Tuhan,
Berikanlah
kekuatan agar kami berani mengubah apa yang bisa kami ubah
Berikanlah
keikhlasan untuk menerima apa yang tidak bisa kami ubah
Dan
berikanlah kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya
Sore
hari itu, Jum’at, 04 Mei 2012, saya masih menunggu di Garuda Executive Lounge Bandara Sultan Hasanuddin, Makasar. Hingga
saatnya boarding call untuk penumpang
Garuda dengan nomor penerbangan GA-643. Saya melirik jam di pergelangan tangan
kiri saya. Hmm.....tepat sesuai dengan rencana. Saya memasukkan iPad ke dalam tas, dan bergegas memasuki
pesawat yang akan membawa saya pulang ke Jakarta. Perjalanan selama dua jam
saya isi dengan membaca surat kabar Kompas,
dan masih sempat menikmati film laga Jet Li yang disediakan dalam pesawat
Boeing 737-800. “Flight attentands,
prepare for landing”, terdengar instruksi dari kokpit pesawat. Kembali saya
melirik jam di pergelangan tangan saya. Tepat sesuai dengan perkiraan, pesawat
akan menyentuh landasan Bandara Soekarno-Hatta pada jam 17.15 WIB. Biasanya, tidak
berapa lama sesudah intruksi pertama akan ada instuksi berikutnya, “Flight attendants, landing position”,
sebelum akhirnya pesawat menyentuh landasan. Namun, yang ada adalah pengumuman
bahwa pesawat belum bisa mendarat karena masih menunggu izin dari otoritas
bandara, dan pesawat kemudian berputar-putar di atas langit Jakarta. Hampir 30
menit berputar-putar, akhirnya terdengar pengumuman dari kokpit bahwa berhubung
izin dari otoritas bandara belum juga keluar, dan pesawat sudah cukup lama berputar-putar
maka diputuskan untuk mendaratkan pesawat di bandara terdekat, yaitu di
Palembang. Pesawat akan mengisi bahan bakar di sana sebelum terbang kembali ke
Jakarta.
Terdengar
reaksi penumpang saling memandang dan bertanya-tanya apa penyebab Bandara
Soekarno-Hatta tidak dapat didarati oleh pesawat saat itu. Waktu menunjukkan
hampir jam 19.00 ketika pesawat GA-643 mendarat di Bandara Sultan Mahmud
Badaruddin II di Palembang. Segera terlihat pertugas bandara setempat masuk ke
dalam kokpit pesawat dan berbicara dengan pilot. Cukup lama kami menunggu,
informasinya simpang siur. Di awal ketika mendarat, diumumkan bahwa penumpang
tidak perlu turun karena hanya untuk mengisi bahan bakar kemudian akan terbang
kembali. Tetapi, akhirnya diumumkan bahwa seluruh penumpang diminta turun
dengan membawa bagasi kabin, masuk ke ruang tunggu bandara, dan menunggu
pengumuman boarding berikutnya tanpa ketegasan
sampai berapa lama penumpang harus menunggu. Setiba di terminal, banyak
penumpang mengakses situs berita detik.com.
Barulah diketahui bahwa situasi tersebut diakibatkan oleh pesawat Singapore
Airline SQ-232 yang terbang dari Sydney, Australia dengan tujuan bandara
Changi, Singapura, yang meminta ijin mendarat di bandara Soekarno-Hatta karena
ada kondisi darurat, dimana seorang penumpang mengalami serangan jantung sehingga
harus diturunkan di bandara Soekarno-Hatta. Berhubung pesawat tersebut adalah
pesawat super jumbo Airbus A-380, pesawat berhenti di landas pacu. Itulah yang
menyebabkan banyak pesawat yang akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta pada
saat itu terpaksa harus berbelok ke Palembang. Demikian juga pesawat yang akan lepas
landas dari bandara Soekarno-Hatta juga terhambat.
Setelah lama menunggu tanpa
ada kepastian, akhirnya saya mendengar pengumuman bahwa pesawat GA-643 akan
diberangkatkan lagi ke Jakarta pada pukul 21.40, karena harus menunggu pilot
dan cabin crew dari Jakarta.
Ternyata, pilot dan cabin crew yang
membawa kami dari Makassar hari itu sudah 3 kali bertugas sehingga harus
diistirahatkan. Situasi tersebut mengakibatkan jadual banyak penumpang menjadi
berantakan. Ada seorang berkewarganegaraan asing rencananya dari Jakarta akan
langsung terbang ke Amsterdam. Ada lagi yang rencananya dari Jakarta terus ke
Semarang. Mereka semua malam itu terpaksa harus menginap dulu di Jakarta untuk
keesokan harinya baru terbang ke tujuannya. Saya sendiri, sebenarnya sudah
merencanakan untuk menonton film ke bioskop bersama anak-anak saya. Tetapi, kenyataannya
terjadi tidak sesuai dengan rencana. Kecewa sudah pasti, demikian juga dengan
penumpang lainnya. Tetapi, saya menyadari bahwa yang terjadi adalah sesuatu
yang tidak dapat saya ubah sehingga saya harus bisa menerima kenyataan
tersebut. Demikian pula saya perhatikan mereka yang malam itu terpaksa gagal
tiba di tujuan akhirnya, bersikap pasrah menerima kenyataan itu. Namun, bagi beberapa
penumpang situasi itu malah berdampak positif. Penumpang yang duduk di kursi
seberang saya, dan beberapa lainnya, ternyata tujuan akhirnya adalah Palembang.
Bagi mereka waktu tiba di Palembang menjadi lebih cepat, karena tidak perlu
menunggu waktu transit di Jakarta sebelum terbang ke Palembang. Bagi saya,
walaupun saya gagal memenuhi janji untuk menemani anak-anak saya menonton film
di bioskop tetapi saya mendapat kesempatan langka untuk berbincang-bincang dan
berdiskusi dengan mantan atasan saya di perusahaan yang saya tinggalkan delapan
tahun yang lalu. Saya katakan kesempatan langka karena walau kami sama-sama di
Jakarta, tetapi untuk mencari waktu khusus berjam-jam untuk berbincang-bincang
banyak hal merupakan kesempatan yang hampir-hampir langka karena kesibukan
masing-masing.
Respon kita ketika menghadapi
suatu situasi jauh lebih penting daripada situasi itu sendiri. Kemampuan membedakan
situasi yang bisa kita ubah dan yang tidak bisa kita ubah merupakan hal yang sangat
penting. Bertindaklah untuk mengubah situasi yang bisa kita ubah. Tetapi, jika
memang tidak bisa kita ubah terimalah situasi itu dengan lapang dada. Sang
Pemenang, seringkali menemui situasi-situasi yang tidak bisa diubah. Hasil
pencapaian bulan ini yang sudah terjadi adalah sesuatu yang tidak bisa kita
ubah, jadi terimalah situasi tersebut dan berpikir jernih untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik di bulan berikutnya. Dengan menerima situasi yang tidak bisa
kita ubah maka kita tidak perlu menghabiskan energi untuk ngotot mengubahnya. Dengan menerima situasi yang tidak bisa kita
ubah maka pikiran kita akan tetap jernih dan menikmati hidup dengan lebih baik.
Daripada marah tidak karuan, saya menikmati 3 jam waktu bincang-bincang dengan
mantan atasan saya. Keterlambatan 6 jam tiba di Jakarta menjadi sesuatu yang
tidak membuat hari saya menjadi kacau. Demikian juga halnya, respon mendiang
Endang Rahayu Sedyaningsih ketika mengetahui dirinya menderita kanker paru-paru
stadium lanjut. Alih-alih “menggugat” Tuhan atas penyakit yang dideritanya,
beliau mensyukurinya dan menerima dengan ikhlas. Dengan respon seperti itu
beliau mampu menjalani sisa waktu hidupnya dengan produktif dan memperjuangkan
program pengendalian kanker dengan lebih giat. Beliau berhasil mengalahkan
dirinya sendiri untuk tidak merespon situasi sulit tersebut secara destruktif.
Sesungguhnya Sang Pemenang sejati adalah mereka yang berhasil mengalahkan
dirinya sendiri.
Salam Pemenang!
Catatan
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar