Selasa, 05 Juni 2012

Menembus Batas: Cerita Tentang Penyandang Down Syndrome


Foto: http://www.shnews.co/detile-730-stephanie-handojo-wakili-indonesia.html
Respon kebanyakan orang ketika melihat penyandang sindrom Down (Down syndrome) adalah rasa iba. Anak dengan sindrom Down mengalami keterbelakangan perkembangan fisik dan mental. Sindrom Down, atau dikenal dengan Trisomy-21, merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh adanya ekstra copy material genetik pada kromosom ke-21. Nama sindrom Down diambil dari nama orang yang menjelaskan pertama kali mengenai kelainan tersebut, yaitu John Langdon Down pada tahun 1886. Kondisi itu secara klinis dijelaskan pertama kali oleh Jean Etienne Dominique Esquirol pada tahun 1838 dan oleh Edouard Seguin di tahun 1844. Sindrom Down diketahui sebagai trisomy-21 oleh Jerome Lejeune pada tahun 1959. Sindrom Down berhubungan dengan keterlambatan perkembangan kognitif dan pertumbuhan fisik (sumber: en.wikipedia.org).

Saya dapat memahami apa yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus karena sindrom Down, terutama pada saat-saat awal mengetahui hal tersebut. Dalam takaran yang sangat kecil untuk dapat dibandingkan dengan kasus sindrome Down, kami pada suatu masa juga mengalami situasi yang membuat galau. Anak kembar kami, Dickson dan Nickson, lahir dengan kondisi yang sempurna dan bertumbuh secara normal. Tahun kedua usia mereka, kami agak heran mereka belum bisa berbicara, bahkan untuk memanggil papa dan mama pun mereka tidak bisa. Mereka memahami instruksi ringan yang kami berikan, tetapi mereka tidak dapat berbicara. Mereka hanya menarik-narik lengan saya dan menunjuk-nunjuk ketika mereka menginginkan sesuatu. Kami berpikir bahwa mereka sekedar terlambat bicara saja. Namun, hingga ulang tahun ketiga mereka tetap masih belum bisa mengucapkan satu katapun. Kecuali kemampuan bicaranya, hal lainnya pada Dickson dan Nickson tidak ada yang aneh. Layaknya anak-anak seusianya, mereka selalu ceria bermain. Akhirnya, kami sepakat untuk memeriksakan Dickson dan Nickson. Kami kuatir mereka menderita autis.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Hasil pemeriksaan di RS Graha Medika (sekarang menjadi RS Siloam) di Kebun Jeruk, dan di Klinik Khusus Tumbuh Kembang (KKTK) di RS Harapan Kita Jakarta melegakan kami. Dickson dan Nickson tidak menderita autis. Walaupun ada spektrum awal dari autis namun belum dapat dikategorikan autis, bahkan yang paling ringanpun tidak. Pemeriksaan Denver Development Screening Test (DDST) pun dilakukan. Saat itu usia mereka sudah 3 tahun 2 bulan (38 bulan). Taraf kematangan perkembangan bahasa untuk Dickson terlambat 19 bulan, artinya kemampuan bahasa Dickson seperti anak usia 1 tahun 7 bulan. Sedangkan untuk Nickson, taraf kematangan perkembangan bahasanya mengalami keterlambatan 23 bulan dari usianya, atau sama dengan kemampuan bahasa anak usia 1 tahun 3 bulan. Sejak saat itu Dickson dan Nickson menjalani therapy edukasi (bicara, membaca, menulis, berhitung) secara intensif 3 kali seminggu selama 2 tahun hingga usia mereka 5 tahun. Mereka sudah mulai bisa berbicara namun masih belum terlalu lancar. Saat ini, Dickson dan Nickson akan naik ke kelas 9. Mereka berdua bertumbuh menjadi remaja yang normal, tidak ada hambatan sedikitpun dalam berbicara, mereka cerdas dan cukup berprestasi di sekolahnya.

Foto: http://radarsukabumi.com/?p=10079
Dalam banyak kasus, dukungan dan perhatian penuh dari orangtua menjadi sesuatu yang sangat membantu bagi perkembangan anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti anak dengan sindrom Down. Pendidikan, pelatihan vokasional, lingkungan keluarga yang kondusif, dan penanganan yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup anak-anak dengan sindrom Down secara signifikan, menembus batas yang ditetapkan oleh kelainan genetik. Itulah yang dilakukan oleh pasangan Santoso Handoyo dan Maria Yustina Tjandrasari ketika mengetahui anaknya, Stephanie Handoyo, menderita kelainan genetik sindrome Down. Mereka berusaha agar Fani, panggilan akrab Stephanie, tetap memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak normal pada umumnya. Yustina, memutuskan berhenti dari pekerjaannya agar dapat memberi perhatian penuh kepada Fani. Dukungan orangtua dan lingkungan serta semangat Fani mengantarkannya menjadi atlit Indonesia pertama yang berhasil meraih medali emas di Special Olympic Games XIII-2011 di Athena pada nomor renang gaya dada 50 meter. Selain bidang olahraga, Fani juga berprestasi di bidang musik. Namanya tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai penyandang sindrom Down pertama yang mampu memainkan 22 lagu tanpa berhenti dengan piano. Prestasi di bidang olahraga mengantarkan Fani menjadi salah satu anak Indonesia yang terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade XXX-2012 di London, Inggris (Kompas, 29 Mei 2012).Prestasi itu pastilah membanggakan banyak orang, terlebih jika mengetahui bahwa ada 12 juta anak di 20 negara yang dinominasikan mendapat kesempatan membawa obor olimpiade London nanti. Semangat dan dukungan orang terdekat memang menjadi modal bagi Fani untuk berprestasi. Namun, itu saja tidak cukup. Butuh kerja keras. “Saya latihan piano empat kali dalam semingu, begitu juga renang”, katanya kepada Kompas. Bahkan, untuk persiapannya sebagai pembawa obor olimpiade, Fani menambah jam latihan dari sebelumnya 1 jam menjadi 2-3 jam, dan setiap hari. Fani, penyandang sindrome Down, mampu menembus batas yang ditetapkan oleh kelainan genetik.

Foto: http://persma.com/baca/2010/04/12/anak-anak-down-syndrome-tetap-berprestasi
Selain Fani, masih banyak penyandang sindrome Down di Indonesia yang berhasil menembus batas. Sebut saja Michael Rosihan Yacub, yang dicatat oleh MURI sebagai atlit golf penyandang sindrom Down satu-satunya di Asia









Foto: http://titiana-adinda.blogspot.com/2009/07/reviera-anak-down-syndrome-juara-renang.html
Lainnya, adalah Reviera Novitasari yang mendapat medali perunggu renang 100 meter gaya dada pada kejuaraan renang internasional di Canberra, Australia, 11-13 April 2008.

Foto: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2011/03/16/3139
Samuel Santoso, mampu menggelar pameran lukisan tunggal. Pameran lukisan yang digelar untuk merayakan hari Down Syndrome Internasional, yang jatuh pada tanggal 21 Maret, juga sekaligus mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai pameran tunggal lukisan pertama yang digelar oleh anak berkebutuhan khusus (Down Syndrome). Dalam pameran itu, Samuel menggelar 50 karya lukisnya dari berbagai aliran. Dari lukisan bertema surealis, hingga realis yang dibuatnya dari bahan cat minyak di atas kanvas. Menurut Djoni Santoso dan Lina Suarny, orang tua Samuel, putranya menghasilkan sejumlah lukisan itu terhitung sejak tahun 2007 hingga 2010 (http://suaramerdeka.com).

Kelainan genetik yang dialami para penyandang sindrom Down merupakan kondisi yang sesungguhnya tidak pernah diharapkan namun tidak dapat ditolak atau diubah. Namun, semangat, dukungan orang-orang sekitar, dan kerja keras mereka mampu menembus batas-batas yang ada. Mereka adalah Sang Pemenang. Prestasi mereka menjadi inspirasi dan pemicu semangat bagi para penyandang sindrome Down lainnya, juga bagi banyak orang yang dikaruniai kondisi yang normal. Bagaimana dengan Anda?

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar