Kesuksesan bukan melulu soal
uang. Kesuksesan adalah juga ketika berhasil melakukan sesuatu yang bermanfaat
bagi masyarakat banyak. Kali ini kita belajar melalui sosok “Marandus Sirait: Lahan Keluarga Untuk
Lingkungan” (Kompas, Rabu, 04 Januari 2012). Bagi Marandus Sirait, lelaki
berusia 44 tahun itu, kesuksesan adalah ketika dia berhasil membangun hutan
yang dapat menghidupi masyarakat sekitar. Hutan seluas 40 hektar, yang terletak
sekitar 6 kilometer dari bibir Danau Toba di Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten
Toba Samosir, Sumatera Utara, itu adalah lahan milik keluarga yang sedang dia
upayakan menjadi “surga” bagi masyarakat sekitar. Hutan itu dia namakan Taman
Eden 100, yang dia bangun sejak 1999. Saat ini ada sekitar 100 jenis pohon
produktif, seperti pohon durian, jambu biji, mangga, dan pohon alpukat. Upaya
Marandus Sirait, yang jatuh bangun membangun Taman Eden 100, merupakan contoh
yang tepat bagi kegigihan seorang “pendaki (climber)
sejati” dalam pendakian menaklukan gunung-gunung kesulitan sepanjang perjalanan
menyusuri rute Sang Pemenang. Penghargaan Kalpataru (2005), Wahana Lestari
(2010), Danau Toba Award (2010), dan Penghargaan Penanaman Pohon dari Dinas
Kehutanan (2011), hanyalah terminal pemberhentian sementara bagi perjalanannya
menyusuri rute Sang Pemenang.
Selalu
dimulai dari suatu keputusan. Keputusan yang didasari keberanian mengambil
tanggung jawab, sementara yang lain tidak berani. Sejak masih bekerja sebagai guru
musik dan penyanyi gereja (1988-1998) di Medan, Sumatera Utara, Marandus Sirait
sudah sering menyuarakan pentingnya melestarikan alam. Dia juga sering
mengikuti seminar, diskusi, dan lokakarya yang membahas mengenai lingkungan
hidup di Medan. Tahun 1999, dia memutuskan untuk secara nyata bertindak
melestarikan alam. Dia pulang ke kampung halaman. Namun, yang dia temui adalah
kekecewaan orangtua, saudara-saudaranya maupun tetangga, karena anggapan dalam
masyarakat Batak hanyalah mereka yang gagal yang kembali ke kampungnya setelah
merantau sekian lama ke kota. Tapi, Marandus Sirait bergeming. Dia rela tinggal
di bekas kandang kerbau di tengah lahan hutan keluarga. Dia belajar bercocok
tanam dari berbagai bacaan. Dia pun rela menjual peralatan musiknya hanya untuk
membeli bibit dan membayar pekerja untuk membersihkan lahan.
Tahun
2002, dia sempat hampir menyerah dan kembali ke Medan untuk mengajar musik.
Tapi, itu hanya bertahan selama tiga bulan. Dia kembali lagi ke hutan. Tahun
2004, Marandus Sirait jatuh sakit. Beberapa penyakit silih berganti menghampiri
dia. Dokter mengatakan bahwa penyakit yang dia derita adalah akibat stres
dengan obsesinya terhadap pengembangan hutan keluarga. Dia diminta untuk
menjauhi hutan. Dia kembali ke Medan, dan bermain musik lagi. Suatu perjalanan
seorang Marandus Sirait yang tidak mudah.
Pertengahan 2005, ada secercah
harapan baru. Hasil kerja kerasnya berbuah penghargaan Kalpataru. Semangatnya
bangkit kembali. Namun, perjalanan “pendakian” tetap tidak mudah bagi Marandus
Sirait, bahkan hanya untuk menutup biaya operasionalpun dia masih mengandalkan
kedermawanan pengunjung. Saat ini dia masih terus berjuang, bekerja keras
mewujudkan mimpinya menjadikan Taman Eden 100, lahan hutan keluarga seluas 40
hektar, dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Itulah mental Sang Pemenang,
yang terus bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan dan terus maju selangkah
demi selangkah. Keberanian mengambil
tanggung jawab, komitmen yang tinggi,
pengorbanan, kegigihan atau
persistensi, dan senantiasa bersyukur
dalam keadaan apapun merupakan modal kuat bagi Marandus Sirait.
Sebuah perjalanan adalah sebuah keputusan untuk berjuang melaluinya,sebuah keputusan adalah sebuah keberanian untuk tetap komit terhadap keputusan..luar biasa perjuangan bpk Marandus Sirait.dari cerita diatas betapa benar bahwa Tuhan itu mau semua kita masuk dalam rencanaNya yang indah,walau mungkin saat ini belum ada apa apa namun nanti kelak pasti kita tahu bahwa Tuhan tak pernah tinggalkan kita untuk masuk dalam rencanaNya jika kita tetap setia dan taat..sukses selalu pak...
BalasHapus