Maxi (depan berkaca mata) |
Maxi punya passion yang luar biasa terhadap apa
yang dilakukannya. Ini bisa dilihat dari ekspresi wajah dan matanya saat
berbincang mengenai dunia yang digelutinya saat ini. Sebuah pilihan yang lahir
dari jiwanya. Memasak, passion dan
profesi yang sungguh dicintainya.
Restoran Union, yang berlokasi di wilayah elit Plaza Senayan
adalah bukti sukses yang diraih Maxi dalam usianya yang masih muda. Pada jam
makan siang dan makan malam, tampak antrian
panjang menanti meja-meja yang sudah dipesan untuk menikmati sajian menu-menu pilihan dari Maxi dan istrinya, Karen. Jangan harap mendapatkan meja bila
tidak melakukan reservasi terlebih dahulu di restoran ini. Maxi juga sering
dijumpai di berbagai rumah para selebriti, sosialita dan kalangan bisnis kelas
atas di Jakarta. Dia adalah private chef bagi kliennya yang ingin
menikmati menu-menu pilihan Maxi secara personal atau untuk entertaintment bagi para tamu kliennya.
Ternyata, sang Oma adalah sumber inspirasi Maxi. Sang Oma pandai memasak makanan hokkien, bahkan tanpa resep
sama sekali. Masakannya hanya berdasarkan rasa, mata dan penciuman. “Pengalaman bersama Oma sangat membantu saya
menyelami dunia memasak ini”, ujar Maxi. Maxi mengaku tidak
terlalu berprestasi di sekolah, tetapi lebih senang melewati waktunya di tempat
spesial bernama dapur. Saat usia 15 tahun, Maxi tinggal di Perth, Australia bersama ibu dan kedua adiknya. Maxi tak segan bekerja sebagai pencuci piring di
restoran. Pekerjaan itu sungguh
menyenangkan bagi dia, karena
dia dapat menyaksikan bagaimana sebuah dapur restoran beroperasi, mulai
dari Chef yang berteriak sambil menata makanan hingga menikmati suara gemericik
fillet mignon yang di-grill. Maxi bahkan punya kesempatan
mencicipi makanan lezat yang tak bakal mampu dinikmati oleh seorang anak
sekolah. Maxi juga pernah
menjadi pelayan dan food runner di
berbagai restoran. Semuanya ini ternyata merupakan pengalaman yang sungguh
menyenangkan untuk dirinya. “That was fun
too, as you get to meet girls”, katanya sambil tertawa.
Setelah menyelesaikan high-school-nya, Maxi melanjutkan
studinya ke jurusan
bisnis di University of Curtin. Di tahun pertamanya kuliah, insting telah
menariknya untuk menekuni dunia memasak yang sudah menjadi passion-nya. Ternyata
keluarganya juga sangat mendukung keinginan Maxi. “Walau keluarga memberikan dukungan sepenuhnya pada saya untuk
menentukan pilihan, tetap ada pertentangan dan nasehat-nasehat yang diberikan kepada
saya”, ungkap Maxi
sambil mengingat masa-masa itu. Maka setelah menyelesaikan studinya di University of Curtin dan tinggal
6 tahun di Perth dengan kehidupan yang tenang, Maxi mengambil langkah untuk
sebuah perubahan dalam hidupnya. New York di Amerika
Serikat (AS) adalah salah satu kota di dunia yang
memiliki banyak restoran dengan bintang Michelin di dunia. Di tahun 2006,
sederet Chef terkenal bercokol di New York dengan restoran berbintang
Michelinnya seperti Gordon Ramsay, Alain Ducasse, Erick Ripert dan Daniel
Bouloud.
“Saat itu saya adalah seorang anak muda yang siap meraih mimpi bintang
Michelin. Maka saya memutuskan New York adalah tujuan saya”, kata Maxi. Maxi mendaftar di French Culinary Institute. Bersekolah di New York bukan perkara ringan. “Tantangan paling besar adalah finansial dan
kompetisi yang luar biasa berat. New York, AS, dipenuhi para cook muda yang lebih baik dan lebih berpengalaman, yang bekerja di restoran-restoran bagus
dan terkenal”, jelas Maxi. “Luar biasa mahal biaya untuk bisa hidup di Manhattan”, ungkap Maxi mengenai
pengalaman hidupnya disana. “Saya dapat
pinjaman dari ayah untuk biaya sekolah, tapi untuk hidup saya harus mencarinya
sendiri”, tuturnya. “Hotdog adalah makan malam saya, karena
harganya paling murah. Terkadang Mini Mart Korea atau China Town menjadi tujuan saya mencari
makanan karena budget yang terbatas. Tapi justru pengalaman bergaul dengan
berbagai budaya ini sungguh menarik bagi saya”, tuturnya melanjutkan. “Kadang-kadang saya bekerja di perusahaan katering di timur atau selatan Hampston. Saya hampir tak pernah melihat
para super rich berlibur di New York, saya tenggelam di dalam dapur melepas
oyster dari cangkangnya dan menyendoki caviar untuk para miliunner”, ujar Maxi.
Maxi menyelesaikan
sekolah professional cooking-nya
dalam waktu enam bulan.
Suatu hari, saat ia
menikmati santap siang di restoran Asiate di puncak Mandarin Oriental yang
menghadap ke Central Park, Chef Nori Sugi keluar dan menyapanya. Kepada Chef Nori, Maxi
mengungkapkan lezatnya makanan Jepang modern yang di-twist ala Perancis klasik yang disajikan di restoran itu. Ternyata dari perbincangan ini, Maxi
mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan belajar dengan Chef Nori di Asiate. Kemudian, Chef Nori merekomendasikan Maxi kepada
Sous Chef Markus Glocker dari Maze, sebuah restoran yang dimiliki oleh Chef
Gordon Ramsay. Tak disangka-sangka, suatu hari Markus
Glocker menghubungi Maxi dan menerimanya untuk bekerja di Maze di bawah Chef Andy Cook.
“Itu suatu hal yang luar biasa. Saya langsung menghubungi ayah untuk memberitahukan
kabar gembira itu. Inilah titik yang akan mengubah hidup saya”, kata Maxi.
Gordon Ramsay adalah
pemandu acara televisi terkenal Master Chef, dan memiliki sejumlah restoran berbintang Michelin di berbagai kota
besar di dunia. Kesempatan yang luar biasa datang menghampiri Maxi. Namun, perjalanannya bukanlah hal yang mudah. Tantangan terbesar bekerja di
restoran Michelin bintang dua ini adalah fokus dan kompetisi yang berat
diantara para cook muda. “Saya baru selesai sekolah, dibandingkan
dengan rekan-rekan yang lain, pengalaman saya masih tertinggal jauh. Terus terang, saya membuat
banyak kesalahan. Tetapi, saya tak punya pilihan lain
kecuali terus melangkah, merendahkan hati, terus belajar dan tetap berusaha memasak yang terbaik”, ungkapnya bagaimana melewati waktu-waktu
sulitnya.
Maxi kemudian bekerja
selama dua tahun di Restoran Gordon Ramsay di London Hotel, New York, di bawah Head Chef Josh Emmet, pertama sebagai commis atau chef dan
kedua sebagai chef of partie. Selama
dua tahun, restoran ini berhasil mempertahankan dua bintang Michelin yang
diraihnya. “Itu sebuah sebuah pengalaman yang tak bisa
dibeli dengan uang dan merupakan masa yang paling sulit dalam hidup saya”, kata Maxi. Di Restoran Gordon Ramsay, para chef
dituntut untuk profesional dengan passion
yang luar biasa untuk menghidangkan sajian makanan dengan kualitas terbaik.
Para chef dituntut memiliki disiplin yang tinggi dan harus datang di tempat
kerja 15 menit sebelum waktunya. Tidak ada basa-basi saat bekerja disana.
Setiap hari Maxi memasak, memperbaiki makanan yang dihasilkan, memastikan hanya
makanan terbaik yang tersaji, dan pada saat yang sama membersihkan dapur serta
menghadapi tekanan-tekanan yang luar biasa berat di depan stove panas. “Ingat, orang-orang membayar mahal untuk makan disini, itu selalu diucapkan oleh Head Chef Josh Emmet“, ujar Maxi. “Jadi tidak boleh ada satu kesalahan kecil pun”. Setiap proses harus memenuhi standar
kualitas dengan teknik memasak yang juga tingkat tinggi. Ukuran potongan brokoli untuk dihias di atas scallop
harus sempurna. Adonan tepung
harus memiliki tekstur yang tepat agar makanan memiliki kegaringan yang tepat. Saus juga harus memiliki kilau yang tepat
dan sentuhan akhir yang tepat dengan acid.
Chef Table di Restoran
Gordon Ramsay adalah area private dengan
meja marmer tepat di depan dapur dimana para tamu bisa mendengar teriakan dan
omelan para chef sambil memasak. Para tamu ini duduk tepat ditengah aksi
masak-memasak. Tamu-tamu restoran ini membayar mahal, sekitar USD 1600 untuk 8
orang. Para chef diberikan kesempatan
untuk berinteraksi dan menjelaskan makanan yang dihidangkan kepada tamu-tamu
yang berada di Chef Table. “Saya bertemu
dengan orang-orang terkenal, seperti Bruce Springsteen, Woody Allen, Ricky Gervais, dan Daniel
Boulout”, ujar Maxi. “Bertemu dengan mereka membangun
kepercayaan diri saya. Saya memperkenalkan nama saya pada mereka dan
menjelaskan makanan yang disajikan. Itu sesuatu yang luar biasa. Bayangkan pengalaman ini mulai dari terseduh
panci panas, dimaki karena melakukan kesalahan sampai harus menyapa tamu-tamu
yang baru saja menyaksikan sendiri saya dimaki di hadapan mereka”, ungkap Maxi sambil tertawa.
Tuntutan kesempurnaan
dan tekanan yang tinggi menyebabkan Maxi mengalami kelelahan yang luar biasa. Dia merasa menjadi chef yang paling sering dimarahi, diomeli karena paling banyak
membuat kesalahan. Makian dan teriakan ini adalah bagian dari dinamika dapur
Restoran Gordon Ramsay, seperti yang kita saksikan di program televisi Master Chef. “Kesalahan itu tidak murah bila kita memasak lobster atau bagian
terbaik dari daging kambing. Tidak boleh ada celah untuk kesalahan. Setiap kesalahan yang dibuat berarti tamu
harus menunggu lebih lama karena makanan yang tidak sempurna”, jelas Maxi.
Tahun 2009 setelah
krisis Wall Street, Gordon Ramsay memutuskan untuk menutup beberapa restorannya
karena bisnis yang menurun. “Saya punya
pilihan untuk tetap tinggal disana sebagai chef de partie atau memulai
petualangan baru. Akhirnya saya memutuskan untuk memulai sebuah petualangan
baru”, kata Maxi.
Maxi (paling kanan) bersama temannya |
Setelah bekerja keras
selama tiga tahun di New
York, AS dan berbekal uang USD
5000 dia memutuskan untuk ke
Tokyo di pertengahan
tahun 2009. Maxi mengikuti teman-teman baiknya
yang mendapatkan visa liburan sambil bekerja di Jepang. “Saya bosan dengan fine dining dan tuntutan akan kesempurnaan tingkat
tinggi. Saya ingin menyajikan makanan simpel yang lezat dan memiliki nilai
tradisi yang panjang. Jepang tempat yang tepat. Disini dapat ditemui ramen jalanan
yang sungguh lezat, yakitory joint dan izakaya yang menyajikan makanan simpel
dan nikmat”, cerita Maxi.
“Apa yang saya lakukan hanya makan dan minum serta mencari jalan agar
dapat bekerja dan belajar langsung dari orang-orang Jepang pemilik restoran
itu. Karena tidak memiliki visa bekerja, saya mencuci piring sambil belajar
memasak makanan yang segar dengan baik”, tambahnya.
Maxi berkesempatan
bekerja selama seminggu di yakitori joint di Osaka. Pemiliknya
pergi ke pasar setiap pagi, menyiapkan bumbu di siang hari dan membuka
restorannya pada malam hari. Istrinya
membantu menuangkan bir dan anaknya mengambil pesanan makanan. Restoran kecil
ini hanya bisa menampung 20 orang, tetapi tempat ini penuh setiap malam.
Pemilik restoran ini sudah menjalani yakitori
joint ini selama 30 tahun terakhir. “Dari situ saya memetik pelajaran bahwa hidup adalah
belajar setiap harinya. Setelah lebih dari 30 tahun pemilik restoran ini masih
menyiapkan yakitori dengan penuh dedikasi. Sikapnya yang mencintai apa yang
dilakukan adalah hal yang sangat menarik buat saya. Di tengah situasi dimana
bisnis berkembang dengan pesat diiringi denyut kehidupan perkotaan yang cepat, masih banyak orang-orang
Jepang tetap melakukan tradisi yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun, dan
senantiasa menjaga kualitas makanan. Itu adalah amazing experience buat saya”, ungkap Maxi.
Maxi kehabisan uang,
dan memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Saat itu ia masih berumur 24 tahun.
Maxi berpikir untuk mencari pekerjaan di kapal pesiar keliling Eropa dan
menjadi chef di Eropa. Tetapi, ternyata ada jalan lain yang telah disiapkan untuknya di Jakarta. Semula, Maxi ingin mendirikan restorannya sendiri. Namun, dia belum siap secara mental dan finansial.
Maxi juga tidak terlalu mengenal Jakarta. “Saya mendapat
kesempatan memasak untuk sebuah keluarga di rumahnya di bilangan Sunter. Pekerjaan saya yang pertama untuk
menyediakan private dining untuk keluarga yang sangat mengapresiasi makanan dan
ingin menikmati menu sajian Gordon Ramsay di rumah mereka”, cerita Maxi. Maka ia langsung membeli piring dan
perlengkapan dapur, serta meminta tante-nya untuk membantu melayani saat ia
menyiapkan menu dan makanan dari rumah ke rumah. “Saya menjadi private chef dan menyajikan 6 menu makan malam kepada
siapa saja yang ingin entertainment di rumah pribadi mereka. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa
orang-orang Jakarta memiliki selera yang tinggi dan sangat menikmati wine and
dine”, kata Maxi. Kesulitan Maxi adalah
kualitas bumbu dan kuantitas bahan seperti; sea urchins, scallop, bahan lain seperti yang ia butuhkan saat memasak di Gordon Ramsay atau Osaka yang
tidak tersedia di Jakarta. Kalaupun
bahan-bahan itu ada tapi kualitasnya tidak terlalu baik.
Suatu hari di akhir tahun 2009, Maxi berkenalan dengan Karen Carlotta, yang saat itu adalah pastry chef yang baru kembali ke Jakarta dari Paris, dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di Jakarta. Karen menjadi rekan kerja
Maxi, dan sejak saat itu bisnis private
dining mereka berjalan lancar. Maxi tidak melihat kebelakang lagi. Dia menikmati dunia yang ditekuninya, menyiapkan sajian menu-menu lezat
pilihannya sambil menghibur para klien
dan tamunya. Maxi memasak di rumah-rumah mewah, hotel hingga lokasi-lokasi
indah lainnya. “Saya merasa sangat beruntung”, kata Maxi. Akhirnya Maxi
menikahi Karen pada bulan Juni 2011. “Saya
menyadari tidak banyak wanita seperti Karen yang sangat passionate dengan apa
yang dikerjakannya. Hubungan saya dengan Karen berkembang pelan seiring dengan
waktu, dengan kerja keras dan kesempatan yang hadir di hadapan kami.
Kami bepergian ke luar negeri dan menikmati kebahagiaan yang sederhana, menikmati berbagai makanan yang lezat.
Saya dan Karen saling respek, menghargai kerja keras dan saling mendukung satu
sama lain”, ungkap Maxi.
Suatu ketika, oleh temannya Maxi dipertemukan dengan pemiliki
bistro Loewy, yang menjadi
tempat hang-out favorit di Jakarta,
yang akhirnya menjadi partnernya di Restoran Union. Union menyediakan makanan Amerika klasik,
dengan sentuhan Maxi dan Karen. Proyek itu memakan waktu dua tahun. Maxi
dan Karen pergi beberapa kali ke New York, AS untuk mencicipi makanan dan belajar membuat classic bread. Akhirnya Restoran Union dibuka pada bulan July 2011, dan dengan cepat menjadi tempat dining dan hang-out
favorit di Jakarta.
Union adalah tempat
dimana semua orang bisa menikmati makanan Maxi. Maxi meminta para chef-nya untuk memasak berdasarkan rasa, mata dan penciuman, sebagaimana teknik yang dia dapatkan dari sang Oma. Semuanya tanpa
resep. Makanan yang disajikan adalah makanan sederhana namun dimasak dengan
baik. Menunya mulai dari grilled fillet
mignon yang sederhana, dengan fresh
salad dan saus yang lezat dari beef
bone. “Semua menu di Union adalah dari apa yang saya pelajari dari awal di
Singapore, Perth, New York dan Osaka”, ungkap Maxi.
Perjalanan hidupnya
yang penuh tantangan, kerja keras namun juga penuh pengalaman yang tak ternilai. Maxi menyampaikan satu hal yang dipelajarinya, yaitu ‘not to be scared of the unknown, not to be scared of change’. Jangan pernah takut pada hal-hal yang tidak
kita ketahui dalam perjalanan hidup kita, dan jangan pernah takut akan
perubahan. “Saya menjadi lebih kreatif bila saya
tidak berada di comfort zone. Enjoy life, seperti mereka yang tinggal di Perth
atau Osaka, denyut kehidupan yang lebih pelan adalah kunci kebahagiaan”, ungkapnya di
akhir pembicaraan.
Maxi telah melewati masa-masa sulit karena antusiasme yang tinggi
kepada bidang yang sangat dia sukai, yaitu bidang masak memasak. Maxi adalah
Sang Pemenang. Dan perjalanan Sang Pemenang adalah perjalanan tak berujung
hingga Tuhan memanggil pulang. Mimpi Maxi kini adalah membesarkan Kai, putranya agar dapat memberikan pengaruh
yang positif pada dunia, dan membawa Karen
keliling dunia. Ia masih ingin membuka beberapa restoran kecil lagi dan juga
memberikan adik-adik buat Kai.
Salam Pemenang!
Catatan
- Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesian edition”).
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar