Hari
Minggu, 22 Juli 2012 yang lalu, saya bersama keluarga menikmati film Batman The Dark Knight Rises. Dalam
salah satu adegan, tampak di layar bioskop segerombolan orang dipimpin oleh
penjahat yang bernama Bane masuk ke lantai
bursa dan memberondongkan senapan mesin yang memuntahkan pelurunya secara
membabi buta. Melihat adegan itu, saya teringat dengan kejadian memilukan yang
terjadi pada Jum’at dinihari, 20 Juli 2012, pada pemutaran perdana film itu di
bioskop Century 16 di Aurora Mall, Denver, Colorado.
Sumber: Waspada Online (www.waspada.co.id) |
Saat
itu film masih diputar, seseorang terlihat keluar, masuk kembali dan kemudian
melempar bom asap disusul dengan berondongan peluru dari senapan mesin yang mengarah
tempat duduk penonton. Jeritan tangis membahana dan kekakacauan pun terjadi,
hingga akhirnya pria itu ditangkap oleh petugas di tempat parkir kompleks
bioskop tersebut. Saat ditangkap pria itu menyebut dirinya sebagai The Joker, musuh bebuyutan Batman.
Tercatat, korban meninggal mencapai 12 orang, termasuk anak kecil, dan korban
luka-luka mencapai lebih dari 50 orang.
Pria itu masih muda, rambut dicat
warna merah dan mengenakan rompi anti peluru. Dia memegang senapan serbu,
senapan berburu, dan dua buah pistol. Di mobilnya juga ditemukan sepucuk pistol
lainnya. Pria muda itu bernama James Eagan
Holmes, berusia 24 tahun (lahir 13 Desember 1987 di San Diego), dan
merupakan mahasiswa program doktoral untuk ilmu saraf (neuroscience) di Anschutz Medical School, Universitas Colorado. Holmes
adalah seorang yang pemalu, namun rajin dan sangat cerdas. Holmes dibesarkan
oleh keluarga yang kaya di San Diego, California. Selama ini Holmes bersih dari
catatan kejahatan hingga kejadian tersebut.
Apartemen Holmes (Sumber: AP) |
Hasil
penyelidikan menemukan bahwa Holmes telah menimbun ribuan butir peluru, senjata,
dan perlengkapan militer lainnya serta sejumlah bahan peledak yang dibelinya
secara online. Holmes juga memasang berbagai
perangkap dan jebakan di apartemennya. “Saya
melihat banyak sekali kabel, stoples penuh dengan amunisi, juga stoples berisi
cairan. Juga terlihat bendar yang terlihat seperti mortir”, kata Dan Oates, Kepala Kepolisian Aurora (Kompas, Minggu 22 Juli 2012). Semua
jebakan mematikan itu tampak sengaja dipasang Holmes untuk membunuh siapapun
yang masuk ke apartemennya. Diperkirakan Holmes telah menghabiskan uang sebesar
15.000 dollar AS untuk membeli senjata, amunisi, bahan kimia, dan perlengkapan
lainnya secara online. Kabar
terakhir, diduga Holmes telah mengirimkan paket berisi detail rencana
penyerangan itu dalam bentuk tulsian dan gambar, jauh sebelum dia beraksi.
Holmes mengirim paket itu kepada psikiater di Anschutz Medical School,
Universitas Colorado.
James "The Joker" Holmes (Sumber: Reuters) |
James “The
Joker” Holmes, tampil pada sidang perdana kasusnya, Senin, 23 Juli 2012.
Dengan kedua tangan dan kaki diborgol, dia duduk di kursi terdakwa. Wajahnya
nyaris tanpa emosi dan tatapan matanya kosong. Holmes sama sekali tidak
menunjukkan emosi. Dia terancam hukuman mati. Seorang pemuda yang hidup dalam
keluarga yang berkecukupan, cerdas dan menikmati tingkat pendidikan yang
tertinggi. Namun, hidupnya harus berujung pada tuntutan mati sebagai akibat tindakannya.
Sidis saat wisuda di Harvard, 1914 (en.wikipedia.org) |
Kecerdasan bukanlah
satu-satunya penentu keberhasilan seseorang. Anda pernah mendengar cerita
tentang William James Sidis? Jika
belum pernah mendengar tidak mengapa. Saya pun belum pernah mendengar, hingga beberapa
waktu yang lalu guru Bahasa Inggris ketika saya SMA dulu bertanya kepada saya
mengenai Sidis melalui BlackBerry Messenger. Segera saya tanya kepada “Paman Google” dan menemukan tentang Sidis
pada laman Wikipedia.
William James Sidis (1 Apr 1898 – 17 Juli
1944) adalah anak Amerika yang sangat berbakat dengan kemampuan istimewa atas
Matematika dan Bahasa. Selama hidupnya, IQ-nya diperkirakan antara 250 hingga
300, yang membuatnya menjadi yang tertinggi yang pernah tercatat. Dia masuk
Harvard pada usia 11 tahun, dan sebagai orang dewasa dikabarkan menguasai lebih
dari 40 bahasa dan dialek. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa beberapa
klaim dinilai berlebihan, dimana seorang periset menyatakan “Saya telah meriset kebenaran langsung dari
sumber utama atas banyak subyek selama 28 tahun, dan belum pernah menemukan
sebuah topik yang dipenuhi dengan kebohongan, mitos, kebenaran yang diragukan,
berlebihan, dan bentuk-bentuk lain atas informasi menyesatkan seperti dalam sejarah di
belakang William Sidis”. Sidis menjadi terkenal pertama kali untuk hal-hal
yang dicapai mendahului usianya dan kemudian pada eksentriknya dan menarik diri
dari kehidupan sosial. Akhirnya, dia menghindari semua yang berhubungan dengan
matematika, dan menulis topik lain dengan sejumlah nama samaran.
Keluarga Sidis adalah keturunan
Yahudi Ukraina. Orangtuanya meninggalkan negaranya untuk menetap di Amerika
Serikat pada tahun 1887. Ayahnya, Boris
Sidis, Ph.D., M.D., adalah seorang psikiater. Boris menguasai beberapa
bahasa. Ibunya, Sarah Mandelbaum Sidis,
M.D., lulusan Boston University, School of Medicine pada tahun 1897. Kedua
orangtuanya memacu perkembangan intelektual Sidis mendahului kematangan usianya.
Pada usia 18 bulan Sidis sudah bisa membaca surat kabar New York Times. Pada usia 8 tahun Sidis sudah belajar 8 bahasa,
yaitu Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Masuk
Harvard pada usia 11 tahun, dan lulus sarjana dengan cum laude pada 18 Juni 1914, pada usia 16 tahun. Dia kemudian
mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and Sciences. Sidis melepas peluang
mendapatkan gelar master dalam matematika, dia malah mendaftar ke Harvard Law
School pada September 1916 dan mengundurkan diri pada Maret 1919. Sidis ditahan
pihak berwenang atas partisipasinya dalam parade kaum sosialis di Boston, yang
berakhir kacau. Dalam persidangan, Sidis menegaskan bahwa dia adalah seorang sosialis
dan menentang Perang Dunia I. Orangtuanya menganggap Sidis terganggu jiwanya,
dan Sidis dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Sidis meninggal di tahun 1944 di
Boston akibat pendarahan otak pada usia 46 tahun. Hal yang sama dialami ayahnya
pada tahun 1923 pada usia 56 tahun.
Kisah Wiliam James Sidis
adalah salah satu contoh lagi bahwa kecerdasan terbukti gagal memprediksi
kesuksesan sesorang. Kecerdasan merupakan salah satu faktor penentu, namun bukan
satu-satunya faktor, dalam kesuksesan seseorang. Kecerdasan intelektual (IQ) bersama
kecerdasan emosional (EQ), dan daya tahan (AQ) akan menentukan kesuksesan
seseorang. Dan di antara ketiganya, Adversity Quotient (AQ), yang merupakan
daya tahan seseorang dalam menghadapi situasi sulitlah yang paling berperan (baca artikel saya sebelumnya “Adversity
Quotient” di www.suhartono-chandra.blogspot.com/2011/12/adversity-quotient.html).
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar