Rasa bersalah yang ditempatkan pada proporsi yang tepat akan
menciptakan proses pembelajaran yang kritis dan sistem umpan balik yang
dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (Paul G. Stoltz)
Pada
tulisan sebelumnya saya sudah membahas dimensi pertama dari AQ (Adversity Quotient), karya Paul G. Stoltz, yaitu C (Control),
yang mempertanyakan “Seberapa besar
kendali yang Anda rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan
kesulitan?”. Kali ini saya akan mengupas dimensi kedua, yaitu O2, yang terdiri atas Origin
(Or) dan Ownership (Ow). Origin
(Or) mempertanyakan “Siapa
atau apa yang menjadi penyebab / asal usul / sumber kesulitan?”,
sedangkan Ownership (Ow)
mempertanyakan “Sampai sejauh manakah
saya mengakui akibat-akibat kesulitan itu?”.
Mereka yang
memiliki skor Or yang relatif rendah, dalam banyak hal melihat
dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau sumber (origin) kesulitan yang terjadi dalam
hidupnya, sedangkan mereka dengan skor Or yang lebih tinggi akan menempatkan
rasa bersalah pada proporsi yang tepat. Rasa bersalah yang ditempatkan pada
proporsi yang tepat akan menciptakan proses pembelajaran yang kritis dan sistem
umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus.
Rasa bersalah memang diperlukan untuk membantu kita belajar dari peristiwa
tersebut, merenungkan dan mengambil sikap penyesuaian dalam upaya perbaikan,
dan rasa bersalah yang menjurus pada penyesalan merupakan motivator yang kuat
untuk langkah-langkah perbaikan. Namun, rasa bersalah yang terlalu berlebihan dan
tidak pada tempatnya justru akan melemahkan semangat dan menjadi destruktif, menghancurkan
harapan, dan harga diri. Jika itu berlangsung terus menerus akan mengikis kemampuan
untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan.
Saya teringat satu film lama yang berjudul “Vertical Limit”. Film diawali dengan
adegan sebuah keluarga terdiri atas ayah, anak laki-laki yang bernama Peter Garrett dan anak perempuan yang
bernama Annie sedang melakukan
pendakian. Impian mereka adalah menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Namun, akibat
dari seorang pendaki di atas mereka yang ceroboh terjadi kecelakaan dan situasi
yang terjadi mereka bertiga bergantung pada seutas tali dan hanya mengandalkan
satu pasak saja. Posisi mereka adalah Annie
di atas, Peter di tengah dan ayah
mereka di bawah. Sang ayah yang lebih berpengalaman tahu bahwa pasak tersebut
tidak akan kuat menahan beban mereka bertiga dan memutuskan daripada mereka
bertiga jatuh dan semua meninggal lebih baik sang ayah yang berkorban.
Keputusan itu sesungguhnya adalah keputusan yang logis. Sang ayah meminta Peter untuk memutus tali agar mereka
terlepas dari beban berat ayah mereka. Suatu situasi yang sulit bagi Peter untuk melakukan permintaan sang
ayah. Peter dihadapkan pada situasi
harus menjadi algojo bagi ayahnya hanya karena ayahnya tidak memegang pisau
untuk bisa memutus tali. Akhirnya pada saat-saat terakhir Peter melakukan permintaan ayahnya dan mereka, kakak beradik, harus
melihat sendiri kematian ayahnya. Peter
dan Annie akhirnya selamat. Tetapi, Peter dihantui rasa bersalah karena
sudah menjadi algojo bagi ayahnya sendiri. Rasa bersalah yang sangat
berlebihan, yang tidak pada tempatnya, sehingga Peter mengundurkan diri dari kegiatan mendaki dan mengubur
cita-citanya menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Peter melepaskan impiannya. Peter
menyerah. Dia mengucilkan diri sebagai juru foto alam. Sementara Annie, yang jelas sangat sedih atas
kehilangan ayahnya tidak larut dalam kesedihan malah sebaliknya dia bangkit dan
tetap melakukan pendakian untuk mewujudkan impian sang ayah menaklukan
gunung-gunung tertinggi di dunia (jika Anda belum sempat menonton film tersebut
dan Anda berlangganan televisi kabel, Anda punya kesempatan menontonnya pada
hari Jumat, 30 Desember 2011 pada tayangan sore hari). Dalam konteks yang berbeda,
situasi seperti yang dihadapi Peter
itu dapat terjadi dalam kehidupan kita. Namun, percayalah bahwa rasa bersalah
yang terlalu berlebihan tidak akan membawa Anda kemana-mana, kecuali
keterpurukan.
Subdimensi Ow bicara tentang sejauh
mana kita mengakui akibat-akibat kesulitan yang timbul. Mengakui akibat-akibat
dari kesulitan yang ada mencerminkan tanggung jawab. Tanggung jawab jauh lebih
penting daripada sekedar menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Mereka
dengan skor Ow yang relatif rendah cenderung menghindar dari
tanggung jawab, sementara mereka yang memiliki skor Ow yang lebih
tinggi akan mengakui akibat-akibat yang muncul dari suatu situasi sulit dan
mengambil tanggung jawab untuk mengatasi kekacauan yang muncul. Rasa tanggung
jawab merupakan salah satu cara untuk memperluas kendali, pemberdayaan, dan
motivasi dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan.
Suatu
ketika saya melakukan perjalanan ke Manado, Sulawesi Utara. Sebelumnya saya
sudah memesan kamar di sebuah hotel tempat biasa saya menginap saat di Manado berikut
jasa mobil jemputan dari hotel tersebut. Semua data penerbangan dan nomor
ponsel sudah mereka catat. Penerbangan ke Manado ternyata terlambat sekitar 30
menit. Ketika tiba di pintu keluar, saya tidak melihat ada yang menjemput saya.
Tidak lama kemudian ponsel saya berdering dan sopir yang akan menjemput meminta
maaf karena mesin mobil mengalami sedikit kerusakan sehingga dia terlambat
menjemput saya. Saya terpaksa menunggu sekitar 30 menit hingga sopir dan mobil
jemputan tiba di bandara Sam Ratulangi dan mengantar saya ke hotel. Ketika check-in di meja front-office saya sampaikan keluhan saya. Petugas yang melayani meminta
maaf dan menjelaskan hal yang sama. Saya katakan bahwa kerusakan mobil adalah
masalah pihak hotel, bukan masalah saya. Tetapi akibat masalah mereka saya
harus membuang waktu sekitar 30 menit untuk menunggu. Petugas front-office hanya terdiam sambil terus
memproses registrasi kedatangan saya. Tidak menunggu lama, proses registrasi selesai
dan sambil memberikan kunci kamar dia berkata, “Pak, ini kunci kamar bapak. Kamar bapak kami upgrade ke kelas yang
lebih tinggi sebagai ungkapan permintaan maaf kami atas ketidaknyamanan yang
terjadi”. Anda lihat, petugas front-office
tersebut telah memberikan respon yang tepat. Dia tidak melihat kegagalan
layanan kepada saya merupakan mimpi buruk. Dia tidak menyalahkan diri sendiri
secara berlebihan. Apa yang terjadi merupakan sesuatu yang di luar diri dia.
Tetapi, dia mengakui akibat kegagalan layanan tersebut (saya membuang waktu
hanya untuk menunggu mobil jemputan), mengungkapkan penyesalan (dengan meminta
maaf), dan mengambil tanggung jawab serta tindakan (meng-upgrade kamar saya sebagai kompensasi).
Tahun 2011 tinggal tersisa beberapa hari lagi. Mungkin
saat ini Anda belum mencapai target-target yang telah Anda tetapkan. Jika Anda
bekerja sendiri, carilah penyebab Anda belum mencapai target tersebut dan tempatkan
rasa bersalah pada proporsi yang tepat, dan ambil tanggung jawab atas situasi
itu. Jika Anda seorang pemimpin, dimana pencapaian Anda bergantung pada sejumlah
staf di bawah pimpinan Anda, carilah sumber penyebabnya. Mungkin penyebabnya
adalah kondisi industri secara keseluruhan dimana bisnis Anda berada yang
kurang bersahabat, atau mungkin penyebabnya adalah staf-staf Anda yang tidak
berprestasi sesuai harapan padahal sepanjang tahun Anda sudah memimpin dan
mengarahkan mereka, dan tempatkan rasa bersalah Anda (jika memang ada) pada
proporsi yang tepat. Lalu, ambil tanggung jawab kegagalan tim Anda di hadapan
manajemen. Dengan demikian Anda telah memperluas kendali, keberdayaan dan
motivasi dalam mengambil tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan.
saya mungkin memang bukan orang pintar yg dapat dengan sempurna mengerti maksud dalam tulisan artikel ini.. tapi saya cuma dapat kesimpulan bahwa walau kita pernah melakukan kesalahan yg fatal sekalipun, jangan berlarut-larut dalam keputus asaan atau kesedihan, tapi beruha untuk memperbaikin keadaan itu menjadi lebih baik, dan terus memacu diri kita menjadi yang terbaik..
BalasHapustrim's salam..
@Iin:
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya.
Inti dari artikel ini adl bgm kita merespon suatu kondisi sulit yg terjd pd kehidupan kita, baik dlm bisnis, pekerjaan, karir, usaha, sekolah, atau apapun itu. Ada 2 isu utama, yaitu "siapa/apa penyebab terjadinya kondidi sulit tsb?", dan "sejauh mana kita mengakui/mau bertanggung jwb atas akibat2 yg muncul dari kondisi sulit itu?". Contoh suatu kondisi sulit, misalkan saja Anda tdk lulus dlm ujian akhir skripsi.
Nah, terkait dgn isu pertama, "siapa/apa yg menjd penyebab Anda tdk lulus?". Mrk dgn skor AQ yg rendah cenderung menyalahkan diri sendiri secara berlebihan (pdhal blm tentu sepenuhnya kesalahan Anda). Mrk dgn skor AQ yg lbh tinggi akan melihat penyebab kegagalan dgn lbh jernih. Mungkin saat Anda menghadapi ujian tsb Anda dlm kondisi yg tdk sehat, atau mungkin krn kesalahan ketik yg dilakukan oleh org yg Anda minta bantuannya unt mengetik. Barangkali mmg ada jg kontribusi kesalahan yg Anda lakukan. Jd menempatkan kesalahan pd porsi yg tepat akan membuat lbh tahan menghadapi fakta bahwa Anda gagal dlm ujian akhir.
Isu kedua, akibat Anda gagal tentu Anda hrs memperbaiki skripsi dan maju lagi dlm ujian mendatang. Mrk dgn AQ yg rendah cenderung tdk mau mengakui akibat tsb, yg mungkin diekspresikan pd penyesalan yg berkelanjutan dan hilang motivasi unt bangkit dan maju kembali. Mrk dgn AQ rendah cenderung menghindar dari tanggung jwb menerima akibat dari kegagalan itu. Sedangkan mrk dgn AQ yg lbh tinggi akan mengakui dan mengambil tanggung jwb tsb. Mrk akan mengatakan, ok saya mmg gagal dan saya bertanggung jwb atas kegagalan itu, shg segera mengambil tindakan2 perbaikan yg dibutuhkan dan siap unt maju kembali dlm ujian akhir mendatang.
Artikel ini mmg merupakan kelanjutan pembahasan dua artikel seblmnya. Jika Anda blm sempat membacanya, saya sarankan Anda membacanya mulai dari artikel yg berjudul " Adversity Quotient".
Mudah2an penjelasan saya dpt meningkatkan pemahaman Anda atas artikel ini.
Salam sukses,
Suhartono Chandra
Sore Bang Chandra....Salam Kenal dari pengagum artikelmu dari kalimantan... saya berharap dan yakin suatu saat saya akan bertemu dengan bang chandra...
BalasHapusDalam kondisi laporan akhir tahun saya yg sdh selesai, Dua hari ini saya menyibukkan diri untuk membaca seluruh artikel abang dari "SANG PEMENANG" hingga "Menempatkan Rasa Bersalah Pada Proporsi Yang Tepat"... saya mengagumi dan justru merasakan manfaat yang sangat besar dari semua artikel itu. Saya membuat catatan kecil dari setiap artikel, untuk dasar saya membuat "RENCANA INDAH 2012_ku"
Di Desember ini saya hanya merenungi kegagalan saya di tahun 2011(2 step yg di tuju, hanya 1 step yg tercapai)...saya inigin mereview kegagalan itu agar menjadi pelajaran di tahun depan...dan semua terbantu dengan membaca dan memahami artikel abang, saya ikuti semua petunjuk seperti membuat "citra diri lama yg Negatif dan Citra Diri Baru yang Positif"
Terima kasih bang...saya selalu menunggu artikel abang yang lain. Suatu saat saya bertemu dengan abang, saya akan ceritakan pencapaian saya di 2012.
Salam Sukses ya Bang "Suhartono Chandra"....
Selamat malam (di Kalimantan sudah malam kan ya? hehehe) Bang Fathoni. Sungguh senang bisa berkenalan dengan Anda.
BalasHapusSaya merasa bahagia artikel-artikel yang saya tulis bermanfaat dan dapat membantu Anda dalam perjalanan menyusuri rute-rute pendakian Sang Pemenang. Dan akan bertambah kebahagian saya seandainya lebih banyak lagi teman-teman yang bisa mengambil manfaat dari artikel-artikel "Sang Pemenang" seperti yang Anda dapatkan. Oleh sebab itu, bagikanlah artikel-artikel "Sang Pemenang" kepada orang-orang yang Anda kasihi.
Jika Anda ingin berdiskusi langsung, dengan senang hati saya akan meluangkan waktu untuk hal itu. Anda bisa mengirimkan email ke suhartono.chandra@gmail.com
Keep moving, Bang Fathoni.
Salam sukses,
Suhartono Chandra
Malam Pak Chandra... tanggal 2 september nanti ada acara Bapak di Palembang, jika diijinkan saya ingin mengikutinya., karena acara itu ditujukan untuk pelajar. saat ini saya sudah bekerja pak.
BalasHapussangat menarik untuk dibaca
BalasHapusmaintenance alat berat