Sumartono Hadinoto & keluarga |
Suatu
pagi di bulan Mei 2008, saya baru saja mendarat di Bandara Adi Sumarmo, Solo,
Jawa Tengah, dengan pesawat Garuda Indonesia penerbangan pertama dari Bandara
Soekarno-Hatta, Jakarta. Setibanya di pintu keluar, saya menekan sebuah nama di
ponsel saya. Tidak lama setelah terdengar nada sambung, sebuah suara terdengar
begitu hangat menyapa. Sesaat kemudian kami saling berhadapan. Genggaman telapak
tangan seorang pria paruh baya yang saya rasakan mencerminkan pribadi sosok
yang terbuka. Saya duduk di samping pria itu yang duduk di belakang kemudi
Honda Jazz. Selama perjalanan dari Bandara ke kota kami asyik mengobrol dengan
selingan beberapa panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Dengan earphone yang terpasang di telinganya dia
leluasa berbicara di ponselnya. Isi pembicaraan teleponnya lebih banyak terkait
dengan kegiatan/urusan sosial. Seperti pagi itu, seorang warga memberitahukan
dia bahwa baru saja suaminya meninggal dan membutuhkan bantuan. Saat itu juga
beliau menghubungi beberapa pihak dan memberi instruksi-instruksi. Setelah itu
beliau menghubungi kembali warga tersebut dan menginformasikan bahwa semua
kebutuhannya sudah disiapkan. Bagi beliau urusan membantu warga yang sedang
kesusahan harus segera dilaksanakan. Tidak boleh ditunda-tunda. Tanpa terasa
kami sudah tiba di daerah Pasar Gede, tidak jauh dari Balai Kota Solo. Sesaat kemudian
kami menyantap Timlo Sastro, warung timlo yang pertama di Solo, yang sudah
berjualan di samping Pasar Gede sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Selesai
sarapan, saya diajak mampir ke rumah beliau. Itulah pertemuan pertama saya
dengan sosok bernama Sumartono Hadinoto,
yang terlahir dengan nama Khoe Liong Hauw.
Sumartono (kedua dari kanan) saat penyerahan bantuan untuk korban banjir, 29 Desember 2007 |
Martono,
begitu dia biasa dipanggil, lahir, besar dan hingga saat ini tinggal di Solo. Nama
beliau sangat lekat dengan aktifitas sosial di Solo. Tidak heran, karena dia
memang begitu aktif di belasan organisasi sosial. Sebut saja, Perkumpulan Masyarakat Solo (PMS-Ketua Humas & Pelayanan), Lions Club Solo Bengawan (LCSB), Dewan Harian Cabang 1945 (DHC'45-Ketua Biro Sosial Budaya), Yayasan Kesejahteraan Tunanetra
(Yaketuntra-Ketua), Organisasi Amatir
Radio Indonesia (Orari-Ketua), Paguyuban
Alumni Sekolah Warga, International Nature Loving Association (INLA-Ketua Kehormatan), Panti Asuhan
Karya Rahayuning Anak (Karuna-Ketua), Asosiasi Pengusaha Indonesia, Komite Olahraga Nasional
Indonesia (KONI-Ketua Umum) Solo, Palang Merah
Indonesia (PMI-Sekretaris & Komandan Satgana) Kota Solo, Direktur Medical Action Team PMI Solo, Solo
Emergency Response Unit (SERU-Ketua), dan beberapa lainnya. Solo Emergency Response Unit merupakan
wadah penanganan bencana luar biasa yang merupakan gabungan dari berbagai
elemen, seperti PMI, SAR (Search and
Rescue) Unit UNS (Universitas Sebelas Maret), dan Orari. Untuk masalah yang
berhubungan dengan kegawat-daruratan (emergency) dan penanganan bencana,
seperti banjir yang (sering) melanda kota Solo, sosok Martono selalu hadir.
Sumartono (paling kanan) saat banjir di Solo, 6 Januari 2012 |
Seharian
bersama beliau, memberi saya gambaran lebih jauh tentang beliau. Beliau, yang
lahir pada tahun 1956, terlihat begitu gesit dan bersemangat. Energinya seperti
tidak pernah habis. Sepanjang hari itu kegiatan beliau seluruhnya terkait
dengan urusan sosial. Begitu besarnya kontribusi beliau dalam aktifitas sosial
kepada masyarakat kota Solo sehingga dia dinobatkan sebagai satu dari 11 Tokoh
Berpengaruh di Solo (www.kompasiana.com),
urutan ketiga di belakang Joko Widodo (Walikota Solo) dan FX Hadi Rudyatmo
(Wakil Walikota Solo). Aktifitas beliau dalam kegiatan-kegiatan sosial
memancing acara Kick Andy untuk
mengundangnya ke Jakarta. Satu pertanyaan yang menggelitik saya adalah apa yang
menjadi motivasi beliau sehingga begitu aktif dalam kegiatan sosial, padahal
dia juga punya usaha yang cukup berhasil walaupun bukan usaha yang besar
sekali. Saat saya pertama kali bertemu dengan beliau di tahun 2008, pengelolaan
usahanya sudah diserahkan kepada istri, anak perempuan, dan calon menantunya
(saat itu). Beliau hanya fokus mengabdikan waktunya bagi kegiatan-kegiatan
sosial.
Sumartono (kiri), Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo (kedua dari kiri) dalam reality show TATV Solo di Yayasan Kesejahteraan Tunanetra, 25 Mei 2012 |
Menurut Martono, kehidupan
yang sulit di masa kecil berperan besar dalam keputusannya mendedikasikan
waktunya di bidang sosial. Ayahnya, yang pengusaha batik tulis kecil-kecilan,
meninggal saat Martono kecil masih SMP. Kepergian ayahnya membuat rencananya
untuk sekolah ke Belanda menjadi gagal total, karena dia merupakan anak lelaki
satu-satunya. Martono mengambil tanggung jawab membantu ibunya dalam menopang
ekonomi keluarga dengan berjualan batik setelah pulang dari sekolah. Suatu
ketika, dia pernah tidak berhasil menjual selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya usaha batik ditutup. Setelah
lulus SMA, Martono sempat bekerja sebagai asisten toko, dan bekerja di bengkel
variasi mobil untuk waktu yang cukup lama.
Latihan SAR di Waduk Delingan, 9 Pebruari 2012 |
Suatu
ketika di tahun 1986, seorang kenalannya, yang memiliki bisnis interior berbahan
aluminium, akan pindah keluar negeri. Bisnis itu kemudian dikelola dan dibelinya.
Hingga saat ini bisnis tersebut masih eksis. Sejak masa SMA, Martono memang
senang bergaul. Dia aktif berorganisasi. Sifat Martono yang ringan bahu
membantu siapapun tanpa pamrih menambah luas pergaulannya. Prinsip dia adalah
mencari kawan sebanyak-banyaknya dan berkontribusi bagi banyak orang, maka
upaya menabur tidak akan pernah sia-sia. Suatu ketika ada seorang pengusaha
dari Jakarta sedang berada di Solo untuk urusan pekerjaan interior dengan salah
seorang kenalan Martono. Ternyata mobil pengusaha tersebut AC-nya mati dan oleh
kenalannya dipanggillah Martono. Masalah AC mobil terpecahkan. Pertemanan
dengan pengusaha terjalin. Dan selanjutnya hubungan pertemanan berlanjut
menjadi hubungan bisnis. Martono mendapatkan keagenan bahan gypsum dari pengusaha
tersebut.
Perkenalan saya dengan Martono
tak terduga. Saat itu saya menghadapi kendala dalam suatu proyek di Solo. Saya
mencari seseorang yang bisa membantu mengurai benang kusut dalam pekerjaan itu.
Pencarian bergerak dari satu orang ke orang lain hingga pencarian saya beredar
di PMS, dan akhirnya muncullah nama yang direkomendasikan, Sumartono Hadinoto.
Selanjutnya seperti yang sudah saya tuliskan di atas bertemulah saya dengan
beliau. Dengan bantuan beliau persoalan yang ada dalam pekerjaan dapat
terpecahkan. Dan beliau benar-benar membantu tanpa pamrih. Dengan aktifitasnya
di banyak organisasi sosial, Martono tentu memiliki akses ke penguasa. Saya
tahu persis dia sangat dikenal oleh Walikota Solo Joko Widodo maupun Wakil
Walikota FX Hadi Rudyatmo. Demikian pula pengusaha-pengusaha di Solo pasti mengenal
Martono. Namun, tidak sekalipun dia memanfaatkan kedekatannya bagi keuntungan
pribadi bisnisnya.
Sumartono bersama istri dan cucunya |
Sikap
yang ramah, terbuka, semangat, tulus dan tanpa pamrih, serta pergaulan yang
luas merupakan modal yang luar biasa dalam memberi solusi bagi banyak
persoalan. Contohnya adalah bagaimana strategi yang diterapkan oleh Martono berhasil
membangkitkan sebuah radio yang sebelumnya sulit berkembang. Adalah Radio Metta FM Solo, yang sebelumnya
merupakan radio yang dimiliki oleh sekitar 30 orang umat Katolik. Metta sendiri sebenarnya adalah
singkatan dari Marsudi Endah Tata
Tentreming Ati. Martono didapuk menjadi Direktur Utama dengan tugas mengembangkan radio
tersebut. Pertama-tama, Martono membuka sekat eksklusivisme. Kepemilikan radio
dibuka tanpa batasan agama tertentu. Jumlah pemilik dimekarkan menjadi 120
orang yang masing-masing menyetor Rp 10 juta. Visi radio ditetapkan sebagai “Inspiring
Family Radio Station”. Hingga 5 tahun berjalan, keuangan radio masih
kembang kempis, namun perlahan tapi pasti kemajuan terus meningkat. Saat ini,
yang merupakan tahun ke-9, keuangan radio sudah akan mencapai titik impas. Saya
dapat membayangkan, tidak mudah mengelola sebuah bisnis dengan jumlah pemilik modal
mencapai 120 orang. Namun, sosok Martono, yang hanya lulus SMA namun memiliki
prinsip yang kuat mampu melakukannya.
Prinsip itu pula yang membuatnya hingga
saat ini menikmati aktifitasnya di belasan organisasi sosial tanpa beban. Prinsipnya
dalam mengabdikan diri di setiap organisasi sosial adalah, “Bekerja dengan niat baik dan ikhlas. Tanpa pamrih. Dan jangan
berambisi soal kedudukan atau mau memiliki organisasi, karena tujuan kita dalam
organisasi sosial adalah melayani masyarakat luas”, katanya. Dia merasa
kebahagiaan hidupnya sudah lengkap. Keluarga yang mencintainya. Istri yang
setia mendampinginya. Anak yang hidup bahagia, yang sudah memberinya dua orang
cucu laki-laki yang lucu-lucu, Michael dan Jason. Usaha yang berjalan dengan baik. Terlebih lagi, Tuhan masih
memberikannya kesempatan untuk terus berkontribusi dalam perkara-perkara
sosial, membantu banyak orang, mengatasi kelangkaan stok darah, menggalang
bantuan makanan atau bea siswa bagi keluarga tidak mampu, dan tentunya
teman-teman yang bahu membahu dalam kegiatan kemanusiaan.
Michael & Jason, cucu Sumartono |
Dan seperti yang sudah kita
pahami, dalam pengabdian yang murni di setiap organisasi sosial alih-alih
mendapatkan uang kita justru harus sering-sering mengeluarkan uang dari kantong
sendiri. Namun, Martono tetap menikmati itu, dari dulu hingga saat ini tidak
pernah surut semangatnya untuk melayani banyak orang. Life is
not all about money. Hidup bukanlah melulu soal uang. Setidaknya, itulah
yang menjadi prinsip Martono.
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Good Person..Good Activity.. Semoga sukses terus, dan semoga kekgiatan sosialnya tidak berkurang.
BalasHapusWow, inspirator, yg menjadi tokoh utama tesisku
BalasHapus