Foto:
http://www.shnews.co/detile-730-stephanie-handojo-wakili-indonesia.html
|
Respon
kebanyakan orang ketika melihat penyandang sindrom
Down (Down syndrome) adalah rasa
iba. Anak dengan sindrom Down mengalami keterbelakangan perkembangan fisik dan
mental. Sindrom Down, atau dikenal dengan Trisomy-21,
merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh adanya ekstra copy material
genetik pada kromosom ke-21. Nama sindrom Down diambil dari nama orang yang
menjelaskan pertama kali mengenai kelainan tersebut, yaitu John Langdon Down pada tahun
1886. Kondisi itu secara klinis dijelaskan pertama kali oleh Jean Etienne Dominique Esquirol pada tahun 1838 dan oleh Edouard Seguin di tahun 1844. Sindrom Down diketahui sebagai trisomy-21 oleh Jerome Lejeune pada tahun 1959. Sindrom Down berhubungan
dengan keterlambatan perkembangan kognitif dan pertumbuhan fisik (sumber: en.wikipedia.org).
Saya
dapat memahami apa yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak dengan
kebutuhan khusus karena sindrom Down, terutama pada saat-saat awal mengetahui
hal tersebut. Dalam takaran yang sangat kecil untuk dapat dibandingkan dengan
kasus sindrome Down, kami pada suatu masa juga mengalami situasi yang membuat
galau. Anak kembar kami, Dickson dan
Nickson, lahir dengan kondisi yang
sempurna dan bertumbuh secara normal. Tahun kedua usia mereka, kami agak heran
mereka belum bisa berbicara, bahkan untuk memanggil papa dan mama pun mereka
tidak bisa. Mereka memahami instruksi ringan yang kami berikan, tetapi mereka
tidak dapat berbicara. Mereka hanya menarik-narik lengan saya dan menunjuk-nunjuk
ketika mereka menginginkan sesuatu. Kami berpikir bahwa mereka sekedar
terlambat bicara saja. Namun, hingga ulang tahun ketiga mereka tetap masih
belum bisa mengucapkan satu katapun. Kecuali kemampuan bicaranya, hal lainnya
pada Dickson dan Nickson tidak ada yang aneh. Layaknya anak-anak seusianya,
mereka selalu ceria bermain. Akhirnya, kami sepakat untuk memeriksakan Dickson
dan Nickson. Kami kuatir mereka menderita autis.
Puji
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Hasil pemeriksaan di RS Graha Medika
(sekarang menjadi RS Siloam) di Kebun Jeruk, dan di Klinik Khusus Tumbuh
Kembang (KKTK) di RS Harapan Kita Jakarta melegakan kami. Dickson dan Nickson tidak
menderita autis. Walaupun ada spektrum awal dari autis namun belum dapat
dikategorikan autis, bahkan yang paling ringanpun tidak. Pemeriksaan Denver Development Screening Test (DDST) pun
dilakukan. Saat itu usia mereka sudah 3 tahun 2 bulan (38 bulan). Taraf
kematangan perkembangan bahasa untuk Dickson terlambat 19 bulan, artinya
kemampuan bahasa Dickson seperti anak usia 1 tahun 7 bulan. Sedangkan untuk
Nickson, taraf kematangan perkembangan bahasanya mengalami keterlambatan 23
bulan dari usianya, atau sama dengan kemampuan bahasa anak usia 1 tahun 3
bulan. Sejak saat itu Dickson dan Nickson menjalani therapy edukasi (bicara,
membaca, menulis, berhitung) secara intensif 3 kali seminggu selama 2 tahun
hingga usia mereka 5 tahun. Mereka sudah mulai bisa berbicara namun masih belum
terlalu lancar. Saat ini, Dickson dan Nickson akan naik ke kelas 9. Mereka
berdua bertumbuh menjadi remaja yang normal, tidak ada hambatan sedikitpun
dalam berbicara, mereka cerdas dan cukup berprestasi di sekolahnya.
Foto: http://radarsukabumi.com/?p=10079 |
Dalam banyak kasus, dukungan dan perhatian penuh
dari orangtua menjadi sesuatu yang sangat membantu bagi perkembangan anak-anak
dengan kebutuhan khusus seperti anak dengan sindrom Down. Pendidikan, pelatihan
vokasional, lingkungan keluarga yang kondusif, dan penanganan yang tepat dapat
meningkatkan kualitas hidup anak-anak dengan sindrom Down secara signifikan,
menembus batas yang ditetapkan oleh kelainan genetik. Itulah yang dilakukan
oleh pasangan Santoso Handoyo dan Maria Yustina Tjandrasari ketika
mengetahui anaknya, Stephanie Handoyo,
menderita kelainan genetik sindrome Down. Mereka berusaha agar Fani, panggilan akrab Stephanie, tetap
memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak normal pada umumnya. Yustina,
memutuskan berhenti dari pekerjaannya agar dapat memberi perhatian penuh kepada
Fani. Dukungan orangtua dan lingkungan
serta semangat Fani mengantarkannya
menjadi atlit Indonesia pertama yang berhasil meraih medali emas di Special Olympic Games XIII-2011 di Athena pada nomor renang gaya dada 50
meter. Selain bidang olahraga, Fani juga berprestasi di bidang musik. Namanya
tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai penyandang sindrom Down pertama yang mampu memainkan 22 lagu tanpa
berhenti dengan piano. Prestasi di bidang olahraga mengantarkan Fani menjadi salah
satu anak Indonesia yang terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade XXX-2012 di London,
Inggris (Kompas, 29 Mei 2012).Prestasi itu pastilah membanggakan banyak
orang, terlebih jika mengetahui bahwa ada 12 juta anak di 20 negara yang
dinominasikan mendapat kesempatan membawa obor olimpiade London nanti. Semangat
dan dukungan orang terdekat memang menjadi modal bagi Fani untuk berprestasi.
Namun, itu saja tidak cukup. Butuh kerja keras. “Saya latihan piano empat kali dalam semingu, begitu juga renang”,
katanya kepada Kompas. Bahkan, untuk
persiapannya sebagai pembawa obor olimpiade, Fani menambah jam latihan dari
sebelumnya 1 jam menjadi 2-3 jam, dan setiap hari. Fani, penyandang sindrome
Down, mampu menembus batas yang ditetapkan oleh kelainan genetik.
Foto: http://persma.com/baca/2010/04/12/anak-anak-down-syndrome-tetap-berprestasi |
Selain Fani, masih banyak
penyandang sindrome Down di Indonesia yang berhasil menembus batas. Sebut saja Michael Rosihan Yacub, yang
dicatat oleh MURI sebagai atlit golf penyandang sindrom Down satu-satunya di
Asia
Foto: http://titiana-adinda.blogspot.com/2009/07/reviera-anak-down-syndrome-juara-renang.html |
Lainnya, adalah Reviera
Novitasari yang mendapat medali perunggu renang 100 meter gaya dada pada
kejuaraan renang internasional di Canberra, Australia, 11-13 April 2008.
Foto: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2011/03/16/3139 |
Samuel Santoso, mampu menggelar
pameran lukisan tunggal. Pameran lukisan yang digelar untuk merayakan hari Down Syndrome Internasional, yang
jatuh pada tanggal 21 Maret, juga sekaligus mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai
pameran tunggal lukisan pertama yang digelar oleh anak berkebutuhan khusus (Down Syndrome). Dalam pameran itu, Samuel
menggelar 50 karya lukisnya dari berbagai aliran. Dari lukisan bertema
surealis, hingga realis yang dibuatnya dari bahan cat minyak di atas kanvas.
Menurut Djoni Santoso dan Lina Suarny, orang tua Samuel, putranya
menghasilkan sejumlah lukisan itu terhitung sejak tahun 2007 hingga 2010 (http://suaramerdeka.com).
Kelainan genetik yang dialami
para penyandang sindrom Down merupakan kondisi yang sesungguhnya tidak pernah
diharapkan namun tidak dapat ditolak atau diubah. Namun, semangat, dukungan
orang-orang sekitar, dan kerja keras
mereka mampu menembus batas-batas yang ada. Mereka adalah Sang Pemenang.
Prestasi mereka menjadi inspirasi dan pemicu semangat bagi para penyandang
sindrome Down lainnya, juga bagi banyak orang yang dikaruniai kondisi yang
normal. Bagaimana dengan Anda?
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar