Kesuksesan bukan melulu soal
uang. Kesuksesan adalah juga ketika bertekun pada suatu pengabdian yang lahir
atas keprihatinan terhadap persoalan masyarakat yang lebih luas, dan terus
bergerak maju sekalipun kesulitan demi kesulitan menghadang perjalanan
pencapaian cita-cita itu. Itulah gambaran singkat ketika kita belajar melalui
sosok “Frans Duli Poli: Ibarat Terang Dalam Kegelapan” (Kompas, Kamis, 05 Januari 2012).
Selalu dimulai dari suatu
keputusan, yang didorong oleh keberanian mengambil tanggungjawab, sementara
yang lain bergeming. Saat itu (1969), Frans
Duli Poli baru berusia 17 tahun, saat dia diminta oleh masyarakat di Desa Demondei, Adonara, Flores Timur
untuk mengajar anak-anak setempat sekaligus membangun SD di kampung itu. Saat
itu di Desa Demondei tidak ada guru. Frans baru lulus Sekolah Guru Bawah, yang
sesungguhnya belum berhak mengajar. Yang boleh mengajar adalah mereka lulusan
Sekolah Guru Atas. “Kondisi warga di
Demondei waktu itu sangat membutuhkan tenaga guru. Di Pulau Adonara bagian
barat itu tidak ada guru sama sekali. Anak-anak usia sekolah tidak bisa belajar
karena tidak ada sekolah. Desa-desa di pedalaman itu belum mengenal sekolah
dasar”, ujar Frans kepada Kompas. Tahun itu Frans membuka sekolah yang diberi
nama SD Don Bosco di Desa Demondei. Dua tahun kemudian (1971), Frans mendirikan
SD di Desa Rianpadu, sekitar lima kilometer dari Demondei, atas permintaan
masyarakat setempat. Pada periode 1973-1976, Frans mendirikan 4 sekolah yaitu,
SD swasta di Ritawolo, Watodei, Beludua, dan SD Swasta Leter.
Selalu
dimulai dari suatu keputusan. Keputusan yang didasari keberanian (courage)
mengambil tanggung jawab. Keberanian tersebut tentunya menuntut komitmen (committment) tinggi dan pengorbanan. Dengan segala keterbatasan
yang ada, Frans mendidik anak-anak setempat sendirian. Honor yang didapat hanya
sekedarnya, malah terkadang orangtua murid membayar dengan celana, baju,
pisang, ubi, jagung, ataupun padi. Namun, Frans senantiasa mengucap syukur dan menjalani pengabdiannya dengan sukacita. Tiga
tahun kemudian barulah tujuh orang lulusan Sekolah Guru Atas dari Larantuka
datang untuk membantu Frans mengajar. Sebagai guru di pedalaman, selain
mengajar di sekolah, Frans juga melatih koor untuk gereja, membimbing pasangan
muda yang mau menikah, dan mengajari orangtua yang buta huruf. Dia juga
membantu aparat desa menata administrasi desa, dan mengamankan warga yang
sering bertengkar. Frans terlibat hampir di semua sektor kemasyarakatan. ”Guru di pedalaman itu ibarat terang di
tengah kegelapan. Ini sungguh terjadi sejak tahun 1970-an sampai hari ini. Kami
di sini bisa dikatakan masih miskin dan terbelakang”, ujarnya kepada Kompas.
Kegigihan (persisten) Frans
juga tampak ketika pada tahun 1975 dia memutuskan untuk mengikuti sekolah persamaan yang diadakan
beberapa rekan guru lulusan Sekolah Guru Atas dan Sekolah Pendidikan Guru di
Desa Demondei. Frans berhasil mendapat ijazah Sekolah Guru Atas pada 1976, dan
diangkat menjadi guru negeri.
Selama
43 tahun pengabdiannya kepada masyarakat di sekitarnya, khususnya di bidang
pendidikan, Frans telah terlibat dalam pembangunan enam sekolah dasar di desa
terpencil di pulau terluar di wilayah Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Tahun
2012, dia memasuki masa pensiun. Namun, semangatnya masih tetap tinggi. Dia
mengisi hari-hari selanjutnya dengan bertugas di tiga sekolah TK di Desa Mewet,
Desa Demondei, dan Desa Watodei. Untuk tugasnya membimbing siswa TK, dia tidak
digaji. Di sela-sela kesibukannya Frans masih harus mengajari guru TK cara
membaca dan mengajarkan musik kepada anak-anak. Bahkan, dia sendiri yang
mempersiapkan lagu-lagu yang cocok untuk anak sekolah TK. Frans rela pergi ke
Kupang dengan perahu motor, hanya untuk memilih dan menyalin lagu-lagu yang
cocok untuk anak-anak sekolah TK dari buku-buku nyanyian yang ada di Toko Buku
Gramedia di kota Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur (NTT).
Frans Duli Poli adalah sosok
Sang Pemenang, yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus
maju selangkah demi selangkah. Kesuksesan bagi dia bukan semata soal uang,
tetapi bagi dia lebih banyak lagi anak-anak usia sekolah yang bisa menikmati
pendidikan adalah kesuksesannya terhadap pengabdiannya kepada masyarakat
setempat. Keberanian mengambil
tanggung jawab, komitmen yang tinggi, pengorbanan, kegigihan, dan senantiasa
mengucap
syukur merupakan modal yang kuat bagi perjalanan Frans Duli Poli dalam
menyusuri rute Sang Pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar