pujian Anda, tetapi alih-alih pujian malah bentakan Anda yang didapatnya. Istri Anda yang menanyakan masakan apa yang Anda inginkan untuk disiapkan malah mendapat jawaban ketus dari Anda. Ada banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan kita dimana suatu masalah muncul sebagai konsekuensi logis bahwa kita masih hidup. Orang yang sudah meninggal tidak memiliki masalah, bukan?
Mereka yang memiliki AQ tinggi mampu membatasi masalah. Mereka akan membatasi sebatas masalah itu saja. Kegagalan tender adalah kegagalan tender, tidak lebih dan tidak kurang. Gagal ujian adalah gagal ujian, tidak lebih dan tidak kurang. Konflik yang terjadi dengan kekasih adalah konflik, tidak lebih dan tidak kurang. Respon seperti itu bukan berarti kita tidak peduli atas kegagalan tersebut. Tentunya, evaluasi dan tindakan koreksi perlu kita lakukan agar kita bisa lebih baik di masa mendatang. Mereka dengan skor AQ yang tinggi tidak menjadikan orang-orang di sekitarnya yang tidak terkait dengan masalah itu terkena imbasnya.
Ada satu cerita mengenai seorang tukang servis peralatan elektronik rumah tangga yang melayani jasa panggilan ke rumah-rumah. Hari itu sudah menjelang sore dan cuaca mendung. Namun, tukang servis itu tetap berjalan menuju rumah yang membutuhkan jasanya memperbaiki mesin cuci si pemilik rumah. Saat sedang memeriksa mesin cuci itu, hujan turun dengan derasnya. Dan ketika petir menggelegar aliran listrik terputus. Ketika aliran listrik tersambung lagi, si tukang servis menyadari bahwa petir tersebut menyebabkan salah satu komponen mesin cuci menjadi rusak terbakar. Masalahnya, tukang servis itu tidak memiliki komponen penggantinya. Dengan muka sangat kecewa dia menyampaikan hal tersebut kepada si pemilik rumah. “Ya, sudah kalau begitu besok saja dilanjutkan perbaikannya.”, kata si pemilik rumah. Merasa iba kepada si tukang servis dan hujan masih turun walau tidak selebat sebelumnya, si pemilik rumah mengantarkan tukang servis itu pulang. Sepanjang perjalanan, si tukang servis itu duduk tercenung di kursi di sebelah si pemilik rumah yang mengendarai mobilnya. Tergelitik dengan sikap si tukang servis itu, si pemilik rumah bertanya, “Mengapa Anda sepertinya sedang susah sekali?”, tanya si pemilik rumah.
“Hari ini bukanlah hari saya”, jawab si tukang servis.
“Ohya? Mengapa bisa demikian?”, si pemilik rumah kembali bertanya.
“Sepanjang hari ini saya melayani enam pelanggan, dan lima diantaranya tidak dapat saya layani dengan baik. Selalu ada saja masalah yang membuat saya tidak bisa menuntaskan masalah peralatan elektronik pelanggan saya, termasuk mesin cuci Anda”, kata si tukang servis. “Sungguh sangat mengecewakan”, lanjutnya.
       Si pemilik rumah mengangguk-angguk seakan dapat memahami apa yang membuat si tukang servis begitu kecewa. Untuk menghiburnya, si pemilik rumah mengalihkan percakapan ke hal-hal ringan seputar keluarga. Tanpa terasa akhirnya mereka tiba di depan rumah si tukang servis. Si pemilik rumah melihat si tukang servis itu berhenti di depan sebuah pohon besar di depan pintu pagar rumahnya, dan melihat dia memukul-mukul pohon besar itu dengan kepalan tangannya sambil bergumam lirih. Setelah beberapa lama akhirnya urusan dengan pohon itu selesai, dan si tukang servis itu berjalan menuju pintu pagarnya. Si pemilik rumah tergelitik untuk menanyakan apa yang barusan dilakukan si tukang servis itu. “Ini adalah pohon masalah saya. Setiap hari sebelum saya masuk dan menemui istri dan anak saya, saya selalu menumpahkan masalah-masalah pekerjaan yang masih belum terselesaikan ke pohon ini. Sehingga ketika saya menemui mereka, saya sudah tidak membawa beban masalah pekerjaan masuk ke dalam rumah. Mereka samasekali tidak terkait dengan masalah-masalah pekerjaan saya, jadi tidak adil jika mereka harus ikut merasakan masalah pekerjaan saya. Keesokan harinya saya akan ambil kembali masalah-masalah itu dari pohon ini untuk saya selesaikan. Namun, yang saya rasakan ketika masalah-masalah tersebut saya ambil keesokan harinya bebannya terasa lebih ringan walau sesungguhnya masalah tersebut belum terselesaikan.” Mendengar jawaban itu si pemilik rumah tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, dan lalu menyalami si tukang servis dan berjalan masuk ke dalam mobilnya.                     

Selasa, 27 Desember 2011

Menempatkan Rasa Bersalah Pada Proporsi Yang Tepat


Rasa bersalah yang ditempatkan pada proporsi yang tepat akan menciptakan proses pembelajaran yang kritis dan sistem umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (Paul G. Stoltz)

Pada tulisan sebelumnya saya sudah membahas dimensi pertama dari AQ (Adversity Quotient), karya Paul G. Stoltz, yaitu C (Control), yang mempertanyakan “Seberapa besar kendali yang Anda rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan?”. Kali ini saya akan mengupas dimensi kedua, yaitu O2, yang terdiri atas Origin (Or) dan Ownership (Ow).  Origin (Or) mempertanyakan Siapa atau apa yang menjadi penyebab / asal usul / sumber kesulitan?”, sedangkan Ownership (Ow) mempertanyakan “Sampai sejauh manakah saya mengakui akibat-akibat kesulitan itu?”.
Mereka yang memiliki skor Or yang relatif rendah, dalam banyak hal melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau sumber (origin) kesulitan yang terjadi dalam hidupnya, sedangkan mereka dengan skor Or yang lebih tinggi akan menempatkan rasa bersalah pada proporsi yang tepat. Rasa bersalah yang ditempatkan pada proporsi yang tepat akan menciptakan proses pembelajaran yang kritis dan sistem umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Rasa bersalah memang diperlukan untuk membantu kita belajar dari peristiwa tersebut, merenungkan dan mengambil sikap penyesuaian dalam upaya perbaikan, dan rasa bersalah yang menjurus pada penyesalan merupakan motivator yang kuat untuk langkah-langkah perbaikan. Namun, rasa bersalah yang terlalu berlebihan dan tidak pada tempatnya justru akan melemahkan semangat dan menjadi destruktif, menghancurkan harapan, dan harga diri. Jika itu berlangsung terus menerus akan mengikis kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan.
Saya teringat satu film lama yang berjudul “Vertical Limit”. Film diawali dengan adegan sebuah keluarga terdiri atas ayah, anak laki-laki yang bernama Peter Garrett dan anak perempuan yang bernama Annie sedang melakukan pendakian. Impian mereka adalah menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Namun, akibat dari seorang pendaki di atas mereka yang ceroboh terjadi kecelakaan dan situasi yang terjadi mereka bertiga bergantung pada seutas tali dan hanya mengandalkan satu pasak saja. Posisi mereka adalah Annie di atas, Peter di tengah dan ayah mereka di bawah. Sang ayah yang lebih berpengalaman tahu bahwa pasak tersebut tidak akan kuat menahan beban mereka bertiga dan memutuskan daripada mereka bertiga jatuh dan semua meninggal lebih baik sang ayah yang berkorban. Keputusan itu sesungguhnya adalah keputusan yang logis. Sang ayah meminta Peter untuk memutus tali agar mereka terlepas dari beban berat ayah mereka. Suatu situasi yang sulit bagi Peter untuk melakukan permintaan sang ayah. Peter dihadapkan pada situasi harus menjadi algojo bagi ayahnya hanya karena ayahnya tidak memegang pisau untuk bisa memutus tali. Akhirnya pada saat-saat terakhir Peter melakukan permintaan ayahnya dan mereka, kakak beradik, harus melihat sendiri kematian ayahnya. Peter dan Annie akhirnya selamat. Tetapi, Peter dihantui rasa bersalah karena sudah menjadi algojo bagi ayahnya sendiri. Rasa bersalah yang sangat berlebihan, yang tidak pada tempatnya, sehingga Peter mengundurkan diri dari kegiatan mendaki dan mengubur cita-citanya menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Peter melepaskan impiannya. Peter menyerah. Dia mengucilkan diri sebagai juru foto alam. Sementara Annie, yang jelas sangat sedih atas kehilangan ayahnya tidak larut dalam kesedihan malah sebaliknya dia bangkit dan tetap melakukan pendakian untuk mewujudkan impian sang ayah menaklukan gunung-gunung tertinggi di dunia (jika Anda belum sempat menonton film tersebut dan Anda berlangganan televisi kabel, Anda punya kesempatan menontonnya pada hari Jumat, 30 Desember 2011 pada tayangan sore hari). Dalam konteks yang berbeda, situasi seperti yang dihadapi Peter itu dapat terjadi dalam kehidupan kita. Namun, percayalah bahwa rasa bersalah yang terlalu berlebihan tidak akan membawa Anda kemana-mana, kecuali keterpurukan.
Subdimensi Ow bicara tentang sejauh mana kita mengakui akibat-akibat kesulitan yang timbul. Mengakui akibat-akibat dari kesulitan yang ada mencerminkan tanggung jawab. Tanggung jawab jauh lebih penting daripada sekedar menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Mereka dengan skor Ow yang relatif rendah cenderung menghindar dari tanggung jawab, sementara mereka yang memiliki skor Ow yang lebih tinggi akan mengakui akibat-akibat yang muncul dari suatu situasi sulit dan mengambil tanggung jawab untuk mengatasi kekacauan yang muncul. Rasa tanggung jawab merupakan salah satu cara untuk memperluas kendali, pemberdayaan, dan motivasi dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan.
Suatu ketika saya melakukan perjalanan ke Manado, Sulawesi Utara. Sebelumnya saya sudah memesan kamar di sebuah hotel tempat biasa saya menginap saat di Manado berikut jasa mobil jemputan dari hotel tersebut. Semua data penerbangan dan nomor ponsel sudah mereka catat. Penerbangan ke Manado ternyata terlambat sekitar 30 menit. Ketika tiba di pintu keluar, saya tidak melihat ada yang menjemput saya. Tidak lama kemudian ponsel saya berdering dan sopir yang akan menjemput meminta maaf karena mesin mobil mengalami sedikit kerusakan sehingga dia terlambat menjemput saya. Saya terpaksa menunggu sekitar 30 menit hingga sopir dan mobil jemputan tiba di bandara Sam Ratulangi dan mengantar saya ke hotel. Ketika check-in di meja front-office saya sampaikan keluhan saya. Petugas yang melayani meminta maaf dan menjelaskan hal yang sama. Saya katakan bahwa kerusakan mobil adalah masalah pihak hotel, bukan masalah saya. Tetapi akibat masalah mereka saya harus membuang waktu sekitar 30 menit untuk menunggu. Petugas front-office hanya terdiam sambil terus memproses registrasi kedatangan saya. Tidak menunggu lama, proses registrasi selesai dan sambil memberikan kunci kamar dia berkata, “Pak, ini kunci kamar bapak. Kamar bapak kami upgrade ke kelas yang lebih tinggi sebagai ungkapan permintaan maaf kami atas ketidaknyamanan yang terjadi”. Anda lihat, petugas front-office tersebut telah memberikan respon yang tepat. Dia tidak melihat kegagalan layanan kepada saya merupakan mimpi buruk. Dia tidak menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Apa yang terjadi merupakan sesuatu yang di luar diri dia. Tetapi, dia mengakui akibat kegagalan layanan tersebut (saya membuang waktu hanya untuk menunggu mobil jemputan), mengungkapkan penyesalan (dengan meminta maaf), dan mengambil tanggung jawab serta tindakan (meng-upgrade kamar saya sebagai kompensasi). 
Tahun 2011 tinggal tersisa beberapa hari lagi. Mungkin saat ini Anda belum mencapai target-target yang telah Anda tetapkan. Jika Anda bekerja sendiri, carilah penyebab Anda belum mencapai target tersebut dan tempatkan rasa bersalah pada proporsi yang tepat, dan ambil tanggung jawab atas situasi itu. Jika Anda seorang pemimpin, dimana pencapaian Anda bergantung pada sejumlah staf di bawah pimpinan Anda, carilah sumber penyebabnya. Mungkin penyebabnya adalah kondisi industri secara keseluruhan dimana bisnis Anda berada yang kurang bersahabat, atau mungkin penyebabnya adalah staf-staf Anda yang tidak berprestasi sesuai harapan padahal sepanjang tahun Anda sudah memimpin dan mengarahkan mereka, dan tempatkan rasa bersalah Anda (jika memang ada) pada proporsi yang tepat. Lalu, ambil tanggung jawab kegagalan tim Anda di hadapan manajemen. Dengan demikian Anda telah memperluas kendali, keberdayaan dan motivasi dalam mengambil tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan.