Suatu
petang di bulan puasa yang lalu, saya bergegas berjalan menuju sebuah meja di
sebuah kafe hotel di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Dari kejauhan saya sudah
bisa melihat sosok paruh baya yang bersahaja menunggu kedatangan saya. Sesaat
kemudian kami sudah duduk bersama dan mulai membuka obrolan. Sosok yang hangat
itu adalah Nur Kuntjoro, Sang Legenda Tupperware Indonesia, demikian
saya menyebut beliau.
Tupperware Indonesia merupakan
perusahaan direct selling terbesar di
Indonesia. Pendapatan tahun 2011 mencapai Rp 3 triliun, dan tahun 2012
diperkirakan mencapai Rp 4 triliun. Kisah beliau yang sukses melakukan turn-around perusahaan direct selling terbesar di Indonesia,
dari posisi merugi selama enam tahun berturut-turut menjadi untung dalam waktu
18 bulan sudah banyak diulas oleh berbagai media. Namun, kisah masa kecilnya
dan perjalanan hidupnya yang membentuk dirinya seperti sekarang ini belum
banyak ditemui di berbagai tulisan. Sambil menikmati makan malam kami asyik
mengobrol tentang perjalanan hidupnya.
Masa Kecil Yang Sulit
Nur Kuntjoro,
lahir di bulan September 1946 di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, dekat kota
Solo. Beliau merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Keluarganya sangat
sederhana, kalau tidak dikatakan miskin. Ayahnya adalah perwira militer yang
mengepalai Rumah Sakit Angkatan Darat di Solo. Situasi Indonesia tahun 1962-1964
sangatlah sulit. Makan nasi saat itu merupakan suatu kemewahan. Nur dan
keluarganya hanya bisa makan bulgur
(sejenis makanan untuk kuda) dicampur jagung. Terlebih lagi ayahnya adalah
sosok yang sangat jujur dan memiliki integritas tinggi. Ayahnya tidak pernah
berkompromi jika terkait hal kejujuran. Bahkan, hanya untuk perkara baju seragam. Ayahnya merupakan satu
dari sedikit tentara yang mengembalikan
seragamnya saat pensiun. Ayahnya berpendapat bahwa setelah pensiun dia sudah
tidak berhak menyimpan seragam. Nur Kuntjoro memegang prinsip ayahnya hingga
saat ini. Bagi dia kepercayaan hanya ada di dua titik ekstrim, yaitu 0% atau
100%. Dalam kamus hidupnya, tidak ada kepercayaan yang separuh-separuh.
Ketika Nur naik ke kelas dua SMA, ayahnya sudah tidak sanggup lagi
membiayai sekolahnya. Saat itu teman sekolahnya menawarkan Nur apakah mau ikut
tinggal bersama paman dan bibinya, dan bersekolah di Bandung asalkan Nur mau
bantu-bantu pekerjaan bibinya di rumah. Dalam benak Nur saat itu, sepanjang dia
masih bisa bersekolah kenapa harus ditolak? Sejak saat itu Nur tinggal dan
bersekolah di Bandung.
Sambil bersekolah, Nur membantu pekerjaan rumah tangga di rumah paman dan
bibi temannya. Di rumah itu, anak-anak paman dan bibi temannya masih
kecil-kecil. Nur membantu mengepel, mencuci, dan juga memasak. Bahkan, ada satu
kejadian yang tidak akan pernah dilupakan Nur. Suatu ketika bibi temannya
melahirkan putri ketiga. Pada masa itu sanitary
napkin belum populer sehingga bagi wanita yang melahirkan biasanya
menggunakan kain sebagai sanitary napkin,
yang disebut duk. Bibi temannya
termasuk orang yang fisiknya kurang kuat dan harus banyak bed rest, sehingga tanpa pikir panjang Nur mengambil inisiatif
mencuci duk tersebut. Bibi temannya
mencegah karena menurut kepercayaan anak laki-laki pamali jika mencuci duk.
Tapi, Nur tidak peduli. Apa yang dilakukan Nur membuat bibi temannya sangat
terharu, sehingga sejak saat itu Nur diangkat sebagai anak mereka, menjadi
saudara tertua bagi anak-anak mereka.
Lulus SMA, Nur melanjutkan kuliah ke Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada. Namun, semasa kuliah di Yogya beliau menggeluti bidang jurnalistik yang
sudah dilakukan sejak masih SMA di Solo. Untuk menambah uang saku, beliau bekerja
sebagai redaktur pelaksana Mingguan Angkatan Bersenjata. Pekerjaan sebagai
redaktur pelaksana didapatnya karena semasa tinggal di Solo beliau adalah
koresponden mingguan tersebut.
Membenci Kemiskinan
Jika dari
ayahnya, Nur Kuntjoro belajar tentang integritas dan kejujuran maka dari ibunya
beliau belajar tentang kesetiaan kepada keluarga. Ibunya adalah ibu rumah
tangga yang dengan setia melayani suami dan kesepuluh anak-anaknya. Kesetiaan
pada keluarga yang ditunjukkan sosok ibunya sangat membekas pada diri Nur
Kuntjoro.
“Ibu tidak pernah tidur sebelum
anak-anaknya tidur”, ujar Nur. “Masalahnya
anak-anak tidak bisa tidur karena perut mereka kosong”, tambahnya.
Nur dan saudara-saudaranya tidak pernah kenyang makan bubur. Ayah dan
ibunya sangat miskin. Gaji ayahnya hanya cukup untuk makan nasi plus garam.
Ayahnya berprinsip bahwa hidup harus disesuaikan dengan apa yang ada. Jika
tidak bisa makan nasi dan lauk, ya makan saja nasinya. Jika tidak bisa makan
tiga kali sehari, ya buat untuk cukup makan dua kali sehari. Jika tidak bisa
makan dua kali sehari, ya cukup makan sekali saja. Jika tidak cukup untuk makan
nasi, ya makan bubur. Tetapi, ibunya tidak tega melihat anak-anaknya tidak
makan. Alhasil ibunya memiliki banyak hutang. Rentenir sering mendatangi
rumahnya untuk menagih hutang. Saat itu Nur sudah tinggal bersama orang tua
angkatnya di bandung.
Di suatu malam, ibunya dengan menggendong adiknya yang baru berusia tujuh
bulan berjalan menyusuri rel kereta api. Tujuannya adalah ke Bandung menemui
Nur Kuntjoro. Berhubung tidak ada uang maka ibunya berjalan kaki. Ketika tiba
di Delanggu, petugas PT KAI (Kereta Api Indonesia), dulu masih bernama PJKA
(Perusahaan Jawatan Kereta Api), sangat terkejut melihat seorang ibu dan
anaknya yang masih bayi malam-malam berjalan di rel kereta api.
“Ibu mau kemana?”, tanya petugas PJKA seperti yang diceritakan oleh
Nur Kuntjoro.
“Saya mau ke Bandung menemui anak saya”, jawab ibunya kala itu.
“Lho, Bandung itu jauh sekali dari sini”, kata petugas itu.
“Tidak apa. Kalau saya terus
berjalan mengikuti rel kereta api maka suatu saat saya pasti tiba di Bandung”,
jelas ibunya.
Iba dengan
kondisi ibunya, petugas PJKA tersebut kemudian membantu mengarahkan ibunya
untuk naik kereta jurusan Yogya dan seterusnya hingga tiba di Bandung.
Ketika melihat ibu dan adiknya
yang masih bayi tiba di depan pintu rumah orangtua angkatnya, Nur tidak mampu
menahan rasa harunya.
“Saya sayang pada ibu melebihi rasa
sayang pada diri sendiri”, ucap beliau. Matanya berkaca-kaca ketika beliau
menceritakan bagian ini.
Kehidupan
yang susah semasa kecilnya membuat Nur Kuntjoro sangat membenci kemiskinan.
“Kemiskinan sunguh sangat tidak
menyenangkan”, tegasnya.
Jadi Kondektur Bus
Suatu ketika,
Nur Kuntjoro diminta ibu angkatnya untuk mengantar adik angkatnya ke Jakarta.
Selesai mengantar adik angkatnya, alih-alih pulang beliau malah tetap tinggal
di Jakarta. Sempat “menggelandang” di Jakarta hingga akhirnya mendapat
pekerjaan sebagai kondektur bus. Kehidupan sebagai supir dan kondektur adalah
kehidupan yang keras. Tapi, tekadnya begitu kuat untuk membawa keluarganya
keluar dari kemiskinan.
Walaupun hanya tiga bulan bekerja sebagai kondektur bus, tapi ada dua
kejadian yang mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Suatu saat, ketika Nur
sedang memungut bayaran ongkos kepada para penumpang, ada seorang anak sekolah
kebingungan karena lupa membawa dompet. Nur Kuntjoro sudah terbiasa dengan ulah
penumpang yang pura-pura seperti itu agar tidak perlu membayar ongkos.
“Baik, kali ini kamu boleh tidak
bayar. Tetapi, lain kali jika naik bus ini lagi kamu harus membayar ongkos yang
hari ini”, kata Nur kepada anak sekolah itu.
Keesokan
harinya anak sekolah itu kembali naik bus yang sama. Dan anak sekolah itu
benar-benar membayar ongkos hari itu dan hari kemarinnya.
“Anak sekolah itu adalah nenek dari
cucu-cucu saya”, Nur Kuntjoro menjelaskan sambil tertawa lepas. Itulah
kejadian pertama.
Kejadian kedua mirip dengan kejadian pertama. Seorang penumpang pria
berjaket kuning sepertinya tidak mau membayar ongkos.
“Saya mau membayar, tapi jawab dulu
pertanyaan saya”, kata penumpang tersebut. “Anda adalah Anton Chekov, bukan?. Masih mau menulis?”, lanjut pria
itu bertanya.
Anton Chekov
adalah penulis Rusia yang anti komunis. Terjemahan Nur Kuntjoro atas
tulisan-tulisan Anton Chekov yang dimuat di Mingguan Angkatan Bersenjata saat
kuliah di Yogya membuatnya dikenal sebagai anton
chekov-nya Indonesia.
Alhasil Nur Kuntjoro kemudian bekerja di Pusat Hubungan Masyarakat
Angkatan Udara, menerbitkan mingguan Angkasa, kembali ke dunia jurnalistik. Nur
Kuntjoro mendapat tempat tinggal di mess AURI, makan teratur, tidur teratur,
hidup teratur lagi dan meninggalkan kehidupan jalanan.
Masa itu Nur
Kuntjoro menekuni bidang jurnalistik.
Suatu ketika Mochtar Lubis menawarkan beliau untuk bekerja di harian
Indonesia Raya. Nur mengenal Mochtar Lubis ketika menjadi asisten sutradara
pada film yang mengangkat cerita tentang Mochtar Lubis. Tawaran itu diterima
sepanjang dia bisa mendapat penghasilan yang lebih baik, karena beliau sangat
ingin bisa keluar dari kemiskinan. Di harian Indonesia Raya, sebagai
Advertising Manager Nur bertugas mencari iklan. Harian Indonesia Raya
berkembang pesat hingga terjadi Peristiwa Malari 1974. Harian Indonesia Raya
dibreidel. Itulah akhir cerita kiprah Nur Kuntjoro di bidang jurnalistik.
Meniti Karir Profesional
Selesai di
harian Indonesia Raya, Nur Kuntjoro sempat bekerja di Caltex, di Rumbai, Pakanbaru.
Hanya bertahan tiga bulan, karena rindu pada sang pacar mengalahkan keinginannya
bekerja di Pakanbaru. Nur kembali ke Jakarta. Waktu itu Nur sering main ke Lembaga
Pendidikan & Pengembangan Manajemen (LPPM). Saat itu pimpinan PT Binaman
Utama adalah Winoto Duriat. Berhubung Nur menguasai bahasa Inggris, dia
diperbolehkan tinggal di mess dan mengikuti kelas-kelas pelatihan yang diadakan
di LPPM.
Kesempatan datang ketika Nur Kuntjoro ditawari bekerja di perusahaan
asing Singer Sewing Machine Company, sebuah perusahaan mesin jahit. Walaupun
sebelumnya Nur pernah menjadi Advertising Manager, namun di Singer dia harus
memulai sebagai seorang salesman. Pekerjaan itu dijalaninya dengan suka cita.
Kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil menjadi Salesman of The Year.
Tahun 1978, Nur Kuntjoro pindah dari Singer ke Union Carbide. Namun,
sekitar tahun 80-an kembali lagi ke Singer. Kembali ke Singer, beliau melakukan
program quantum leap di bidang
penjualan dalam rangka 100 tahun Singer. Penjualan melesat dan beliau mendapat
ganjaran sebuah tiket ke New Orlean. Itulah pertama kali beliau pergi ke luar
negeri.
Dari Singer, beliau pindah ke Johnson & Johnson sebagai Marketing
Manager. Atasannya adalah orang India. Dari atasannya itulah Nur Kuntjoro
mengenal istilah turn-around. Ketika
bekerja di Johnson & Johnson Nur Kuntjoro dan beberapa rekan kerjanya
mendapat kesempatan dikirim sekolah ke Asian
Institute of Managament (AIM) di Filipina untuk mengambil program Master of Business Management (MBM).
Kerja kerasnya berbuah manis. Beliau berhasil lulus dengan prestasi kedua
terbaik. Biasanya setelah lulus karyawan akan mendapatkan promosi ke jenjang
berikutnya. Dan memang teman-temannya mendapat promosi, tapi tidak dengan Nur
Kuntjoro. Beliau tidak naik pangkat walau pun gajinya naik. Tidak bisa menerima
perlakuan yang dirasakan tidak adil, saat itu juga beliau mengundurkan diri.
Itu terjadi pada tahun 1988.
Ketika kuliah di Filipina, Nur Kuntjoro mengenal seorang Filipina yang
bekerja di Avon, yang kemudian membawanya bekerja di Avon Indonesia.
Selanjutnya Nur Kuntjoro menjadi Managing
Director Sara Lee, memegang House of
Sara Lee dan Sara Lee Personalcare
Products.
Tupperware Indonesia
Nur Kuntjoro
masih menikmati karirnya yang mapan di Sara Lee, hingga suatu ketika Rick Goings, yang saat itu (hingga saat
ini) adalah CEO Tupperware Worldwide,
menghubunginya. Rick mengenal Nur Kuntjoro ketika sama-sama bekerja di Avon dan
Sara Lee. Ketika di Avon, Rick adalah President
Pacific Rim dan Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Demikian pula
ketika di Sara Lee, Nur adalah anak buah dari anak buah Rick. Jadi, ketika
Tupperware Indonesia memerlukan pemimpin, Rick meminta Bob Williams, President Tupperware Asia Pacific
menghubungi Nur. Rick menawarkan posisi tertinggi di Tupperware Indonesia,
yaitu Chief Operating Officer (COO). Saat
itu Nur menolak, karena merasa karirnya di Sara Lee sudah mapan.
“Ok. Tidak apa. Saya akan melihat
Anda mati di comfort zone Anda”, kata Rick kala itu.
Kata-kata
Rick Goings terus terngiang-ngiang di kepala Nur Kuntjoro. Dan Rick Goings pun
tidak berhenti hanya sekali saja membujuk Nur Kuntjoro. Perlu waktu delapan
bulan hingga akhirnya Nur Kuntjoro tergelitik juga dengan tantangan Rick Goings.
“Tapi, tantangan di Tupperware
Indonesia tidak ringan lho”, kata Rick. Saat itu Nur Kuntjoro justru jadi
tertantang.
Dan ketika Nur Kuntjoro masuk ke Tupperware Indonesia ternyata persoalan
yang ada jauh lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Antar bagian selalu
ribut dan berkelahi. Human Resources
(HR) acak-acakan. Keuangan perusahaan selama 7 tahun berdarah-darah. Kondisinya
benar-benar hancur-hancuran. Dan kondisi itu ada saat Indonesia menghadapi
krisis moneter 1998. Dan manajemen pusat hanya memberi dua pilihan, yaitu melipatgandakan
kinerja perusahaan atau Tupperware Indonesia ditutup.
Pada situasi seperti itu, mungkin dapat dipahami jika Nur Kuntjoro menyerah.
Tapi, Nur Kuntjoro tidak mengenal kata menyerah. No-compromise, tidak ada kompromi. Dia sudah membakar kapalnya,
sama seperti yang dilakukan Julius Caesar yang memimpin pasukan Romawi menyerbu
untuk merebut dan menduduki kerajaan Inggris Raya. Ketika mendarat di kepulauan
Britania, Julius Caesar memerintahkan ratusan kapal perang yang mengangkut dia
dan pasukan semuanya dibakar. Tekadnya cuma satu, meraih kemenangan atau
menjemput kematian.
Vini Vidi Vici. Saya datang,
saya berjuang, dan saya menang. Nur Kuntjoro menggunakan motto Julius Caesar
yang terkenal itu untuk membenahi Tupperware Indonesia. Dia meyakini semboyan Brownie Wise, pencetus party selling Tupperware, “build people then people will build the
business”. Semboyan itulah yang digunakan untuk mengurai benang kusut dalam
persoalan Tupperware Indonesia saat itu.
Kepiawaian Nur Kuntjoro yang sarat pengalaman dan serangkaian strategi
yang disusun bersama timnya mampu membangkitkan semangat dan menggerakkan
seluruh elemen dalam bisnis Tupperware Indonesia untuk bersama-sama memperbaiki
keadaan. Hasilnya, dalam waktu 18 bulan Nur Kuntjoro mampu mengubah Tupperware
Indonesia yang selama enam tahun berturut-turut merugi menjadi untung.
Penjualan meningkat 222%. Dan selama delapan tahun (1998-2006) beliau memimpin
Tupperware Indonesia, penjualan meningkat delapan kali dan tidak pernah merugi.
Ibadah Selanjutnya
Nur Kuntjoro
berprinsip pada hari pertama menjabat sebagai pemimpin maka dia sudah harus mencarikan
pengganti dirinya. Demikian juga di Tupperware Indonesia. Pada tahun 2001, saat
itu usianya mencapai 55 tahun, beliau minta pensiun. Namun, permohonannya baru
dikabulkan pada tahun 2005. Itu pun dia masih diminta satu tahun lagi menjadi
konsultan dan mentor mendampingi penggantinya, Nining W. Pernama. Tahun 2006
barulah Nur Kuntjoro bisa benar-benar melepaskan diri dari Tupperware Indonesia.
Beliau telah menggapai mimpinya keluar dari kemiskinan. Beliau juga telah
berhasil membantu adik-adiknya bersekolah. Beliau bersama istrinya mendahulukan
pemenuhan kebutuhan orangtua mereka atas rumah. Setelah mereka mampu membelikan
rumah untuk kedua orangtua mereka barulah mereka membeli rumah untuk mereka.
Semua itu beliau perjuangkan tanpa kompromi. Beliau tidak berkompromi dengan
kemiskinan.
Setelah pensiun dari Tupperware Indonesia sesungguhnya Nur Kuntjoro sudah
tidak perlu bekerja lagi, karena secara materi Nur sudah sangat berkecukupan.
Adik-adiknya pun sudah mandiri dan sukses. Tapi, Nur Kuntjoro sadar perjalanan
Sang Pemenang adalah perjalanan tidak berujung hingga Tuhan memanggil pulang. Beliau
terus melanjutkan perjalanannya. Mimpinya saat ini bukan untuk pemenuhan
kehidupan jasmani, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan jiwanya. Apa yang dia
lakukan sekarang adalah membantu perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan turn-around, profit improvement, quantum
leap, dan menikmati sustainable
growth melalui perusahaannya, Quantum Consulting.
Dalam usianya saat ini yang telah mencapai 66 tahun, Nur Kuntjoro masih
terus berkarya. No-compromise. Usia
bagi beliau bukan halangan untuk terus berkarya. Nur Kuntjoro adalah Sang
Pemenang sejati.
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Saya sangat terkesan dengan sosok dan perjuangan hidup beliau,semoga TUHAN berkenan mempertemukan beliau dengan saya dalam keadaan sehat wal'afiat,dan semoga beliau menjadi spirit buat hidup saya ke depannya,amin
BalasHapusRip buat sang legend bagi kluargany..smoga Amal kebaikanny dterima Alloh SWT ..Aamiin
BalasHapus