Rabu, 19 Desember 2012

Sang Legenda Tupperware Indonesia: “Saya Benci Kemiskinan”


Suatu petang di bulan puasa yang lalu, saya bergegas berjalan menuju sebuah meja di sebuah kafe hotel di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Dari kejauhan saya sudah bisa melihat sosok paruh baya yang bersahaja menunggu kedatangan saya. Sesaat kemudian kami sudah duduk bersama dan mulai membuka obrolan. Sosok yang hangat itu adalah Nur Kuntjoro, Sang Legenda Tupperware Indonesia, demikian saya menyebut beliau.
Tupperware Indonesia merupakan perusahaan direct selling terbesar di Indonesia. Pendapatan tahun 2011 mencapai Rp 3 triliun, dan tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp 4 triliun. Kisah beliau yang sukses melakukan turn-around perusahaan direct selling terbesar di Indonesia, dari posisi merugi selama enam tahun berturut-turut menjadi untung dalam waktu 18 bulan sudah banyak diulas oleh berbagai media. Namun, kisah masa kecilnya dan perjalanan hidupnya yang membentuk dirinya seperti sekarang ini belum banyak ditemui di berbagai tulisan. Sambil menikmati makan malam kami asyik mengobrol tentang perjalanan hidupnya.

Masa Kecil Yang Sulit
Nur Kuntjoro, lahir di bulan September 1946 di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, dekat kota Solo. Beliau merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Keluarganya sangat sederhana, kalau tidak dikatakan miskin. Ayahnya adalah perwira militer yang mengepalai Rumah Sakit Angkatan Darat di Solo. Situasi Indonesia tahun 1962-1964 sangatlah sulit. Makan nasi saat itu merupakan suatu kemewahan. Nur dan keluarganya hanya bisa makan bulgur (sejenis makanan untuk kuda) dicampur jagung. Terlebih lagi ayahnya adalah sosok yang sangat jujur dan memiliki integritas tinggi. Ayahnya tidak pernah berkompromi jika terkait hal kejujuran. Bahkan, hanya untuk  perkara baju seragam. Ayahnya merupakan satu dari sedikit  tentara yang mengembalikan seragamnya saat pensiun. Ayahnya berpendapat bahwa setelah pensiun dia sudah tidak berhak menyimpan seragam. Nur Kuntjoro memegang prinsip ayahnya hingga saat ini. Bagi dia kepercayaan hanya ada di dua titik ekstrim, yaitu 0% atau 100%. Dalam kamus hidupnya, tidak ada kepercayaan yang separuh-separuh.   
Ketika Nur naik ke kelas dua SMA, ayahnya sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya. Saat itu teman sekolahnya menawarkan Nur apakah mau ikut tinggal bersama paman dan bibinya, dan bersekolah di Bandung asalkan Nur mau bantu-bantu pekerjaan bibinya di rumah. Dalam benak Nur saat itu, sepanjang dia masih bisa bersekolah kenapa harus ditolak? Sejak saat itu Nur tinggal dan bersekolah di Bandung.
Sambil bersekolah, Nur membantu pekerjaan rumah tangga di rumah paman dan bibi temannya. Di rumah itu, anak-anak paman dan bibi temannya masih kecil-kecil. Nur membantu mengepel, mencuci, dan juga memasak. Bahkan, ada satu kejadian yang tidak akan pernah dilupakan Nur. Suatu ketika bibi temannya melahirkan putri ketiga. Pada masa itu sanitary napkin belum populer sehingga bagi wanita yang melahirkan biasanya menggunakan kain sebagai sanitary napkin, yang disebut duk. Bibi temannya termasuk orang yang fisiknya kurang kuat dan harus banyak bed rest, sehingga tanpa pikir panjang Nur mengambil inisiatif mencuci duk tersebut. Bibi temannya mencegah karena menurut kepercayaan anak laki-laki pamali jika mencuci duk. Tapi, Nur tidak peduli. Apa yang dilakukan Nur membuat bibi temannya sangat terharu, sehingga sejak saat itu Nur diangkat sebagai anak mereka, menjadi saudara tertua bagi anak-anak mereka.
Lulus SMA, Nur melanjutkan kuliah ke Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Namun, semasa kuliah di Yogya beliau menggeluti bidang jurnalistik yang sudah dilakukan sejak masih SMA di Solo. Untuk menambah uang saku, beliau bekerja sebagai redaktur pelaksana Mingguan Angkatan Bersenjata. Pekerjaan sebagai redaktur pelaksana didapatnya karena semasa tinggal di Solo beliau adalah koresponden mingguan tersebut.   
 
Membenci Kemiskinan
Jika dari ayahnya, Nur Kuntjoro belajar tentang integritas dan kejujuran maka dari ibunya beliau belajar tentang kesetiaan kepada keluarga. Ibunya adalah ibu rumah tangga yang dengan setia melayani suami dan kesepuluh anak-anaknya. Kesetiaan pada keluarga yang ditunjukkan sosok ibunya sangat membekas pada diri Nur Kuntjoro.
“Ibu tidak pernah tidur sebelum anak-anaknya tidur”, ujar Nur. “Masalahnya anak-anak tidak bisa tidur karena perut mereka kosong”, tambahnya.
Nur dan saudara-saudaranya tidak pernah kenyang makan bubur. Ayah dan ibunya sangat miskin. Gaji ayahnya hanya cukup untuk makan nasi plus garam. Ayahnya berprinsip bahwa hidup harus disesuaikan dengan apa yang ada. Jika tidak bisa makan nasi dan lauk, ya makan saja nasinya. Jika tidak bisa makan tiga kali sehari, ya buat untuk cukup makan dua kali sehari. Jika tidak bisa makan dua kali sehari, ya cukup makan sekali saja. Jika tidak cukup untuk makan nasi, ya makan bubur. Tetapi, ibunya tidak tega melihat anak-anaknya tidak makan. Alhasil ibunya memiliki banyak hutang. Rentenir sering mendatangi rumahnya untuk menagih hutang. Saat itu Nur sudah tinggal bersama orang tua angkatnya di bandung.
Di suatu malam, ibunya dengan menggendong adiknya yang baru berusia tujuh bulan berjalan menyusuri rel kereta api. Tujuannya adalah ke Bandung menemui Nur Kuntjoro. Berhubung tidak ada uang maka ibunya berjalan kaki. Ketika tiba di Delanggu, petugas PT KAI (Kereta Api Indonesia), dulu masih bernama PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), sangat terkejut melihat seorang ibu dan anaknya yang masih bayi malam-malam berjalan di rel kereta api.
“Ibu mau kemana?”, tanya petugas PJKA seperti yang diceritakan oleh Nur Kuntjoro.
            “Saya mau ke Bandung menemui anak saya”, jawab ibunya kala itu.
            “Lho, Bandung itu jauh sekali dari sini”, kata petugas itu.
“Tidak apa. Kalau saya terus berjalan mengikuti rel kereta api maka suatu saat saya pasti tiba di Bandung”, jelas ibunya.
Iba dengan kondisi ibunya, petugas PJKA tersebut kemudian membantu mengarahkan ibunya untuk naik kereta jurusan Yogya dan seterusnya hingga tiba di Bandung.    
          Ketika melihat ibu dan adiknya yang masih bayi tiba di depan pintu rumah orangtua angkatnya, Nur tidak mampu menahan rasa harunya.
“Saya sayang pada ibu melebihi rasa sayang pada diri sendiri”, ucap beliau. Matanya berkaca-kaca ketika beliau menceritakan bagian ini.     
Kehidupan yang susah semasa kecilnya membuat Nur Kuntjoro sangat membenci kemiskinan.
“Kemiskinan sunguh sangat tidak menyenangkan”, tegasnya.

Jadi Kondektur Bus
Suatu ketika, Nur Kuntjoro diminta ibu angkatnya untuk mengantar adik angkatnya ke Jakarta. Selesai mengantar adik angkatnya, alih-alih pulang beliau malah tetap tinggal di Jakarta. Sempat “menggelandang” di Jakarta hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai kondektur bus. Kehidupan sebagai supir dan kondektur adalah kehidupan yang keras. Tapi, tekadnya begitu kuat untuk membawa keluarganya keluar dari kemiskinan.
Walaupun hanya tiga bulan bekerja sebagai kondektur bus, tapi ada dua kejadian yang mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Suatu saat, ketika Nur sedang memungut bayaran ongkos kepada para penumpang, ada seorang anak sekolah kebingungan karena lupa membawa dompet. Nur Kuntjoro sudah terbiasa dengan ulah penumpang yang pura-pura seperti itu agar tidak perlu membayar ongkos.
“Baik, kali ini kamu boleh tidak bayar. Tetapi, lain kali jika naik bus ini lagi kamu harus membayar ongkos yang hari ini”, kata Nur kepada anak sekolah itu.
Keesokan harinya anak sekolah itu kembali naik bus yang sama. Dan anak sekolah itu benar-benar membayar ongkos hari itu dan hari kemarinnya.
“Anak sekolah itu adalah nenek dari cucu-cucu saya”, Nur Kuntjoro menjelaskan sambil tertawa lepas. Itulah kejadian pertama.
Kejadian kedua mirip dengan kejadian pertama. Seorang penumpang pria berjaket kuning sepertinya tidak mau membayar ongkos.
“Saya mau membayar, tapi jawab dulu pertanyaan saya”, kata penumpang tersebut. “Anda adalah Anton Chekov, bukan?. Masih mau menulis?”, lanjut pria itu bertanya.
Anton Chekov adalah penulis Rusia yang anti komunis. Terjemahan Nur Kuntjoro atas tulisan-tulisan Anton Chekov yang dimuat di Mingguan Angkatan Bersenjata saat kuliah di Yogya membuatnya dikenal sebagai anton chekov-nya Indonesia.
Alhasil Nur Kuntjoro kemudian bekerja di Pusat Hubungan Masyarakat Angkatan Udara, menerbitkan mingguan Angkasa, kembali ke dunia jurnalistik. Nur Kuntjoro mendapat tempat tinggal di mess AURI, makan teratur, tidur teratur, hidup teratur lagi dan meninggalkan kehidupan jalanan.
Masa itu Nur Kuntjoro menekuni bidang jurnalistik.
Suatu ketika Mochtar Lubis menawarkan beliau untuk bekerja di harian Indonesia Raya. Nur mengenal Mochtar Lubis ketika menjadi asisten sutradara pada film yang mengangkat cerita tentang Mochtar Lubis. Tawaran itu diterima sepanjang dia bisa mendapat penghasilan yang lebih baik, karena beliau sangat ingin bisa keluar dari kemiskinan. Di harian Indonesia Raya, sebagai Advertising Manager Nur bertugas mencari iklan. Harian Indonesia Raya berkembang pesat hingga terjadi Peristiwa Malari 1974. Harian Indonesia Raya dibreidel. Itulah akhir cerita kiprah Nur Kuntjoro di bidang jurnalistik.

Meniti Karir Profesional
Selesai di harian Indonesia Raya, Nur Kuntjoro sempat bekerja di Caltex, di Rumbai, Pakanbaru. Hanya bertahan tiga bulan, karena rindu pada sang pacar mengalahkan keinginannya bekerja di Pakanbaru. Nur kembali ke Jakarta. Waktu itu Nur sering main ke Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen (LPPM). Saat itu pimpinan PT Binaman Utama adalah Winoto Duriat. Berhubung Nur menguasai bahasa Inggris, dia diperbolehkan tinggal di mess dan mengikuti kelas-kelas pelatihan yang diadakan di LPPM.
Kesempatan datang ketika Nur Kuntjoro ditawari bekerja di perusahaan asing Singer Sewing Machine Company, sebuah perusahaan mesin jahit. Walaupun sebelumnya Nur pernah menjadi Advertising Manager, namun di Singer dia harus memulai sebagai seorang salesman. Pekerjaan itu dijalaninya dengan suka cita. Kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil menjadi Salesman of The Year.
Tahun 1978, Nur Kuntjoro pindah dari Singer ke Union Carbide. Namun, sekitar tahun 80-an kembali lagi ke Singer. Kembali ke Singer, beliau melakukan program quantum leap di bidang penjualan dalam rangka 100 tahun Singer. Penjualan melesat dan beliau mendapat ganjaran sebuah tiket ke New Orlean. Itulah pertama kali beliau pergi ke luar negeri.
Dari Singer, beliau pindah ke Johnson & Johnson sebagai Marketing Manager. Atasannya adalah orang India. Dari atasannya itulah Nur Kuntjoro mengenal istilah turn-around. Ketika bekerja di Johnson & Johnson Nur Kuntjoro dan beberapa rekan kerjanya mendapat kesempatan dikirim sekolah ke Asian Institute of Managament (AIM) di Filipina untuk mengambil program Master of Business Management (MBM). Kerja kerasnya berbuah manis. Beliau berhasil lulus dengan prestasi kedua terbaik. Biasanya setelah lulus karyawan akan mendapatkan promosi ke jenjang berikutnya. Dan memang teman-temannya mendapat promosi, tapi tidak dengan Nur Kuntjoro. Beliau tidak naik pangkat walau pun gajinya naik. Tidak bisa menerima perlakuan yang dirasakan tidak adil, saat itu juga beliau mengundurkan diri. Itu terjadi pada tahun 1988.
Ketika kuliah di Filipina, Nur Kuntjoro mengenal seorang Filipina yang bekerja di Avon, yang kemudian membawanya bekerja di Avon Indonesia. Selanjutnya Nur Kuntjoro menjadi Managing Director Sara Lee, memegang House of Sara Lee dan Sara Lee Personalcare Products.

Tupperware Indonesia
Nur Kuntjoro masih menikmati karirnya yang mapan di Sara Lee, hingga suatu ketika Rick Goings, yang saat itu (hingga saat ini) adalah CEO Tupperware Worldwide, menghubunginya. Rick mengenal Nur Kuntjoro ketika sama-sama bekerja di Avon dan Sara Lee. Ketika di Avon, Rick adalah President Pacific Rim dan Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Demikian pula ketika di Sara Lee, Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Jadi, ketika Tupperware Indonesia memerlukan pemimpin, Rick meminta Bob Williams, President Tupperware Asia Pacific menghubungi Nur. Rick menawarkan posisi tertinggi di Tupperware Indonesia, yaitu Chief Operating Officer (COO). Saat itu Nur menolak, karena merasa karirnya di Sara Lee sudah mapan.
“Ok. Tidak apa. Saya akan melihat Anda mati di comfort zone Anda”, kata Rick kala itu.
Kata-kata Rick Goings terus terngiang-ngiang di kepala Nur Kuntjoro. Dan Rick Goings pun tidak berhenti hanya sekali saja membujuk Nur Kuntjoro. Perlu waktu delapan bulan hingga akhirnya Nur Kuntjoro tergelitik juga dengan tantangan Rick Goings.
“Tapi, tantangan di Tupperware Indonesia tidak ringan lho”, kata Rick. Saat itu Nur Kuntjoro justru jadi tertantang.
Dan ketika Nur Kuntjoro masuk ke Tupperware Indonesia ternyata persoalan yang ada jauh lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Antar bagian selalu ribut dan berkelahi. Human Resources (HR) acak-acakan. Keuangan perusahaan selama 7 tahun berdarah-darah. Kondisinya benar-benar hancur-hancuran. Dan kondisi itu ada saat Indonesia menghadapi krisis moneter 1998. Dan manajemen pusat hanya memberi dua pilihan, yaitu melipatgandakan kinerja perusahaan atau Tupperware Indonesia ditutup.
Pada situasi seperti itu, mungkin dapat dipahami jika Nur Kuntjoro menyerah. Tapi, Nur Kuntjoro tidak mengenal kata menyerah. No-compromise, tidak ada kompromi. Dia sudah membakar kapalnya, sama seperti yang dilakukan Julius Caesar yang memimpin pasukan Romawi menyerbu untuk merebut dan menduduki kerajaan Inggris Raya. Ketika mendarat di kepulauan Britania, Julius Caesar memerintahkan ratusan kapal perang yang mengangkut dia dan pasukan semuanya dibakar. Tekadnya cuma satu, meraih kemenangan atau menjemput kematian.
Vini Vidi Vici. Saya datang, saya berjuang, dan saya menang. Nur Kuntjoro menggunakan motto Julius Caesar yang terkenal itu untuk membenahi Tupperware Indonesia. Dia meyakini semboyan Brownie Wise, pencetus party selling Tupperware, “build people then people will build the business”. Semboyan itulah yang digunakan untuk mengurai benang kusut dalam persoalan Tupperware Indonesia saat itu.
Kepiawaian Nur Kuntjoro yang sarat pengalaman dan serangkaian strategi yang disusun bersama timnya mampu membangkitkan semangat dan menggerakkan seluruh elemen dalam bisnis Tupperware Indonesia untuk bersama-sama memperbaiki keadaan. Hasilnya, dalam waktu 18 bulan Nur Kuntjoro mampu mengubah Tupperware Indonesia yang selama enam tahun berturut-turut merugi menjadi untung. Penjualan meningkat 222%. Dan selama delapan tahun (1998-2006) beliau memimpin Tupperware Indonesia, penjualan meningkat delapan kali dan tidak pernah merugi.

Ibadah Selanjutnya
Nur Kuntjoro berprinsip pada hari pertama menjabat sebagai pemimpin maka dia sudah harus mencarikan pengganti dirinya. Demikian juga di Tupperware Indonesia. Pada tahun 2001, saat itu usianya mencapai 55 tahun, beliau minta pensiun. Namun, permohonannya baru dikabulkan pada tahun 2005. Itu pun dia masih diminta satu tahun lagi menjadi konsultan dan mentor mendampingi penggantinya, Nining W. Pernama. Tahun 2006 barulah Nur Kuntjoro bisa benar-benar melepaskan diri dari Tupperware Indonesia.
Beliau telah menggapai mimpinya keluar dari kemiskinan. Beliau juga telah berhasil membantu adik-adiknya bersekolah. Beliau bersama istrinya mendahulukan pemenuhan kebutuhan orangtua mereka atas rumah. Setelah mereka mampu membelikan rumah untuk kedua orangtua mereka barulah mereka membeli rumah untuk mereka. Semua itu beliau perjuangkan tanpa kompromi. Beliau tidak berkompromi dengan kemiskinan.
Setelah pensiun dari Tupperware Indonesia sesungguhnya Nur Kuntjoro sudah tidak perlu bekerja lagi, karena secara materi Nur sudah sangat berkecukupan. Adik-adiknya pun sudah mandiri dan sukses. Tapi, Nur Kuntjoro sadar perjalanan Sang Pemenang adalah perjalanan tidak berujung hingga Tuhan memanggil pulang. Beliau terus melanjutkan perjalanannya. Mimpinya saat ini bukan untuk pemenuhan kehidupan jasmani, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan jiwanya. Apa yang dia lakukan sekarang adalah membantu perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan turn-around, profit improvement, quantum leap, dan menikmati sustainable growth melalui perusahaannya, Quantum Consulting.
Dalam usianya saat ini yang telah mencapai 66 tahun, Nur Kuntjoro masih terus berkarya. No-compromise. Usia bagi beliau bukan halangan untuk terus berkarya. Nur Kuntjoro adalah Sang Pemenang sejati.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.

2 komentar:

  1. Saya sangat terkesan dengan sosok dan perjuangan hidup beliau,semoga TUHAN berkenan mempertemukan beliau dengan saya dalam keadaan sehat wal'afiat,dan semoga beliau menjadi spirit buat hidup saya ke depannya,amin

    BalasHapus
  2. Rip buat sang legend bagi kluargany..smoga Amal kebaikanny dterima Alloh SWT ..Aamiin

    BalasHapus