Minggu, 29 April 2012

Hidupnya Tinggal Tiga Hari


Adalah seorang eksekutif muda dan sukses, sebut saja namanya Andrew. Segala simbol kesuksesan yang kita bayangkan sudah dimilikinya. Istri yang baik, anak-anak yang lucu, rumah dengan segala isinya serta mobil yang berderet. Namun, hidupnya terasa kering dan tidak bahagia. Andrew merasa istrinya terlalu cerewet, setiap pagi selalu mengingatkan dia untuk tidak lupa sarapan, setiap siang BBM (BlackBerry Messenger) istrinya selalu mengingatkannya untuk tidak lupa makan, dan minum supplemen. Andrew merasa anaknya yang sulung terlalu menuntut, merajuk minta ditemani saat akan tampil dalam acara di sekolah. Ketika dengan semangat anak-anaknya menceritakan kejadian-kejadian di sekolah bersama teman-temannya, Andrew merasa anak-anaknya terlalu mengganggunya, menyita waktu istirahatnya. Andrew merasa para pemegang saham perusahaan tempat dia bekerja terlalu menuntut. Andrew merasa staffnya di kantor selalu tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Dia merasa selalu jadi bahan gunjingan staffnya di kantor. Dia merasa semua karyawannya mengkorupsi waktu kerja sehingga pekerjaan menjadi terbengkalai. Dia merasa tetangga-tetangganya sinis karena iri atas keberhasilan dia. Dia merasa berada pada lingkungan yang tidak mampu membuat dia bahagia. Dia merasa sia-sia dan putus harapan, karena hubungan dengan istri menjadi kering, hubungan dengan anak-anak selalu tegang, hubungan dengan tetangga pun sama saja, hubungan dengan para pemegang saham dan staf di kantor sangat menekan dia. Dalam perasaan kesia-siaan Andrew memutuskan untuk menyudahi hidupnya, tetapi dia ingin dengan cara yang  tidak menyakitkan. Dia tidak mau menggantung dirinya, dia tidak ingin memutus urat nadinya, dia tidak ingin menusuk jantungnya dengan pisau. Andrew ingin cara mati yang perlahan dan tidak terasa.

Akhirnya, Andrew datang berkonsultasi kepada seorang “Guru”. Dia ceritakan semua persoalannya, dan keinginannya mati secara perlahan dan tidak menyakitkan. Sang “Guru” hanya menanyakan satu pertanyaan, "Apakah sudah bulat dengan keinginan kamu, Nak?" Dengan mantap Andrew menjawab, "Ya". Tapi sang “Guru” menyuruh dia untuk pulang dan memikirkannya matang-matang dalam waktu tiga hari, setelah itu Andrew diminta datang kembali. Tiga hari kemudian, Andrew kembali datang menemui sang “Guru”, dan menyatakan kebulatan tekadnya. Akhirnya sang “Guru” memberikan sebotol cairan kepada dia untuk diminum selama tiga hari berturut-turut. “Pada hari ketiga keinginan kamu untuk meninggal tanpa rasa sakit akan terpenuhi”, demikian ujar sang “Guru”. Malam di hari pertama, Andrew meminum 1/3 cairan yang diberikan sang “Guru”. Dia merenung, dan merasa sedikit tenang membayangkan penderitaannya akan segera berakhir. Akhirnya malam itu dia tertidur dengan nyenyak. Malam di hari kedua, Andrew kembali meminum 1/3 cairan itu. Dia kembali merenung, dan merasa lebih tenang dibanding kemarin. Dia tersenyum dalam hati membayangkan besok adalah hari terakhir dia hidup. Hari terakhir dia merasakan penderitaan batinnya. Sebelum dia terlelap, dia memutuskan untuk berbuat yang terbaik bagi istrinya, bagi anak-anaknya, bagi tetangganya, bagi stafnya, bagi semua orang dalam lingkungannya hanya sekali saja sebelum nantinya dia benar-benar mati. Dan satu-satunya kesempatan itu adalah besok.

Andrew terbangun pada pagi harinya, dan merasakan hatinya begitu ceria. Dia keluar dari kamar tidur dan melihat istrinya sedang menyiapkan sarapan pagi. Dia menghampiri istrinya, memeluknya dan mengecup kening istrinya, seraya menyapanya, “Selamat pagi, sayang. Aku sangat mencintai kamu, dik”, bisiknya di telinga istrinya. Istrinya terkejut dan keheranan, namun merasakan kebahagiaan yang sangat indah. Seperti hari-hari sebelumnya, istrinya melayani dia dengan penuh kasih. Ketika anak-anaknya hadir menghampiri meja makan, Andrew melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya. Anak-anaknya pun terkejut dan keheranan, namun rasa senang segera menghapus keterkejutan anak-anaknya dan berganti dengan keriangan dan semangat yang pada hari-hari sebelumnya telah lama menghilang. Andrew pergi ke kantor dengan perasan yang berbeda. Sepanjang perjalanan dia berpikir mengapa baru hari ini dia merasakan perasaan yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dia merasakan istri dan anak-anaknya begitu mencintai dia. Perasaaan yang telah lama hilang dari dirinya. Begitu turun dari mobil dia menyapa petugas satpam yg menyambutnya. Satpam yang terselimut rasa heran atas perubahan sikap Andrew dengan sigap memberi hormat dan tersenyum kepada Andrew sama seperti hari-hari sebelumnya. Demikian pula staf Andrew. Dan kembali Andrew merasa heran mengapa hari itu perasaanya berbeda? Mengapa stafnya menjadi begitu baik? Apa yang terjadi????

Sore, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah, dia kembali merenung mengapa semua orang dalam lingkaran kehidupannya hari itu begitu tampak baik, sayang, dan hormat  kepada dia, padahal hari itu dia hanya ingin melakukan hal-hal baik kepada mereka semua karena hari itu adalah hari terakhir dia hidup. Besok dia akan meninggalkan semuanya dengan tenang. Dalam kekhusukannya dia merenung tiba-tiba dia merasa begitu indahnya hidup ini. Dia merasa sayang meninggalkan keluarganya. Dia merasa sayang meninggalkan semua orang dalam lingkaran kehidupannya. Tapi......bagaimana?? Hidupnya tinggal hari itu. Cairan di botol tinggal sepertiganya, tenggakkan terakhir sebelum hidupnya berakhir.Dengan seketika, Andrew meminta sopirnya memutar arah menuju rumah sang “Guru”. Dia ceritakan semua yang dialami selama tiga hari ini dan memohon kepada sang “Guru” untuk menetralkan dua pertiga cairan yg sudah dia minum. Sang “Guru” kembali bertanya kapada Andrew, "Apakah sudah bulat dengan keinginan kamu, Nak?" Dengan mantap Andrew menjawab, "Ya". "Baiklah", kata sang “Guru”, "Kamu tidak butuh apa-apa dari saya karena cairan yang saya berikan hanyalah air minum biasa. Yang kamu butuhkan adalah sikap seperti yang kamu tunjukkan pada hari ini. Pulanglah dan nikmati hari-hari indahmu seperti hari ini", tutup sang “Guru” seraya masuk ke dalam meninggalkan Andrew.

Sebagian dari kita mungkin mengalami situasi mirip Andrew. Kita merasa lingkungan kita, lingkungan keluarga di rumah dan di tempat kerja ataupun lingkungan lainnya, begitu menekan, selalu membuat kita jengkel dan memicu amarah kita. Kita mengharapkan orang-orang di lingkungan kita memahami kita dan mau berubah sesuai dengan keinginan kita. Tapi, kenyataannya adalah bahwa Anda tidak dapat mengubah orang-orang dalam lingkungan hidup Anda, sekalipun itu adalah suami / istri atau anak-anak Anda. Semakin keras Anda berusaha mengubah mereka maka Anda akan semakin merasa tertekan, bahkan depresi. Perubahan selalu dimulai dari diri kita, karena hanya kitalah yang bisa mengubah diri kita. Jadi, jika Anda mau orang-orang di lingkungan hidup Anda berubah, ubahlah dulu diri kita. Sang Pemenang hidup seakan-akan hari ini adalah hari terakhirnya, sehingga dia akan bersikap baik dan bertindak dengan benar hari ini, bukan esok. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hari esok. Mungkin esok kita sudah tidak punya kesempatan lagi.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar