Paulus dan Amy (paling kanan), Pdt. Junry Alow (paling kiri) |
Sudah lama saya mengenal secara dekat dengan
suami istri Elia Paul Ang dan Amy Chandra. Kebetulan kami
bertetangga. Tetapi baru kali ini mereka berdua berkenan membagi cerita
perjalanan hidup mereka, khususnya kisah Elia Paul Ang, atau biasa dipanggil
Paulus. Kisah Paulus adalah kisah perjalanan anak manusia yang harus meniti
perjalanan kehidupan yang pahit sejak masih kanak-kanak. Perjalanan Paulus
bagaikan menaiki gelombang samudra. Namun, Paulus terus bertahan dan mengatasi
kesulitan dan kesengsaraan yang dialaminya dengan satu keyakinan bahwa Tuhan
tidak pernah membiarkan umatnya yang setia dan terus berusaha terkapar tidak
berdaya, dan Tuhan akan menolong umatnya tepat pada waktunya.
Lahir pada 21 April 1968 di Pasuruan, Paulus sebenarnya
berasal dari keluarga mapan. Kakek dari ayahnya adalah orang berada di
Lumajang. Pada saat peralihan
pemerintahan penjajah Belanda ke penjajah Jepang, rumah mereka di pusat kota
Lumajang diambil alih tentara pendudukan Jepang untuk dijadikan markas tentara
pendudukan Jepang. Keluarga kakeknya
kemudian pindah ke
Pasuruan, dan memiliki
beberapa usaha, antara lain; pabrik selep beras, pabrik
sepatu kulit dan pompa bensin. Ibunya, berasal dari Probolinggo, juga berasal dari keluarga kaya. Keluarga dari ibunya memiliki pabrik beras juga. Pada
saat panen beras, baik
di pabrik keluarga ibunya maupun ayahnya, antrean panjang gerobak sapi yang mengirim dan
mengambil beras untuk di-selep adalah pemandangan
yang lumrah. Saat itu
pernikahan ayah dan ibunya dimaksudkan agar terjadi sinergi dalam memadukan
kekayaan keluarga ayah dan ibunya. Namun, intrik dalam keluarga ayah dan ibunya menghasilkan kondisi
yang tragis. Ayahnya, sebagai
anak lelaki satu-satunya dari lima bersaudara yang
seharusnya menjadi ahli waris usaha keluarga, justru dihalang-halangi masuk bekerja di perusahaan keluarga
sendiri. “Papa hidup dalam kekurangan dan kemiskinan”,
ujar Paulus. Demikian pula, ibunya tidak
memiliki hak atas harta orangtuanya. Harta keluarga dikuasai oleh keluarga yang
lain. Sungguh ironis. Keluarga ayah dan ibunya hidup berkelimpahan, sementara
ayah dan ibunya tersingkir dan harus hidup dalam kemiskinan.
Paulus masih bisa mengingat
saat-saat mereka masih menjadi satu keluarga yang utuh. “Papa dan mama saya miskin sekali. Sejak TK saya sudah dilepas ke sekolah sendirian. Saya harus berjalan beberapa kilometer melewati pesawahan untuk mencapai sekolah TK Stella Maris, Surabaya”, ujar Paulus. “Namun, saya tidak lama
sekolah di sana. Hanya kira-kira tiga bulan saja, karena ada anak orang kaya yang sangat membenci saya, dan melakukan kekerasan fisik kepada saya. Guru tidak dapat mengatasinya, dan akibatnya saya
yang dikeluarkan dari sekolah oleh Mama”,
kenangnya. “Jadi, saya hanya mengecap
TK selama 3 bulan saja. Akibatnya, saat memasuki kelas 1
SD saya belum bisa membaca”, lanjutnya. Kerasnya penolakan dari teman-teman pada masa kecilnya
membuat Paulus tumbuh menjadi anak yang minder dan memiliki sedikit teman. “Saya lebih senang menyendiri dan
memecahkan semua masalah saya sendiri. Tetapi, dengan cara itu, saya justru terlihat lebih cepat
dewasa di dalam pemikiran, walau saya masih anak anak”, katanya. Ibunya mendidik Paulus
dengan disiplin tinggi. Kehidupan miskin yang dialami kedua orangtuanya
berujung pada keputusan tragis. “Akhirnya,
Papa dan Mama bercerai. Keluarga mereka
juga yang akhirnya membuat Papa dan Mama bercerai”, ujar
Paulus. Itulah kenyataan pahit yang harus ditelannya saat Paulus masih berusia
sekitar 7 tahun.
Awalnya Paulus dan kakak
perempuannya tinggal bersama ibunya. “Sempat beberapa bulan saya ikut Mama”, ujar
Paulus. “Saat itu, saya sangat merindukan Papa”, lanjutnya. “Beberapa bulan kemudian, saya diserahkan ke Papa. Mama menganggap saya
adalah anak bodoh yang tidak punya masa depan. Saat
itu saya menangis, kenapa keluarga kami hancur? Dan saya juga harus berpisah dengan kakak saya”, ujar Paulus.
Selanjutnya Paulus mengikuti
kepindahan ayahnya ke Malang. Akibat perceraian kedua orangtuanya dan terlambatnya kemampuan membacanya
membuat Paulus harus
mengulang di kelas 2 SD.
“Prestasi sekolah saya saat itu buruk
sekali. Saya dan Papa saat itu menumpang di rumah Tante
(kakak tertua Papa). Saya hampir tidak pernah belajar kecuali saat ada ulangan dan ulangan umum”, ujarnya. “Papa tidak pernah
memukul saya, bahkan tidak pernah menegor saya atau menyuruh saya belajar.
Saya benar-benar bebas, tidak ada
aturan apapun. Prestasi sekolah saya biasa-biasa saja. Tidak ada yang dapat dibanggakan dengan pendidikan SD saya pada awalnya”,
lanjutnya. “Suatu ketika, saya kedatangan saudara dari Surabaya yang menginap di rumah. Dalam perjalanan makan malam saya ditanya tentang prestasi di sekolah. Saya berbohong kalau nilai saya bagus. Setelah makan malam, mereka mengkonfirmasi prestasi saya ke Papa. Papa mengatakan hal yang sebenarnya apa adanya. Saya menjadi malu sekali karena ketahuan berbohong, dan mengunci diri di kamar”, kenangnya. “Tetapi, sejak saat itu saya belajar dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya saya berhasil masuk 5 besar, dan terus membaik di posisi 3 besar. Guru-guru di sekolah terheran heran dengan
perubahan prestasi saya. Prestasi tersebut dimulai dari kelas 4 SD hingga kelas 3 SMP. Saya benar benar berlomba dalam prestasi”, ujar Paulus.
Paulus sangat membenci
kemiskinan. “Saya tahu persis apa
arti kemiskinan. Kita tidak dianggap
selayaknya manusia”, ujarnya. “Saat saya kecil, saya pernah terkena penyakit TBC, dan tidak diobati karena tidak adanya biaya”,
lanjutnya. “Berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun saya batuk-batuk, sembuh sebentar, dan kambuh lagi. Saya
terkena radang yang sangat parah, sampai lendir berwarna hijau, tetapi tidak sebutirpun obat saya minum. Saya masih menjalankan
aktivitas seperti orang yang tidak sakit, ke sekolah dan bermain di jalanan”,
ujarnya. Kebenciannya
terhadap kemiskinan melahirkan tekad yang sangat kuat untuk keluar dari
kemiskinan. “Saya yakin suatu saat atas
pertolongan Tuhan, lambat atau cepat saya dapat keluar
dari kemiskinan. Takdir saya bukan sebagai orang gagal. Tuhan sanggup menolong saya keluar dan saya layak menerima pemulihan
dari Tuhan”, ujarnya.
Golden moment dalam hidup Paulus terjadi saat dia duduk di bangku SMA.“Saat itu, saya mengalami pencerahan,
mengenal jalan Tuhan. Kehidupan saya banyak dipulihkan, luka-luka batin saya di
masa lalu banyak mengalami kesembuhan, dan saya mulai aktif dalam pelayanan.
Prestasi saya di SMA tidak sebaik di SMP, tapi juga tidak terlalu buruk”,
lanjutnya. Paulus bersekolah di sekolah favorit di kota Malang, yaitu SMAK St. Albertus, Dempo. “Penurunan prestasi juga karena di sekolah
tersebut banyak teman-teman yang lebih pandai”, jelasnya. “Selain itu, juga karena terlalu sibuk
pelayanan di sekolah dan persekutuan doa mengakibatkan berkurangnya waktu
belajar saya”, tambahnya. Pada masa SMA Paulus mulai mengerti bahwa dalam
hidup harus memperhatikan sesamanya, dan harus bisa membantu banyak orang untuk
memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. “Jiwa
sosial saya mulai terbangun. Teman-teman saya menjadi banyak. Saya sembuh dari
rasa minder itu”, ujarnya.
Ketika kuliah Paulus lebih
aktif lagi dalam pelayanan rohani. “Saya
sangat menikmati sukacita pelayanan dan pekerjaan saya ini. Saya bekerja
sebagai kepala toko di sebuah toko buku di kota Malang. Pagi saya bekerja,
siang kuliah, sore bekerja lagi”, ujarnya. “Sebenarnya hasilnya tidak terlalu besar, namun saya mendapat
pengalaman yang sangat berharga. Saya mulai mengenal orang orang di bisnis media”,
lanjutnya. “Saya mulai mengirim uang untuk
Mama hasil pekerjaan saya setiap bulannya, sebagai bakti seorang anak kepada
orang tuanya”, ujarnya. “Padahal saya
jarang bertemu Mama. Apalagi zaman itu telepon masih sulit dan rumah kami tidak
memiliki sambungan telepon. Jadi, setiap awal bulan saya mentransfer tanpa
memberi tahu kalau saya sudah transfer dan tanpa berharap mendapat ucapan
terima kasih dari Mama”, kenangnya bangga. Melalui aktifitas pelayanan
persekutuan doa Paulus bertemu dengan Amy, yang sekarang menjadi istrinya. “Saya kenal Amy pada tahun 1987. Kami
berkenalan selama lebih dari 3 tahun. Setelah itu Amy pergi ke Jakarta. Kami
menikah pada tahun 1994”, ujar Paulus.
“Suatu hari di akhir 1992, tepatnya 12 Desember 1992, setelah saya
menyelesaikan skripsi, saya mendapat mimpi. Inti mimpi itu menyuruh saya pindah
ke Jakarta, padahal saat itu saya tidak memiliki uang untuk pergi ke Jakarta. Tetapi,
secara ajaib hari itu juga saya mendapatkan uang persis seperti doa permintaan
saya. Saya langsung berangkat ke Jakarta dengan hanya berbekal sebuah tas
berisi baju dan sebuah dos berisi buku-buku”, kenangnya. Saat Paulus menginjakkan
kaki di kota Jakarta, dia berkata kepada dirinya, "Jakarta, saya datang dan saya akan menaklukkanmu!".
Di Jakarta, Paulus mendapat pekerjaan di sebuah hotel di Jakarta Pusat sebagai duty manager. Selama 4 bulan karakternya
ditempa. Bekerja 14 jam sehari tanpa ada hari libur. Tiga bulan dia mendapat giliran
shift malam,
bulan ke empat dia
mendapat shift pagi. April 1993, Paulus memutuskan
mengundurkan diri. Awalnya, pengunduran dirinya ditolak. Pemilik hotel menilai
Paulus sangat jujur dan hasil pekerjaannya juga memuaskan. Paulus ditawari kenaikkan gaji hingga Rp 5
juta per bulan, yang untuk ukuran saat itu cukup tinggi. Dan ditawari fasilitas
kredit mobil dengan bunga 0%,
yang dapat diangsur sesuka dia. “Tetapi, saat itu saya menolak. Saya memilih mengambil tawaran bekerja di sebuah yayasan Kristen”, ujarnya.
Setelah sebulan bekerja, Paulus baru tahu ternyata gajinya sebulan
adalah Rp 250.000. “Saya sempat shock, karena gaji sebesar itu hanya cukup untuk membayar kos
saja, belum untuk transportnya. Akhirnya saya harus cari kos baru dekat kantor sehingga tidak perlu naik
kendaraan lagi. Saya harus hidup sangat hemat, setiap pagi saya hanya makan mie instan, dan malam hari hanya minum segelas coklat,
karena uang saya tidak cukup untuk membeli nasi. Berat badan saya turun
drastis. Siang hari, saya mendapat makan di
kantor, jatah karyawan”, tutur Paulus. Paulus bertahan selama 4 tahun di
yayasan Kristen itu untuk kemudian mengundurkan diri.
Setelah mengundurkan diri, Paulus mencoba merintis usaha bersama
teman-teman. Usaha yang digelutinya adalah jasa pengiriman barang untuk
kebutuhan rumah tangga. Namun, tidak bertahan lama karena keterbatasan modal. Setelah
itu Paulus bergabung dengan
Lippo Property, memasarkan rumah di Bukit Sentul (sekarang Sentul City). “Empat tahun saya di sana, 3
tahun sebagai Adminsitrator dan setahun terakhir sebagai tenaga pemasaran free lance”, ujarnya.
Selanjutnya, Paulus membuka
usaha sebagai distributor pelumas industri dengan dukungan modal dari pamannya.
“Usaha itu berkembang luar biasa dalam waktu singkat, sehingga kami mencapai prestasi sebagai distributor baru
terbaik. Perusahaan menerima
Rocky Awards dari principal”, ujar Paulus. Tetapi, Paulus tidak dapat menikmati kesuksesan itu. Paulus difitnah
melarikan uang perusahaan. Paulus terpaksa harus keluar dan usaha itu diambil alih oleh pamannya.
Nama Paulus disebarkan lewat surat
yang di tempel di pos-pos satpam di pelanggannya. “Saya tidak melakukan perlawanan apapun, karena prinsip saya dari pada energi habis untuk kemarahan, lebih baik diarahkan untuk membangun masa depan kembali”, ujarnya.
“Dalam waktu sebulan, kami akhirnya
mendapatkan investor baru. Kami direkrut perusahaan besar, tetapi
ini pun tidak berjalan lama. Kali ini, staf kami yang berkhianat. Ketika itu kami merayakan syukuran atas perusahaan yang baru kami bentuk. Pengkianat itu beserta suaminya ikut
merayakan dengan penuh kegembiraan. Tetapi, keesokan harinya hampir seluruh tenaga
penjual tidak ada yang ke kantor. Mereka semua meninggalkan kami. Hanya tersisa 3 orang
tenaga penjual yang masih setia. Tim penjualan dibajak oleh staf kami itu, yang telah kami didik sekian lama. Akhirnya,
perusahaan terpaksa ditutup, dan kehidupan kami kembali menderita lagi”, tuturnya. Kehidupan Paulus kembali ke
titik nadir. Bahkan, saat itu bukan hanya dia sendiri, tetapi juga istrinya,
Amy, dan anaknya, Michael. “Untuk membeli susu Michael saja, kami tidak memiliki uang”, kenangnya.
Selama dua bulan Paulus dan
Amy tidak memiliki pekerjaan. Tiap malam mereka berdoa memohon pengampunan atas
setiap dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan dan melepaskan pengampunan
kepada paman dan mantan stafnya yang berkhianat. Pada bulan ketiga Tuhan menjawab
doa mereka. Mereka mendapat kesempatan dipertemukan dengan seorang pengusaha
pelumas Beltran Oil. Saat pertemuan
pertama itu Paulus mendapat kepercayaan dan diijinkan menjadi distributor
pelumas Beltran. “Saya sangat optimis mampu menjual produk itu. Dalam waktu kurang
dari setahun penjualan kami sudah cukup bagus. Awalnya, semua saya lakukan sendiri.
Mulai dari mencari order, mencetak faktur, surat jalan, mengantar pesanan,
tukar faktur dan menagih semua saya lakukan sendiri”, tutur Paulus. Paulus
bekerja sangat keras. Usahanya tidak sia-sia. Pada tahun kedua dia sudah bisa
menyewa sebuah kantor dan mulai merekrut karyawan. “Pada tahun itu, staf saya yang berkhianat kembali dan minta bergabung
dengan saya lagi, karena dia telah dikhianati oleh anak buahnya. Kami tidak tega. Akhirnya kami menerima dia kembali, hanya karena satu alasan, yaitu kami sudah mengampuni” . Tetapi, akhirnya Paulus harus mengalami kekecewaan kepada
stafnya itu untuk kedua
kalinya. “Tetapi, kali kedua itu kami tidak terlalu shock lagi”, jelasnya.
Paulus dan Amy |
Komitmen Paulus diwujudkan
dengan memulai pelayanan bersama Pendeta
Junry Alow, M. Div., M. Th., melalui acara siaran radio yang diberi nama Inspirative Power Ministry
(IPM), yang memiliki
visi memberikan
inspirasi bagi orang-orang
yang sedang terpuruk untuk bisa bangkit dan tidak menyerah dalam perjuangan
hidup mereka. “Kami dari awal sepakat bahwa yang dibutuhkan bangsa ini adalah perubahan
mindset dari bangsa yang gagal, miskin, mudah putus asa, dan lemah dalam semangat juang untuk diubah menjadi bangsa yang memiliki
mindset pemenang, pantang menyerah, sejahtera, mengasihi
Tuhan dan sesama. Persatuan adalah pesan moral yang terpenting yang kami bawa,
persatuan akan mengabaikan semua perbedaan pandangan yang ada, merasa senasib,
sebangsa dan solidaritas kebangsaan harus di atas solidaritas yang lebih kecil
lainnya”, tutur Paulus. Pertama kali mengudara pada tanggal 20
Pebruari 2011 melalui Radio Heartline FM 100,6 di Karawaci, Tangerang, Banten.
Acara, yang diisi bergantian dengan Pendeta Junry Alow, tersebut mengudara
selama 10 menit setiap hari pada pukul 05.20-05.30, kecuali hari Sabtu pada
pukul 06.20-06.30. Kini acara Inspirative Power Ministry juga mengudara melalui
Radio Sangkakala AM 1063 di Surabaya, dan di Life Channel 70.
Launching Koperasi K3IPM |
“Sekecil apapun yang kita lakukan untuk bangsa ini sepanjang di dorong rasa cintamu, lakukanlah
dengan setia. Suatu saat engkau akan melihat
hasilnya bila benih itu sudah bertumbuh dan berbuah. Jangan mudah putus asa
ketika menghadapi kegagalan, keras dan kejamnya kehidupan ini. Belajarlah dan bijaksanalah agar keras dan kejamnya kehidupan
ini justru melatih mental kita menjadi kuat menghadapinya. Itulah sang pemenang sejati”, pesannya menutup pembicaraan.
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar