Sabtu, 28 Juli 2012

Kecerdasan Bukanlah Satu-satunya Faktor Penentu Kesuksesan


Hari Minggu, 22 Juli 2012 yang lalu, saya bersama keluarga menikmati film Batman The Dark Knight Rises. Dalam salah satu adegan, tampak di layar bioskop segerombolan orang dipimpin oleh penjahat yang bernama Bane masuk ke lantai bursa dan memberondongkan senapan mesin yang memuntahkan pelurunya secara membabi buta. Melihat adegan itu, saya teringat dengan kejadian memilukan yang terjadi pada Jum’at dinihari, 20 Juli 2012, pada pemutaran perdana film itu di bioskop Century 16 di Aurora Mall, Denver, Colorado.




Sumber: Waspada Online (www.waspada.co.id)
Saat itu film masih diputar, seseorang terlihat keluar, masuk kembali dan kemudian melempar bom asap disusul dengan berondongan peluru dari senapan mesin yang mengarah tempat duduk penonton. Jeritan tangis membahana dan kekakacauan pun terjadi, hingga akhirnya pria itu ditangkap oleh petugas di tempat parkir kompleks bioskop tersebut. Saat ditangkap pria itu menyebut dirinya sebagai The Joker, musuh bebuyutan Batman. Tercatat, korban meninggal mencapai 12 orang, termasuk anak kecil, dan korban luka-luka mencapai lebih dari 50 orang.

Pria itu masih muda, rambut dicat warna merah dan mengenakan rompi anti peluru. Dia memegang senapan serbu, senapan berburu, dan dua buah pistol. Di mobilnya juga ditemukan sepucuk pistol lainnya. Pria muda itu bernama James Eagan Holmes, berusia 24 tahun (lahir 13 Desember 1987 di San Diego), dan merupakan mahasiswa program doktoral untuk ilmu saraf (neuroscience) di Anschutz Medical School, Universitas Colorado. Holmes adalah seorang yang pemalu, namun rajin dan sangat cerdas. Holmes dibesarkan oleh keluarga yang kaya di San Diego, California. Selama ini Holmes bersih dari catatan kejahatan hingga kejadian tersebut.

Apartemen Holmes (Sumber: AP)
Hasil penyelidikan menemukan bahwa Holmes telah menimbun ribuan butir peluru, senjata, dan perlengkapan militer lainnya serta sejumlah bahan peledak yang dibelinya secara online. Holmes juga memasang berbagai perangkap dan jebakan di apartemennya. “Saya melihat banyak sekali kabel, stoples penuh dengan amunisi, juga stoples berisi cairan. Juga terlihat bendar yang terlihat seperti mortir”, kata Dan Oates, Kepala Kepolisian Aurora (Kompas, Minggu 22 Juli 2012). Semua jebakan mematikan itu tampak sengaja dipasang Holmes untuk membunuh siapapun yang masuk ke apartemennya. Diperkirakan Holmes telah menghabiskan uang sebesar 15.000 dollar AS untuk membeli senjata, amunisi, bahan kimia, dan perlengkapan lainnya secara online. Kabar terakhir, diduga Holmes telah mengirimkan paket berisi detail rencana penyerangan itu dalam bentuk tulsian dan gambar, jauh sebelum dia beraksi. Holmes mengirim paket itu kepada psikiater di Anschutz Medical School, Universitas Colorado.

James "The Joker" Holmes (Sumber: Reuters)
James “The Joker” Holmes, tampil pada sidang perdana kasusnya, Senin, 23 Juli 2012. Dengan kedua tangan dan kaki diborgol, dia duduk di kursi terdakwa. Wajahnya nyaris tanpa emosi dan tatapan matanya kosong. Holmes sama sekali tidak menunjukkan emosi. Dia terancam hukuman mati. Seorang pemuda yang hidup dalam keluarga yang berkecukupan, cerdas dan menikmati tingkat pendidikan yang tertinggi. Namun, hidupnya harus berujung pada tuntutan mati sebagai akibat tindakannya.     

Sidis saat wisuda di Harvard, 1914  (en.wikipedia.org)
Kecerdasan bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang. Anda pernah mendengar cerita tentang William James Sidis? Jika belum pernah mendengar tidak mengapa. Saya pun belum pernah mendengar, hingga beberapa waktu yang lalu guru Bahasa Inggris ketika saya SMA dulu bertanya kepada saya mengenai Sidis melalui BlackBerry Messenger. Segera saya tanya kepada “Paman Google” dan menemukan tentang Sidis pada laman Wikipedia.

William James Sidis (1 Apr 1898 – 17 Juli 1944) adalah anak Amerika yang sangat berbakat dengan kemampuan istimewa atas Matematika dan Bahasa. Selama hidupnya, IQ-nya diperkirakan antara 250 hingga 300, yang membuatnya menjadi yang tertinggi yang pernah tercatat. Dia masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan sebagai orang dewasa dikabarkan menguasai lebih dari 40 bahasa dan dialek. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa beberapa klaim dinilai berlebihan, dimana seorang periset menyatakan “Saya telah meriset kebenaran langsung dari sumber utama atas banyak subyek selama 28 tahun, dan belum pernah menemukan sebuah topik yang dipenuhi dengan kebohongan, mitos, kebenaran yang diragukan, berlebihan, dan bentuk-bentuk lain atas informasi menyesatkan seperti dalam sejarah di belakang William Sidis”. Sidis menjadi terkenal pertama kali untuk hal-hal yang dicapai mendahului usianya dan kemudian pada eksentriknya dan menarik diri dari kehidupan sosial. Akhirnya, dia menghindari semua yang berhubungan dengan matematika, dan menulis topik lain dengan sejumlah nama samaran.

Keluarga Sidis adalah keturunan Yahudi Ukraina. Orangtuanya meninggalkan negaranya untuk menetap di Amerika Serikat pada tahun 1887. Ayahnya, Boris Sidis, Ph.D., M.D., adalah seorang psikiater. Boris menguasai beberapa bahasa. Ibunya, Sarah Mandelbaum Sidis, M.D., lulusan Boston University, School of Medicine pada tahun 1897. Kedua orangtuanya memacu perkembangan intelektual Sidis mendahului kematangan usianya. Pada usia 18 bulan Sidis sudah bisa membaca surat kabar New York Times. Pada usia 8 tahun Sidis sudah belajar 8 bahasa, yaitu Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan lulus sarjana dengan cum laude pada 18 Juni 1914, pada usia 16 tahun. Dia kemudian mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and Sciences. Sidis melepas peluang mendapatkan gelar master dalam matematika, dia malah mendaftar ke Harvard Law School pada September 1916 dan mengundurkan diri pada Maret 1919. Sidis ditahan pihak berwenang atas partisipasinya dalam parade kaum sosialis di Boston, yang berakhir kacau. Dalam persidangan, Sidis menegaskan bahwa dia adalah seorang sosialis dan menentang Perang Dunia I. Orangtuanya menganggap Sidis terganggu jiwanya, dan Sidis dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Sidis meninggal di tahun 1944 di Boston akibat pendarahan otak pada usia 46 tahun. Hal yang sama dialami ayahnya pada tahun 1923 pada usia 56 tahun.

Kisah Wiliam James Sidis adalah salah satu contoh lagi bahwa kecerdasan terbukti gagal memprediksi kesuksesan sesorang. Kecerdasan merupakan salah satu faktor penentu, namun bukan satu-satunya faktor, dalam kesuksesan seseorang. Kecerdasan intelektual (IQ) bersama kecerdasan emosional (EQ), dan daya tahan (AQ) akan menentukan kesuksesan seseorang. Dan di antara ketiganya, Adversity Quotient (AQ), yang merupakan daya tahan seseorang dalam menghadapi situasi sulitlah yang paling berperan (baca artikel saya sebelumnya “Adversity Quotient” di www.suhartono-chandra.blogspot.com/2011/12/adversity-quotient.html).

Salam Pemenang!

Catatan
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar