Sabtu, 31 Agustus 2013

Rachel Ibrahim: Tidak Pernah Berhenti Belajar dan Berbagi

Rachel Ibrahim
Rachel bukan wanita biasa. Dia memang kelihatan biasa. Yang membedakannya adalah, dia seorang yang anti kemapanan.
“Setiap kali saya berada dalam kondisi yang mapan, saya gelisah ingin mencari sebuah perjalanan dan terobosan baru. Bila tidak saya lakukan, saya merasa seakan tenggelam”, ungkap Rachel.

Banyak orang tidak tahu apa tujuan hidup mereka di dunia ini. Tapi, tidak bagi Rachel. Dia tahu apa yang diinginkan dan yang menjadi tujuan hidupnya. Sangat jelas.
“Saya mencoba menarik diri keluar dari situasi, sehingga saya dapat mengamati lebih cermat apa yang saya inginkan serta peluang-peluang yang ada”, tambah Rachel.

Dalam menjalani kehidupannya, Rachel menganggap tindakan itu lebih penting dari sekedar bicara. Memang, dalam banyak hal Rachel menghindari berbicara. Dia lebih suka bertindak dan bekerja keras dan membiarkan orang-orang menyaksikan dan merasakan hasilnya.

Mengaku bukan orang yang ambisius, namun Rachel pantang diremehkan. Apapun itu, hal kecil apapun, enerji dalam jiwanya mengalir dan memacunya untuk membuktikan bahwa dia tak pantas diremehkan, bahwa dia adalah seorang pemenang.
“Saya senang bila semakin banyak orang yang meremehkan saya. Karena itu akan memacu semangat saya lebih besar lagi untuk menjadi lebih baik“, kata Rachel sambil tersenyum. Tekanan dari luar, justru membuat jiwanya semakin matang dan bijaksana.

Bulan Juni 2012, Gallery Rachel dibuka di UOB Building, yang berlokasi di jantung Jakarta. Pembukaannya yang dihadiri oleh para pejabat, pengusaha, kolektor dan pencinta art menjadi perbincangan hangat kalangan seni rupa. Rachel tetap dengan kerendahan hatinya, penuh senyum dan tawa karena sebuah kemapanan telah didobraknya dan terobosan baru segera dimulai.

Empat tahun sebelumnya, Rachel melepaskan delapan belas tahun perjalanan karir di dunia perbankan saat AMEX menutup kantornya di Jakarta, dan Rachel terjun ke dunia art tahun 2008 dengan mendirikan SIGIart bersama seorang mitranya. Bukan sesuatu yang mudah karena ia melepaskan sebuah kemapanan, kenyamanan dan mencari sesuatu yang dapat mengisi kekosongan jiwanya.
“Tahun 2008 bukan tahun yang mudah untuk memulai usaha. Saat itu krisis finansial mempengaruhi gairah berbisnis di Indonesia. Tapi, itu tak menghalangi saya untuk mendirikan sebuah galeri,” tuturnya.

Rachel datang dengan konsep galeri yang baru dan menghadirkan karya-karya seni yang unik jauh dari karya-karya mainstream yang ditawarkan galeri-galeri lain. Ia mencoba menciptakan pasarnya sendiri dengan karya-karya seni yang berbeda. Tiap bulan dengan giat Rachel memamerkan karya-karya seni yang unik tanpa memperdulikan cibiran yang menghampiri dirinya sebagai pendatang baru di dunia seni
“Saya tahu kelebihan dan kekurangan diri saya, maka saya juga tak segan untuk terus menerus belajar. Saya bepergian bolak balik Jakarta-Bandung untuk belajar dunia seni ini dari para pakarnya”, ungkapnya mengenai perjuangan panjang untuk eksis di dunia seni.

Sebuah terobosan dalam dunia seni ia lakukan saat bekerja sama dengan Ay Tjoe Christine, seniman wanita asal Bandung yang saat itu sedang naik daun. Ay Tjoe menghadirkan cerita hidupnya dalam lembaran kanvas yang panjangnya 20 meter.
“Saya berpikir luar biasa keras bagaimana memamerkan karya ini dan bagaimana memenuhi keinginan para kolektor untuk memilikinya. Saya tidak ingin karya sepanjang 20 meter ini hanya dimiliki oleh satu orang kolektor saja”, tuturnya. 

Rachel Ibrahim bersama buku ANGEL & DEMON
Maka karya Ay Tjoe itu dipamerkan oleh Rachel hanya bagi 20 orang yang ia undang secara khusus pada bulan Juni 2010. Sebagian besar dari kedua puluh orang ini belum pernah memiliki karya Ay Tjoe sama sekali. Karya Ay Tjoe sepanjang 20 meter itu dibentang di atas struktur bulat yang dibangun khusus untuk menampilkan karyanya.  Dalam ruang pamer tertutup itu, kedua puluh orang ini dibiarkan oleh Rachel untuk berdiskusi dan memutuskan bagaimana berbagi bidang kanvas Ay Tjoe yang diinginkan oleh mereka. Sebuah konsep terobosan oleh Rachel yang mengundang pembicaraan ramai dan eksposur yang luar biasa di berbagai media.

Semangat pemenang Rachel adalah keterbukaan dirinya. Ia memiliki sifat generosity yang menonjol. Rachel bukan orang yang menyimpan segala sesuatu dan ilmu bagi dirinya sendiri. Ia enjoy dan tidak segan berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada orang lain.
“Saya tidak pernah takut berbagi ilmu kepada siapa pun. Saya sangat percaya bahwa mereka yang menabur mereka jugalah yang akan menuai. Saya sangat terbuka untuk berbincang dengan siapapun mengenai dunia seni yang luar biasa menarik ini”, ungkap Rachel.

Dan Rachel tidak pernah berhenti belajar. Pengalaman hidupnya selalu memberi sebuah pelajaran baru yang positif dan membuatnya menjadi semakin arif dan bijaksana. Ia selalu mempunyai pandangan lain dalam melihat sebuah masalah, dan itu sangat menyejukkan.  Keberhasilannya tidak membuatnya angkuh, ia tetap rendah hati, ramah dan terbuka.
“Saya sangat memperhatikan hal-hal kecil dalam mengelola galeri serta artis-artis muda dibawah manajemen saya, termasuk untuk tidak pernah meremehkan satu pun telepon atau orang yang mencoba menghubungi kami”, cerita Rachel. Ia mendedikasi perhatian yang luar biasa terhadap hal tersebut, termasuk mewajibkan staffnya untuk memberi perhatian ekstra bagi klien-klien dan semua orang yang menjalin kontak dengan galeri dan dirinya.

Tiga tahun setelah memulai SIGIart, Rachel menemukan sebuah kejemuan karena ternyata kemapanan itu hadir kembali lebih cepat dari yang diduganya. Jiwanya kembali gelisah dan dia mendambakan sebuah terobosan baru lagi di dunia seni. Kini ia memiliki visi untuk memiliki sebuah galeri yang memiliki jaringan dan reputasi internasional. Visi ini bukan milik semua orang dan belum tentu dapat dipahami oleh semua orang. Tetapi, Rachel tidak keberatan membagi visinya. Termasuk juga berbagi peluang dengan orang lain.

Akhirnya, Rachel bertemu dengan mitra baru yang memiliki pandangan yang sama dengannya. Kini, jiwa Rachel bergelora dengan semangat baru. Gallery Rachel kini menyiapkan langkah-langkah baru untuk mewujudkan visinya. Rachel masih tetap sederhana, namun semangat yang menggebu terpancar dari jiwanya. Sifat generosity-nya yang dominan telah membawanya sejauh ini dari tidak memiliki pengalaman di bidang seni hingga memiliki sebuah galeri yang memiliki jaringan dan reputasi internasional. Rachel adalah Sang Pemenang. She is always a winner. Time will tell.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Selasa, 20 Agustus 2013

Jeannetta: Membebaskan dan Mengoptimalkan Potensi Pelajar Indonesia

Jeannetta (paling kiri depan) bersama penerima bea siswa 2013
Jeannetta L. Suhendro, yang biasa dipanggil Jeannetta adalah sosok seorang ibu yang luar biasa. Di tengah kesibukannya di berbagai bisnisnya, ia masih menyempatkan diri untuk memberikan motivasi kepada para scholars, yang mendapatkan beasiswa ke Singapura. Kenapa ia sangat peduli dengan para scholars tersebut?

Wanita energik, kelahiran 3 September 1959, ini awalnya membantu usaha suaminya, Herman Sarwono, di bidang sipil/kontraktor. “Saya memegang Divisi Interior Design, bidang yang khusus saya pelajari setelah kuliah, agar bisa mendukung pekerjaan suami. Di samping itu, saya tetap menjalankan pelayanan di bidang konseling, sesuatu yang saya lakukan sejak masih SMA. Saya juga terus menambah ilmu di bidang Psikologi dan  Pendidikan”, tuturnya. “Hingga sekitar tahun 2000 saya masih membantu kantor suami sambil melakukan pelayanan di bidang konseling ini”, ujar lulusan S1 Universitas Indonesia sambil tersenyum.

Lebih lanjut Jeannetta menuturkan apa yang dia amati selama ini, “Saat melakukan konseling, saya menemukan banyak sekali pelajar yang bermasalah dalam sekolah. Banyak dari mereka merasakan sekolah sebagai ‘beban’. Untuk mendapatkan nilai yang bagus, mereka harus rela menghabiskan sangat banyak waktu (+ energi + biaya) mengikuti berbagai macam les. Tuntutan dari orang tua agar anak bisa masuk di sekolah-sekolah dan universitas favorit menambah berat ‘beban’ mereka, dan kondisi seperti inilah yang banyak memicu terjadinya konflik antara anak dengan orang tuanya. Suatu saat, saya sempat memperhatikan bahwa ternyata universitas-universitas  terbaik di Indonesia ‘hanya’ menduduki peringkat ke sekian ratus dunia. Hati sayapun bertanya-tanya: apa yang membuat pelajar kita kalah dari pelajar banyak negara lain (termasuk dari negara tetangga kita Jepang, Singapura, dan lain-lain)? Bukankah ada harga yang sangat mahal yang sudah dikorbankan oleh mereka agar bisa diterima di universitas-universitas terbaik tersebut? Bukankah waktu yang dimiliki oleh semua pelajar di belahan dunia manapun adalah sama-sama 24 jam sehari?”, ujarnya dengan nada tanya.

Rasa penasaran saya ‘menggiring’ saya pada beberapa temuan, Jeannetta menjawab sendiri pertanyaan itu. “Pertama, potensi pelajar Indonesia ternyata belum digarap secara optimal. Lebih banyak sekolah yang hanya fokus pada pembinaan akademis saja, dimana hal-hal non-akademis hanya mendapatkan porsi seadanya. Kedua, kerjasama antara sekolah dan orang tua masih banyak pada hal-hal yang ‘seremonial’ sifatnya. Potensi orang tua belum banyak diberdayakan untuk menunjang program-program sekolah dalam hal meningkatkan potensi siswa secara lebih spesifik. Ketiga, cara penanganan siswa yang kurang tepat seringkali hanya membuat mereka merasa dijadikan ‘OBYEK’, sehingga hasil yang diraih siswa acapkali bukan muncul dari kesadaran diri si siswa sendiri. Banyak siswa pintar secara akademis, namun seringkali seperti ‘ROBOT’ dan banyak kekurangan di hal-hal non-akademis, tuturnya. “Terakhir, saya menemukan bahwa sangat banyak siswa Indonesia terkondisikan untuk ‘manja’ dan terbiasa dilayani, seperti saat belajar harus ditunggu dan ditemani, mengerjakan tugas kliping/ kerajinan  dibantu dibuatkan oleh Ibu atau pembantu, membereskan buku dilakukan oleh orang lain. Akibatnya, pada banyak kondisi, seringkali mereka kehilangan rasa percaya dirinya. Mereka sering merasa tak mampu menyelesaikan kendala yang mereka hadapi seorang diri, lanjutnya.

Sekitar tahun 2004 mulailah saya mendirikan training motivasi bagi pelajar dengan nama PLUS & PLUS. Saya mencoba untuk mengolah potensi diri yang dimiliki oleh murid-murid saya, juga membangun rasa percaya diri mereka. Saya mencoba untuk selalu menyediakan ‘ruang’ bagi mereka untuk berekspresi, dan juga melatih mereka agar bisa berpikir ‘out of the box’ serta tidak gampang menyerah. Training ini juga selalu terbuka dan menyediakan tempat bagi anak-anak putus sekolah maupun tak mampu yang punya semangat untuk meningkatkan dirinya. Mereka ini tak perlu membayar apapun kecuali dengan semangat dan tekad untuk menjadi lebih baik, tuturnya menjelaskan.

Saya semakin mantap menekuni dunia training ini saat mempersiapkan anak saya ke Singapura. Saya melihat, belajar dan akhirnya menyimpulkan bahwa sampai kapanpun anak-anak kita akan ketinggalan, jika kita tidak mau belajar apa yang positif dari sistem pendidikan di negara lain. Bila sebelumnya langkah saya agak ragu-ragu karena merasa sangat ‘kecil’ dalam menghadapi ‘sistem’ yang sudah berakar di bidang pendidikan di negara kita, maka akhirnya, dengan dukungan suami dan anak-anak tentunya, saya mantapkan langkah saya  dengan satu tekad: sekecil apapun ‘sumbangsih’ saya di bidang pendidikan, paling tidak akan tetap ada hasilnya, ujar Jeannetta menjelaskan latar belakang keputusannya. Puji Tuhan, murid-murid saya saat ini sudah menjadi juara-juara di dalam maupun di luar negri. Yang lebih penting dari itu: mereka berprestasi atas keinginan yang tumbuh dari dalam hati mereka sendiri, tuturnya sambil tersenyum.

Jeannetta bersama suami dan kedua anaknya
Sejak 7 tahun terakhir ini, Jeannetta  membantu memberikan outbound dan motivasi kepada para scholars yang mendapatkan beasiswa ke Singapura. Awalnya adalah di tahun 2005, saat itu anak sulung saya, Henry William dipilih oleh sekolahnya, SMP Kanisius, sebagai salah satu kandidat penerima beasiswa. Saya segera mencari berbagai informasi tentang pelaksanaan program ini, kenangnya.

Hal yang mengejutkan saya, ternyata banyak scholars Indonesia yang memiliki citra yang kurang bagus di sana (tentu saja tidak semuanya seperti itu). Dari segi IQ mereka tidak kalah dari scholars negara lain, namun scholars Indonesia (saat itu) dikenal kurang memiliki etos belajar yang baik, kurang percaya diri, gampang menyerah saat ada kendala, kurang bisa berpikir out of the box dan lain-lain”, ungkapnya.

Jeannetta menyampaikan 'temuan'-nya itu pada Tyson Sutardi selaku representative dari program scholarship ini. “Ternyata, beliau mempunyai concern yang sama. Atas inisiatifnya maka dibentuklah Paguyuban Scholar, yang anggotanya adalah para scholars dan orangtua mereka. Paguyuban ini menjadi sarana bagi anggotanya untuk saling sharing dan saling mendukung, tuturnya

Jeannetta mempersiapkan para scholars yang akan berangkat dengan cara memfasilitasi mereka dengan kegiatan akademis, yaitu mempelajari mata pelajaran yang akan mereka terima di Singapura nanti, dan memberikan kesempatan pada mereka untuk mengikuti training motivasi + metode belajar ‘Otak Kanan’ di tempatnya. Puncaknya, mereka dikumpulkan dan dibina dalam outbound agar bisa lebih saling mengenal. Pembinaan di outbound ditekankan pada kerjasama dan penguatan mental mereka sebelum berangkat.

Hasil dari outbound  ini sangat nyata. Jika sebelumnya cukup banyak scholars yang ‘stress’ karena tidak biasa dengan cara belajar di Singapura, maka sejak 2006 para scholars sudah jauh lebih siap mentalnya, dan sudah tidak terkejut lagi dengan situasi belajar di sana, ungkapnya. Anak-anak penerima scholarship ini adalah anak-anak pilihan, yang sayangnya seringkali belum terlalu tergali potensi pribadinya. Mereka lebih banyak tergarap 'Otak Kiri'nya. Penggarapan ‘Otak Kanan’ masih kurang sebanding dengan penggarapan 'Otak Kiri', ujarnya.

Selain itu, seperti yang saya katakan di atas, sekolah-sekolah di Indonesia banyak yang masih terlalu fokus pada hal-hal yang sifatnya akademis semata. Sementara, paling tidak di Singapura, saya perhatikan para pelajar ditempa baik di bidang akademis maupun non-akademis secara lebih seimbang. Selain hal-hal akademis, mereka juga diajar berbagai jenis kecerdasan lainnya, seperti emosional, kreatif, sosial, spiritual, dan lain-lain, secara terpadu dan dalam porsi yang signifikan untuk mendidik mereka menjadi anak-anak yang 'balance'. Berbagai jenis kecerdasan inilah yang saya ajarkan di dalam kelas, ditambah dengan 'public speaking' dan 'leadership'. Selain itu mereka juga diajari metode belajar dengan ‘Otak Kanan’ serta diajak mengenal perbedaan-perbedaan akademis antara di Singapura dan di Indonesia, tutur Jeannetta.

Jeannetta dan kedua anak didiknya sharing dalam seminar motivasi
ANGEL & DEMON di Solo, 13 Maret 2013
Menurut Jeannetta, anak-anak yang sudah ‘diisi’ dan disiapkan mentalnya saat masih di Indonesia, bukan hanya akan 'survive' di Singapura. Beberapa tahun belakangan ini mereka bahkan banyak yang berhasil  menjadi  juara-juara se-Singapura (Singapore Top Scorers), serta banyak yang memiliki prestasi Internasional. Hebatnya lagi, anak-anak itu justru lebih terpupuk rasa nasionalismenya dibandingkan dengan saat masih di Indonesia. Saat ada libur akhir tahun yang panjang misalnya, mereka bisa pulang sekitar tiga mingguan ke Indonesia. Namun, waktu yang dua minggu biasanya mereka habiskan dengan mengajar anak-anak di daerah terpencil atau di kota-kota kecil di Indonesia. Mereka bahkan rela kerja sosial di sela-sela kesibukan mereka di Singapura, agar bisa membelikan kebutuhan dari sekolah yang akan mereka kunjungi, termasuk perangkat komputer. Semua biaya tak ada yang mereka minta dari orangtuanya, ungkapnya.

Sebagai seorang ibu yang banyak memiliki anak-anak didik, tentu Jeannetta juga bangga kepada anak kandungnya yang berprestasi. Bahkan  momen paling membahagiakan dalam hidupnya adalah saat melahirkan kedua putranya, Henry William (1990, saat ini di NUS Pharmacy) dan James Alexander (1993, saat ini tahun terakhir di Raffles Institution). Mereka berdua adalah KARUNIA luar biasa dari Tuhan yang selalu memunculkan energi luar biasa dalam hidup saya dan suami. Walaupun keduanya laki-laki, namun mereka tak pernah menyusahkan kami orangtuanya. Hubungan kami berempat sangat erat, saling terbuka dan saling mendukung. Saya sangat mensyukuri hal tersebut, ungkap Jeannetta.

Jeannetta bukanlah wanita ibu rumah tangga biasa. Dia adalah wanita yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan. Selain menjadi Managing Director/Interior Designer INTERAMA (Galeri Selaras), dia juga terlibat di berbagai kegiatan, antara lain; sebagai konselor masalah anak dan keluarga, presenter Acara Rohani Katholik (sejak 1996) untuk media TV, Anggota Dewan Pengurus Komsos KAJ, Direktris & Pengajar pada “Plus & Plus” (Motivation Training, MC, Public Speaking), memberikan pelatihan motivasi untuk staf perusahaan-perusahaan, anak-anak sekolah maupun guru-guru, memberikan pelatihan motivasi serta pendampingan bagi ’scholars’ (penerima beasiswa dari Pemerintah Singapura), memberikan pelatihan Public Speaking untuk perusahaan- perusahaan, pelajar, maupun masyarakat umum.

Jeannetta juga sudah banyak meraih prestasi dan menerima berbagai penghargaan, antara lain; Srikandi-Srikandi Terbaik Indonesia 2008 (Versi Smart Naco Indonesia & PT Citra AksaraKomunika), The Most Favorite Leadership 2006 (Versi Pusat Prestasi Indonesia), Best Professional Figure, Public, Educator,Enterpreneur Award 2005 (Versi Indonesia Achievement Association & South East Asian Achievement Association), Golden Trophy 2005 (Versi WAA), Business Indonesian Award 2004 (Versi International Achievement Foundation & Pusat Prestasi Indonesia), International Professional of the Year 2003 (Versi International Achievement Foundation).
               
Jeannetta adalah Sang Pemenang, yang memiliki loyalitas/kesetiaan. Kesetiaan kepada keluarga, kesetiaan kepada anak-anak, kesetiaan kepada dunia pendidikan. Kesetiaan yang menjadi sumber energi bagi dia dalam menjalankan sederet aktifitas. Jeannetta mengakui bahwa kesuksesan Sang Pemenang tidak pernah berdiri sendiri. Suami dan anak-anaknyalah yang menjadi salah satu kekuatan Jeannetta dalam meraih pencapaian-pencapaiannya. Jeannetta adalah Sang Pemenang.

Di akhir perbincangan dengannya, Jeannetta menyampaikan pesannya: “Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang besar. Sumber daya manusia kita tidak kalah dari bangsa lain, asalkan kita mau terus meningkatkan ‘kualitas diri’ kita. Dalam menghadapi kekurangan yang ada, cobalah untuk tidak hanya mengkritik. Lakukan KARYA NYATA yang bisa memperbaiki keadaan. Sekecil apapun sumbangsih kita, jauh lebih baik berbuat nyata!

Akhirnya, Jeannetta sangat meyakini kebenaran kalimat-kalimat berikut:
“We ourselves feel that what we are doing is just a drop in the ocean. But the ocean would be less because of that missing drop” – Mother Teresa
“What I can do, you cannot. What you can do, I cannot. But together we can do something beautiful for God” – Mother Teresa
“It is not how much you do, but how much love you put into the doing that matters” – Mother Teresa

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah InspiratifSang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Senin, 12 Agustus 2013

Anton Wiryono: "You Have To Love What You Do"

DJ Anton Wiryono
Anton Wirjono lebih dikenal dengan nama panggilan DJ Anton. Saat DJ (disc jockey) lain seangkatannya sudah hampir tak terdengar, DJ Anton masih tetap eksis memutar musik pilihannya untuk para penggemar dan komunitasnya, yang kini juga menjangkau berbagai kalangan elit kelas atas. Bahkan kini DJ Anton juga seorang creative entrepreneur yang sukses.

Semua kesuksesan yang diraih Anton, yang lahir di Kudus pada tanggal 14 April 1970, terlihat berlangsung dengan mulus. Namun, tidak demikian, menurut Anton. Banyak hal-hal yang ia lakukan ternyata tidak atau belum berhasil. Hal ini dikarenakan Anton banyak bereksperimen dan mencoba hal-hal yang berbeda.  Tapi buat dia, pengalaman kegagalan adalah sebuah proses pencarian dan persiapan bagi kesuksesan yang ia raih saat ini.

Di tahun 1994, Anton kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Menlo College, California, Amerika Serikat (AS). Ia mencoba melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan. Namun, di dalam hatinya, Anton selalu memiliki keinginan menjadi DJ. Saat itu, persepsi terhadap seorang DJ sangat jelek. Sangat berbeda jauh dengan kondisi saat ini dimana DJ diakui sebagai sebuah profesi yang glamor, melekat dengan private jet, champagne, merchandising. Bahkan, majalah Forbes kini memiliki The Richest DJ List.

Tak heran, Anton mendapat demikian banyak tantangan di awal-awal sepak terjangnya di dunia DJ. Bahkan, orangtuanya pun keberatan bila Anton menekuni profesi itu“Tapi saya selalu berpendapat bahwa musik adalah sesuatu yang positif dan bila dilakukan dengan professional dapat menjadi sesuatu yang besar. Beruntung orang tua saya bersikap open minded. Mereka akhirnya memberikan dukungan, setelah melihat ketekunan saya dalam menjalani profesi ini”, ujarnya.

Anton mendapat bantuan ayahnya untuk membuat credit card agar ia dapat membeli piringan hitam dari distributor di Amerika untuk dijual di Jakarta. Ia menggunakan ruangan kecil di bawah kantor ayahnya dan membuka toko piringan hitam. Lama kelamaan tokonya menjadi terkenal di antara kolektor piringan hitam serta para DJ di Jakarta.

Anton juga mencoba memainkan musiknya dari satu klub ke klub yang lain. Ia sempat frustasi karena musik yang dimainkannya ternyata tidak dapat diterima oleh pemilik klub, bahkan hampir di semua tempat ia bermain, dia disuruh turun dari panggung. Anton akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dan membuat acaranya sendiri agar ia dapat memainkan musik pilihannya.

Di toko piringan hitamnya, ia banyak bertemu dengan teman baru. Sebuah kesempatan akhirnya datang ketika salah satu teman barunya sedang merenovasi klub yang dimilikinya dan mengalami masalah untuk mendatangkan pengunjung ke klubnya tersebut. “Saya langsung datang untuk melihat klub ini dan merasa sangat cocok. Saya menawarkan untuk bermain pada sebuah malam dengan mengisi musik serta membawa tamu ke klub tersebut dan saya minta 50% dari penghasilan malam itu. Mereka langsung setuju”, tutur Anton.

Anton melakukan semuanya seorang diri mulai dari mendesain flyer di tempat sahabatnya, ke percetakan hingga membagikan flyer ke teman-temannya. Teman-teman senimannya ia ajak juga untuk membuat instalasi dan projection dengan menggunakan slide projector. Anton juga mengajak beberapa teman DJ-nya untuk mengisi acara tersebut. “Kami memainkan musik yang tidak dimainkan di tempat lain dengan suasana yang unik yang tidak sama dengan tempat yang lain, juga berpromosi dengan cara yang berbeda. Di tempat lain para tamu bisa request lagu , namun tidak di acara saya karena menurut saya DJ adalah seorang performance artist. Hasilnya malam itu sungguh sukses dengan 600 orang yang hadir. Jualan tiket, makanan dan minuman laku keras”, kenang Anton. Bahkan, ketika acara belum selesai, Anton sudah diminta pemilik klub itu untuk mengisi acara setiap hari Sabtu dengan presentasi 60/40. “Saya langsung setuju. Selama setahun saya dapat menarik rata-rata 700 pengunjung per hari. Di sana saya mulai membangun komunitas saya”, tutur Anton. Dari kesuksesannya ini, Anton banyak diundang untuk memainkan musiknya dan membuat acara di berbagai lokasi karena mereka tertarik dengan komunitas yang telah dibangunnya.

Bersama adiknya, Hogi Wirjono, Anton mendirikan Future10 dan menjadi pioneer dalam berbagai brand even musik di Indonesia, termasuk di antaranya The Jakarta Movement, Back in The Days, Turn On Plastic, Agrikulture  dan Junction Bali Festival.

Sukses yang ia raih, berawal dari pelajaran marketing yang sangat mengesankannya. Bukan dari kelas studinya, tetapi dari sebuah promotor acara di San Fransisco bernama Wicked. Mereka selalu melawan musik dan acara-acara mainstream. Anton diajak oleh seorang temannya yang sekolah di art school untuk menghadiri acara mereka.

Wicked membuat acaranya setiap full moon di sebuah pantai. Lokasi pantai setiap kali berubah. Wicked tidak menggunakan flyer atau sarana promosi lainnya. Promosi dilakukan oleh beberapa personil mereka dengan menelpon jaringan teman-teman mereka pada jam 12 malam. Jam 3 pagi acara dimulai dan selesai pada jam 9 pagi.

“Bayangkan pengunjung acara mereka bisa sampai 4.000 orang. Ingat di tahun 1990, belum ada social media.Yang datang adalah komunitas yang telah mereka bangun. Ketika telah menghadiri acara mereka beberapa kali, kami seolah sudah saling mengenal dan merasa menjadi bagian dari komunitas mereka. Akhirnya kami juga mengajak teman-teman lain yang mungkin menyukai gaya musik dan komunitas ini. Setiap kali mereka merilis kaset, selalu habis terjual. Demikian juga T-shirt dengan logo mereka laris manis terjual”, kenang Anton yang langsung menyadari pentingnya membangun brand dan komunitas yang kuat bagi bisnis yang sukses.

Wicked menginspirasi Anton untuk menjadi seorang DJ. Ia mengkoleksi musik dan bermain di rumah sebagai hobby. Menjadi DJ mempertajam intuisinya dan membiasakan dirinya untuk melakukan kurasi. Anton harus memilih musik terbaik dari beberapa juta lagu-lagu yang ada di dunia, memutarkan dengan caranya sendiri di berbagai tempat, penonton dan situasi yang selalu berubah.
“Intinya saya memilih untuk memutar musik yang menurut saya bagus dan bukan karena request dari orang lain. Akhirnya orang percaya akan pilihan musik saya dan percaya untuk memilih saya menjadi DJ di acara mereka”, ujarnya.

Mengkurasi musik menjadi inspirasi bagi Anton untuk membuat Brightspot Market dan The Goods Dept. “Saya memilih untuk tidak mencoba menyediakan produk bagi semua orang. Brightspot Market memberikan shopping experience yang berbeda dan mengekpos entrepreneur kreatif yang ada di Jakarta dan Bandung dengan membuat pop-up market selama empat hari, mirip pasar kaget. Ada sebuah urgency dalam hal ini, lokasinya pun berpindah-pindah”, jelas Anton.

Brightspot Market bekerjasama dengan komunitas desainer muda dan brand-brand di Indonesia yang independen dan sangat berpotensi namun under-exposed. Brightspot juga bekerja sama dengan importir dari brand-brand internasional yang susah dicari namun memiliki komunitas di Indonesia. Brightspot Market melakukan promosinya dengan word of mouth dari vendor-vendor yang berpartisipasi, juga tak kalah penting melalui jaringan sosial media.

“Brand yang masuk ke Brightspot Market kami kurasi. Yang artinya, walaupun teman baik, tapi kalau produknya tidak cocok untuk komunitas maka kami akan menolaknya. Ini adalah salah satu kunci keberhasilan Brightspot Market. Kriteria kurasi adalah intuisi dari komite Brightspot”, ungkap Anton. Pasar kaget Brightspot Market saat pertama diluncurkan pada 2009 diikuti oleh 25 label dengan pengunjung 5.000 orang. Brightspot Market ke-delapan yang berlangsung di Gandaria City pada bulan Juni 2012 menempati area seluas 2.600 m2, melibatkan 125 label dan menarik lebih dari 65.000 pengunjung.

DJ Anton Wiryono di outletnya di Pacific Place, Jakarta
Setelah sukses membangun Brightspot Market, Anton dan teman-temannya membuat konsep ritel yang lebih permanen yaitu The Goods Dept. The Goods Dept yang dimulai di Plaza Indonesia extension, kini menempati area seluas 750 m2 di Pacific Place dan 1.000 m2 di Pondok Indah Mall. Bahkan, pada tanggal 12 Desember 2012, Anton  telah membuka online shop untuk The Goods Dept.

Anton telah memberikan dukungan yang luar biasa bagi desainer muda Indonesia “Mereka sangat bagus dan kreatif secara desain dan branding. Namun mereka memiliki keterbatasan dalam hal manufacturing, bahan dan biaya, terutama kalau dibandingkan dengan raksasa ready to wear dunia. Masalah ini lebih karena economic of scale yang belum berada pada level yang tepat. Tapi hal itu akan berubah saat kami melakukan ekspansi dengan menjual produk mereka di lebih banyak outlet dan juga di berbagai negara. Yang penting potensi mereka untuk menjadi besar sudah ada”, ujar Anton dengan penuh keyakinan.

Untuk membuat shopping experience di The Goods Dept menjadi lebih hangat, Anton memutuskan untuk membuat kafe di dalamnya. Ternyata kafe ini sangat sukses dan digemari komunitasnya. Akhirnya, Anton juga membuka Goods Diner yang juga sangat sukses berlokasi di Fairground, SCBD. “Perjalanan di bisnis resto café selama ini cukup lancar. Kami beruntung dapat bekerja sama dengan chef yang memiliki satu visi. Tantangan hanya ada di kompetisi, restoran lain banyak yang meniru konsep kami, juga menunya. Staff kami yang bagus juga sering dibajak, ungkap Anton sambil terbahak.

Karyawan yang dimilikinya saat ini berjumlah lebih dari 250 orang. Proses untuk merekrut lebih banyak mengandalkan karyawan yang saat ini bekerja dengannya. “Team kami yang sekarang sangat peduli dengan brand Goods dan mereka bekerja keras untuk memperkuat brand ini. Karena sekarang strukturnya sudah lebih besar, diluar financial control, fungsi saya lebih seperti brand guardian. Memastikan kesamaan antara arah perusahaan dan visi para staff”, tutur Anton.

Anton, yang seorang seniman, membuktikan bahwa ia juga mampu sukses sebagai seorang entrepreneur. Ini adalah hal yang luar biasa, kita melihat sendiri tidak banyak seniman yang dapat menjadi seorang pebisnis sukses.

“Memang sangat berbeda menjadi seniman dan menjadi pebisnis. Waktu kuliah keinginan saya adalah untuk mengambil bidang art, tapi orang tua saya memaksakan untuk ambil Business Administration. Saya sangat berterimakasih untuk itu. Jadi walaupun saya senang dengan hal-hal yang kreatif dan berseni, minat saya di bisnis terutama marketing cukup tinggi”, ujarnya.

Melihat kembali atas apa yang telah diraihnya,  Anton menganggap nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtuanya sangat mendukung kesuksesan yang diraihnya saat ini. “Bapak saya selalu mengajarkan saya untuk open minded, untuk curious dengan banyak hal. Kita tidak boleh bilang tidak sebelum mencoba atau melihat. Dia cukup keras dalam mendidik anak-anaknya, tapi sekarang saya menyadari sikapnya yang demikian karena ia menginginkan yang terbaik untuk kami. Ibu saya adalah orang yang sangat baik hati. Aktifitasnya di gereja dan yayasan adalah suatu inspirasi besar bagi saya untuk berbuat sesuatu yang berarti dan dapat membantu orang banyak”, jelas Anton.

Selain karakter dasar yang terbentuk karena pendidikan dari orang tua, Anton menilai pengalaman hidup memiliki peranan besar untuk meraih apa yang dicapainya saat ini. “Saya percaya bahwa one thing always leads to another. Kalau saya tak mendapatkan karakter yang kuat dari orang tua serta pendidikan, saya tidak akan membuka diri untuk berkarir di musik. Dan bila saya tak mendalami musik dan bisnis di seputar dunia musik, saya tidak akan bisa masuk ke dalam bisnis lifestyle, dalam hal ini ritel dan food and beverage”, ungkapnya. Dan justru kecintaannya terhadap apa yang dikerjakan menimbulkan antusiasme yang tinggi, yang menjadi salah satu faktor kesuksesannya.

“Saya juga beruntung punya kakak dan adik-adik yang sangat passionate dan berprestasi di bidang mereka masing-masing. Mereka semua memberikan kontribusi yang unik. Sebenarnya pertimbangan untuk bekerja sama dengan mereka karena memang mereka sangat qualified di bidangnya. Saya lalu menyesuaikan posisi dengan keahlian mereka. Setelah itu kuncinya adalah keterbukaan dan struktur yang jelas”, ungkap Anton mengenai kerjasamanya dan dukungan kakak serta adik-adiknya dalam berbagai bisnis kreatifnya ini.

Tidak semua yang dilakukan Anton meraih sukses. Ada beberapa juga bisnisnya yang gagal. “Saya mencoba banyak hal yang berbeda dalam hidup saya. Bersama dengan seorang teman Jerman, kami menjadi distibutor teh organik dan bir dari Jerman ke Jakarta. Berhubung saya memiliki banyak teman pemilik restoran dan klub, saya mencoba bisnis ini. Kami berhasil memasukkan produk ini ke banyak outlet-outlet termasuk hampir semua hotel bintang lima. Tapi, setelah sekitar dua tahun dan berhasil membuat brand-brand tersebut dikenal orang banyak, bisnis itu kami lepaskan ke pihak lain karena kami kurang kuat dalam hal pendanaan. Bir yang dulu kami bekerja keras untuk membangun brand-nya, kini tersebar di semua outlet food & beverage terbaik di Indonesia”, ujar Anton.

Anton juga pernah membuat perusahaan animasi dengan temannya. Ia tidak memiliki background animasi sama sekali, sementara temannya sudah bertahun-tahun menekuni bidang ini. “Setelah beberapa bulan saya menemukan bahwa sebagian besar dari pekerjaan yang dilaksanakan di fasilitas itu, pembayarannya langsung ke rekening pribadi teman saya ini. Keesokan harinya, saya langsung tutup kantornya”, kenang Anton sambil tertawa.

Belajar dari kedua pengalaman ini, Anton menyadari bahwa motivasi untuk mendapatkan uang ternyata membawa kegagalan dalam usahanya. Kunci sebuah kesuksesan buat seorang pemenang menurut Anton adalah you have to love what you do. Mencintai apa yang Anda kerjakan. Dengan mencintai, maka Anda akan menjadi antusias.

“Ini adalah garansi utama untuk sukses. Yang saya kerjakan adalah hidup saya. Saya bekerja tujuh hari seminggu, sering kali hingga jam 3 pagi. Karena saya mencintai apa yang saya kerjakan, saya tak pernah merasakan bahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah pekerjaan”, ujarnya. “Kemudian, jangan lupa bahwa semua memerlukan kerja keras. Tidak ada yang mudah. Harus jelas apa yang kita inginkan, fokus serta selalu melakukan yang terbaik.  Network yang baik juga sangat penting untuk mendukung kesuksesan”, tutur Anton mengenai kunci sukses seorang pemenang.

DJ Anton Wiryono bersama ketiga penulis di acara peluncuran buku ANGEL & DEMON,
pada 13 Maret 2013 di The Goods Dept di Pacific Place, Jakarta 
Anton tidak berpuas diri dengan apa yang diraihnya saat ini. “Konsentrasi saya sekarang mengembangkan brand Goods. Mission statement kami adalahwe are a universal provider of cool’, ungkap Anton. "Sekarang kami  memiliki The Goods Dept dan The Goods Café di Pacific Place dan Pondok Indah Mall, The Goods Online Store, The Goods Diner SCBD. Ke depan, kami akan memulai ekspansi cukup besar dengan second round investor utk memperbanyak cabang dan konsep Goods ritel dan F&B di Indonesia dan juga di luar negeri. Beberapa konsep baru dibawah nama Goods juga akan kami luncurkan. Kami juga akan mulai membuat produk Goods sendiri dengan berkolaborasi dengan desainer-desainer yang bergabung dengan Goods”, Anton menjelaskan misinya.

Di tahun 2013, Anton akan mulai aktif memproduksi musiknya namun ia akan mencoba mengurangi performance terutama di luar kota. Ia juga merencanakan untuk menyatukan aktifitas event dan konser Future10 ke dalam Goods Group agar lebih fokus.  “Saya ingin mengarahkan Future10 agar lebih interaktif sambi menunggu peluang yang pas”, ungkap Anton di akhir percakapan.

Anton, dengan antusiasme yang dominan sejauh ini telah mampu melalui kesulitan-kesulitan yang ada sejak mulai memainkan musik hingga saat ini memiliki beberapa jaringan bisnis. Anton, atau DJ Anton adalah Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Jumat, 02 Agustus 2013

Muhammad Farhan: "Tidak Ada Alasan Apapun Untuk Menyerah!"

Muhammad Farhan, lebih dikenal dengan panggilan Farhan, tentu bukan nama yang asing di telinga. Sejak tahun 1996, ia telah bergelut di dunia media dan entertainmen. Farhan dikenal sebagai pemandu berbagai acara, talk show dan diskusi. Program televisi yang lekat dengannya antara lain Extravaganza dan Lepas Malam di Trans TV, PESTA” di Indosiar dan juga programnya sendiri Oom Farhan di ANTV. 

Berwawasan luas dan modern, Farhan selalu tampil smart dengan celetuknya yang kadang kritis, tajam tetapi juga diselingi dengan candanya khas. Kini setiap pagi mulai jam 6 hinggal 10, Farhan menyapa pendengarnya di Jakarta, Bandung, Surabaya, Menado dan Makasar melalui radio Delta FM.

Farhan yang lahir di Bogor tahun 1970, juga memiliki perhatian yang luar biasa terhadap dunia persepakbolaan. Di tengah reputasi dunia sepakbola Indonesia yang memprihatinkan, ia memutuskan untuk memberikan kontribusinya untuk perbaikan profesionalitas sepakbola melalui posisinya sebagai Wakil Direktur PT Persib Bandung Bermartabat yang mengelola Persib Bandung.  

Selalu tampil percaya diri dengan senyum di wajahnya, namun kehidupan bukanlah sebuah perjalanan yang mudah bagi Farhan. Sebuah hidup penuh tantangan dan menguras enerji dijalaninya dengan kesabaran tingkat tinggi. Tantangan ini bahkan belum usai dan perjalanan ke depan masih panjang. Tetapi untuk Farhan, ia tak punya satu alasan pun untuk menyerah. No-compromise! Tidak ada kompromi dengan situasi sulit. Dan, tidak diragukan, ia adalah Sang Pemenang dalam hidupnya.

Tidak banyak diketahui publik, Farhan dan istrinya tercinta, Aya, melewati masa-masa penuh tantangan membesarkan putra pertama mereka, Ridzky, yang autistik. Kekuatan Farhan dan Aya mengatasi tantangan baik dari dalam diri mereka dan lingkungan untuk memberikan kehidupan yang terbaik bagi Ridzky adalah sebuah perjalanan hidup yang inspiratif. Farhan menuturkan kisahnya yang luar biasa itu.

“Saat itu hari Minggu, tanggal 20 Juni 1999, saya sedang memandu acara PESTA di Indosiar dari jam 17.00 hingga 19.00 dengan tema HUT Jakarta, ujarnya memulai percakapan. Saya menyimpan kegelisahan, karena pada saat bersamaan, Aya sedang berjuang di Rumah Sakit Bersalin YPK Menteng, Jakarta Pusat, menanti kelahiran putra pertama kami.”

Begitu selesai menjalani tugasnya, Farhan langsung menuju Menteng. Aya yang berjuang sejak pukul 14.00 akhirnya melahirkan putra pertama mereka pada pukul 20:30, yang mereka beri nama Muhammad Ridzky Khalid.

“Nama Khalid diambil dari Khlaid bin Walid, panglima perang pasukan Muhammad SAW, yang juga seorang pejuang yang tangguh. Nama ini memang sengaja kami pilih. Tanpa pernah kami duga sama sekali, ternyata Ridzky memang harus menjadi pejuang yang tangguh menjalani kehidupannya”, jelas Farhan.

Dalam usia kurang dari dua bulan Ridzky harus menghadapi dua operasi, sebuah tantangan yang berat untuk sebuah kehidupan baru. Bayi mungil ini melakukan perjuangannya, sendiri, di awal kehidupannya. Ridzky terkapar tak berdaya di ruang ICU Cempaka Rumah Sakit Harapan Kita.  Hampir seluruh organ vital tubuhnya ditopang mesin. Pernafasan, pacu jantung, saluran pencernaan dan aliran darah semua dibantu oleh mesin. Bakteri straptococus menyerang paru-paru kecilnya hingga paru-paru bagian kirinya tak berfungsi sama sekali. Ridzky kecil terus berjuang. Selama tiga minggu di ruang ICU, ada sekitar enam hingga tujuh pasien neo-natal keluar masuk ICU dengan berbagai keluhan dan kelainan. Hanya Ridzky yang keluar dari ruangan tersebut dalam keadaan hidup, setelah menjalani operasi penataan ulang otot membrane rongga dadanya selama enam jam.

Derita Ridzy tidak berhenti sampai di situ. Tiga minggu kemudian, ia harus menjalani operasi kedua untuk menghentikan infeksi di persendian mata kakinya. Pejuang kecil Ridzky berhasil melewati masa-masa kritisnya. Pengalaman ini menjadikan Farhan dan Aya sangat awas terhadap setiap detil tumbuh kembang putra mereka tercinta ini.

“Saat usia Ridzky 18 bulan, kami menangkap adanya masalah pada kemampuan reaksi Ridzky terhadap lingkungan sekitarnya. Ia sangat “anteng” dan asyik dengan dirinya sendiri”, ungkap Farhan. Farhan pun menghubungi Prof. Sarlito, yang kemudian merekomendasikan Farhan membawa Ridzky ke konsultan psikologis khusus autistik, yaitu Mandiga. Disana, Farhan berkonsultasi dengan dua psikolog yang kemudian menjadi sahabatnya, yaitu Dyah Puspita dan Adriana Ginanjar. Kedua psikolog ini mengatakan bahwa Ridzky memang memiliki beberapa ciri spektrum autistik. Namun, Ridzky harus menunggu hingga usia 36 bulan sebelum diagnosa yang pasti dapat ditegakkan.

Aya sedang mengandung putra kedua mereka saat mengetahui gejala autistik pada Ridzky. Putra kedua mereka, Bisma Wibisana lahir pada tanggal 20 Juni 2001. Nama Bisma diambil dari tokoh perwayangan, yaitu paman para Pandawa dan Kurawa, yang dikenal jujur dan setia. Sedangkan Wibisana adalah nama adik Rahwana yang selalu mendengarkan suara nurani untuk menegakkan kebenaran. Ada kekuatiran bahwa Bisma akan menghadapi masalah yang sama. “Namun, saya dan Aya sepakat untuk menghadapi dengan mind set yang berbeda. Di satu sisi, kami fokus pada terapi intervensi tahap awal Ridzky. Namun secara terpisah kami juga fokus pada kesehatan tumbuh kembang Bisma. Memang sulit. Namun, it’s truly a blessing beyond the challenge of parenting”, ungkap Farhan.

Farhan, Aya, Ridzky dan Bisma
Farhan kemudian mengungkapkan pendekatan khusus yang dilakukannya untuk membina hubungan antara Ridzky dan Bisma. “Tahap pertama, kami mengajak Bisma dan Ridzky untuk saling mengenal keunikan masing-masing. Saat Bisma mengenali Ridzky dengan kebutuhan khususnya, yang tentu saja berbeda dengan anak-anak yang lain, ia belajar menerima kekhususan kakaknya. Sementara itu, Ridzky perlu mengenali karakter adiknya agar dia bisa belajar berinteraksi, ungkap Farhan. Memang sulit sekali, karena sering terjadi bentrok fisik maupun interest antara mereka. Dengan ego anak-anak yang dominan, proses pengenalan ini ternyata juga mengajarkan rasa berbagi dan compassionate di antara mereka berdua, lanjut Farhan sambil tersenyum. Sering sekali kami dibuat tersenyum haru ketika Ridzky menenteng dua mainan yang sama, karena dia ingin memastikan Bisma mendapatkan mainan juga. Bahkan Bisma sering memastikan Ridzky sudah ada di mobil terlebih dahulu, setiap kali kami akan bepergian”, tutur Farhan.

Upaya Farhan dan Aya untuk membantu Ridzky, dilakukan dengan menebar jaringan perkenalan dengan para orangtua dari komunitas autistik. Mereka bertemu dengan dr Melly Budiman, SPsi, seorang psikiater anak, yang fokus pada penelitian dan penanganan autistik sejak usia dini. Sejak itu Farhan dan Aya melakukan banyak intervensi dini pada perilaku dan kognitif Ridzky.
Sebuah ujian hidup yang tidak mudah harus dihadapi oleh Farhan dan Aya. Tantangan terbesar dan terberat seperti diakui oleh Farhan adalah penyangkalan diri.

“Pada awalnya saya menolak menerima kondisi ini dan berharap Ridzky bisa kembali NORMAL. Hati dan pikiran saya hanya tertanam satu hal – WE’LL GET OVER THIS! Saya yakin gejala autistik ini akan hilang seiring dengan tumbuh kembangnya Ridzky. Namun rasa optimis ini hanya beda tipis dengan penyangkalan diri”, aku Farhan.

Akibat menuruti egonya, Farhan tidak pernah fokus pada terapi jangka panjang. Begitu terapi tidak menunjukkan hasil dalam waktu tiga bulan, Farhan memutuskan untuk mencoba metode terapi lain. Akibatnya, tidak ada kemajuan yang terlihat pada diri Ridzky. Farhan akhirnya menyadari bahwa terapi ini ditujukan bukan untuk kepentingan Ridzky, tetapi untuk kepentingan ego dirinya.

“Setelah melalui pertikaian panjang antara perasaan dan akal, Aya meyakinkan saya bahwa kami berdua harus menerima kenyataan bahwa Ridzky memang penyandang spektrum autistik. Setelah dapat menerima kondisi ini, kami lebih berkonsentrasi untuk melakukan program behavior intervention bagi Ridzky daripada berusaha meyakinkan diri sendiri dan orang lain bahwa Ridzky anak yang NORMAL”, tutur Farhan mengenai pergulatan dirinya yang luar biasa berat menghadapi situasi ini.

Demikian beratnya, hingga Farhan dan Aya memerlukan terapi tersendiri dengan para psikolog agar dapat memperkuat diri mereka untuk menghadapi tantangan yang tak mudah ini.  Ternyata memang kebanyakan orang tua dari anak-anak dengan spektrum autistik memerlukan dukungan dan terapi psikolog. Ada hal yang melegakan bagi Farhan.  Tidak ada prasangka dari pihak keluarga besar bahwa autistik pada Ridzky adalah “kelainan turunan”. Ini adalah dukungan moral yang besar bagi mereka berdua.  

Kekuatan yang luar biasa dari Farhan dan Aya ini datang dari rasa cinta dan kekompakan mereka untuk menghadapi tantangan ini bersama-sama. Farhan, yang pandangannya dipengaruhi nilai Islami tradisional Jawa, menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. “Family always comes first”, ungkap Farhan. Berdua, Farhan dan Aya, mengambil sikap yang konsisten dan kompak dengan misi utama untuk sepenuhnya memberikan yang terbaik bagi Ridzky. Perjuangan ini tak ada akhirnya. Apakah mereka pernah merasa lelah dan ingin menyerah? 

“Lelah ? Pasti pernah! Saya dan Aya bukan super parent. Ada masanya kami tertunduk lesu, kehabisan enerji. Seperti rumah tangga lainnya, masalah kami tidak hanya berpusat pada Ridzky. Inilah yang terkadang sangat menguras tenaga dan pikiran kami, tutur Farhan. Namun ajaibnya, selalu ada hal kecil yang mengisi ulang enerji kami. Pelukan tanpa pretensi dari Ridzky dan Bisma, dan bisikan tulus mereka - Aku sayang Ayah, Aku sayang Ibu - selalu berhasil menjadi energizer bagi kami”.

Tapi, Farhan tidak akan berkompromi dengan situasi sulit. Sikap pemenang Farhan sungguh mengagumkan. “Melihat perjuangan putra kami yang luar biasa di awal kehidupannya, kami tidak punya alasan untuk putus asa, apalagi menyerah. Kami akan selalu memberikan yang terbaik dari kami untuk Ridzky dan Bisma, walaupun mungkin itu bukan yang terbaik di dunia”.

Tantangan lain adalah memberikan pendidikan bagi Ridzky. Tak ada sekolah atau theraphy center yang dapat seratus persen memenuhi kebutuhannya. Setiap individu autistik memiliki kebutuhan yang unik. Setiap terapi membutuhkan pendekatan yang unik dan juga memberikan dampak yang spesifik bagi individu tersebut. Farhan dan Aya mencoba berbagai metoda dan berbagai lembaga terapi. “Upaya ini tidak mudah dan tidak murah”, ungkap Farhan. Ada dua hal yang penting, yaitu tujuan yang jelas dan ekspektasi yang realisitis”, lanjut dia.

Dari pengalamannya melakukan terapi untuk putranya, Farhan menyesalkan sikap judgmental dari para penyelenggara pendidikan. Mereka menilai bahwa apa yang terjadi pada anak-anak yang berkebutuhan khusus tersebut adalah akibat dosa atau perbuatan menyimpang dari orang tua mereka. Sebuah pemikiran yang sudah ketinggalan jauh. Sikap seperti ini justru datang dari lembaga yang seharusnya memberikan bantuan dan dukungan paling utama bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan juga para orangtua mereka. Sungguh amat disayangkan.

Farhan dan Aya juga terlibat dalam perdebatan mana yang lebih penting bagi Ridzky, pengembangan kemampuan kognitifnya atau kemampuan vocational. Farhan percaya bahwa kemampuan kognitif lebih bermanfaat bagi Ridzky, sedang Aya ingin memberikan vocational skill agar Ridzky dapat gunakan untuk masa depannya. Akhirnya Farhan dan Aya mencapai kesepakatan bahwa Ridzky perlu hidup yang mandiri, untuk itu ia memerlukan basic knowledge dan life skill

Farhan dan Aya memilihkan sekolah dengan program inklusi dengan pendampingan.  Menurut Farhan, sistem inklusi merupakan pendekatan yang tepat namun diperlukan persyaratan seperti kualitas pengajar dengan jumlah yang memadai, fasilitas inklusivitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan khusus. Persyaratan ini yang sulit untuk dipenuhi. Padahal manfaat sistem ini tidak hanya akan dirasakan oleh mereka yang berkebutuhan khusus, tetapi juga siswa yang lain karena mereka bisa belajar untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan mereka yang berbeda. Hal ini membantu mengikis pola pikir diskriminatif dari siswa pada umumnya dan pada saat yang bersamaan juga memaksa yang berkebutuhan khusus untuk beradaptasi.

Farhan dan Aya juga menyiapkan Ridzky dengan beberapa kecakapan humanis seperti  social skill, story telling, traveling, sexuality, values & norms, dan environment. Sementara itu, di rumah Farhan menyiapkan sebuah ruang kreatif bagi Ridzky untuk mengeksplorasi minatnya. Farhan berharap suatu saat nanti ia dapat mengindentifikasi minat dan kemampuan Ridzky, sehingga dapat memberikan life skill yang tepat bagi masa depan putranya ini.

Farhan dan Aya merencanakan untuk memberikan cooking skill bagi Ridzky. Namun saat ini mereka dalam tahap mengajarkan agar Ridzky dapat mengatasi rasa takutnya terhadap api atau uap panas. Tantangan lain yang mereka hadapi adalah belum menemukan tutor masak yang cocok dengan karakter Ridzky yang impulsif.

Di balik dunia media dan entertainmen yang menuntut perhatian dan fokus yang besar dari dirinya, Farhan mendedikasikan waktu dan perhatian bagi terapi Ridzky. Tidak ada ketakutan pada dirinya untuk terbuka bagi publik bahwa ia memiliki seorang putra dengan spektrum autistik. Ia membuktikan bahwa kelangsungan karirnya adalah karena kompetensi dan profesionalitasnya. 

Farhan kini menjadi Duta Autistik. Tugas ini datang dari sahabat-sahabat komunitas orang tua dengan anak-anak autistik, setelah Farhan sering mengajak mereka mengisi acara radio sepanjang tahun 2008-1011 untuk memberi edukasi dan awareness tentang autism bagi masyarakat luas.

“Saya dan sahabat saya, almarhum Jefrey Dompas, memang punya visi untuk mengedukasi dengan menggunakan pendekatan yang lebih ringan, jauh dari kesan rigid dan akademik. Contohnya adalah, kami selalu berkata - yang paling menderita dalam keluarga dengan individu autistik, bukanlah individu autistik itu sendiri, tapi orang tuanya. Kalimat yang untuk sementara orang cukup mengagetkan ini sebetulnya mengandung makna - jangan anggap spektrum autistik sebagai penderitaan, tapi justru persepsi kita yang salah tentang autistik yang membuat kita menderita!”, jelas Farhan.

Untuk menyampaikan informasi tentang autism secara fun kepada masyarakat luas, Aya juga menciptakan Au-Tees By-Ridzky. Maka hadirlah T-shirt dengan desain yang seru dan tulisan seperti AUTISTIC KIDS-ROCK! atau LOVE – PEACE – AUTISM. “Saya dan Aya ingin ada keterbukaan tanpa stigma kepada individu autistik. Tidak mudah. Dan jalan masih panjang, tapi perjalanan panjang selalu dimulai dari langkah kecil dulu. Kami tidak kecil hati, karena di Amerika Serikat (AS), yang punya sistem sosial yang lebih terbuka sekalipun, stigmasasi masih sering terjadi. Keinginan ini bermuara pada harapan, bahwa suatu hari nanti individu autistik seperti Ridzky dan teman-temannya sesama individu berkebutuhan khusus, akan punya kesempatan yang sama untuk berkarya dan berprestasi”, ungkap Farhan mengenai harapannya.

Dengan segala tantangan yang dihadapi, tak ada penyesalan sama sekali terhadap hidup yang dijalaninya. “Kalaupun saya terlahir kembali, I WANNA BE ME all over again, with knowledge & wisdom I have now, plus the eagerness to learn for the NEW ME…”, tutur Farhan dengan antusias.

Perjuangan Farhan dan Aya belum usai. Sejauh ini sikap no-compromise yang dominan telah membawa mereka melalui saat-saat sulit di awal-awal kelahiran Ridzky. Sikap optimis terhadap hidup, antusiasme yang terus mengalir, pantang menyerah dan semangat pemenang adalah modal yang luar biasa dalam diri mereka berdua untuk tetap memupuk cinta dan kebersamaan sambil menyiapkan masa depan yang terbaik bagi kedua putra mereka, Ridzky dan Bisma.
Farhan adalah Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.