Istri
saya sangat mengenal sosok Sang Pemenang yang satu ini. PasaInya, istri saya
mengenal dia sejak awal kuliah di Universitas Atmajaya, Jakarta. Dan mereka
sama-sama aktif di kegiatan bela diri Tae Kwon Do, dan sempat juga untuk
beberapa lama bekerja di perusahan yang sama, sebuah bank swasta terbesar di
Indonesia.
![]() |
Benny, Lilian, Valerie, ibunya, dan Felicia (dari kiri ke kanan) |
Sosok
itu adalah Benny Purnomo. Pria kelahiran 18 September 1967 ini, Direktur Distribution
Network Bank Mutiara. Benny, begitu biasa dia dipanggil, lahir dari seorang
ayah, almarhum Urip Herman Purnomo, dan ibu, yang bernama Maria Lucia Widya Purnomo, 73
tahun. Ibunya dulu adalah seorang guru yang telah mengajar selama 41 tahun. Totalitas dan loyalitas atau kesetiaan ibunya yang
luar biasa terhadap pekerjaannya tanpa terasa menurun kepada diri Benny. Kesetiaan
yang terbentuk karena sikap antusias terhadap setiap tantangan yang dihadapi
dalam perjalanan kehidupannya.
“Ada
dua peristiwa dari sekian
banyak peristiwa yang membentuk karakter saya”,
ujarnya memulai penuturannya. Pertama terjadi saat Benny lulus SMA, ketika dia
akan meneruskan pendidikan ke universitas di tahun 1985. Saat itu terjadi kebakaran
yang menghanguskan semua harta milik
keluarganya.
“Yang tersisa hanyalah pakaian yang menempel di badan”, tuturnya. “Saat itu, ibu meminta bantuan
seseorang yang kebetulan menjadi petinggi agar uang kuliah dapat diberi
keringanan”, lanjut
Benny.
“Petinggi itu mengatakan, ‘Saya tidak percaya seorang guru dapat menyekolahkan
anaknya sampai ke universitas’. Kalimat ini begitu menyakitkan”, kenang Benny. “Betapa
tidak, kalimat itu diucapkan di tengah musibah kebakaran yang sedang kami alami”, sambung
cerita Benny. “Namun justru kalimat itu yang membuat saya menjadi
pantang menyerah terhadap kesulitan”,
ujarnya.
Peristiwa
kedua terjadi pada tahun 1994. Bulan April
tahun itu terjadi lagi kebakaran di rumahnya. Atap rumah
keluarganya habis terbakar. Semua perabot basah
terkena siraman air dari pemadam kebakaran. Bulan Nopember, suami kakak perempuan ibunya meninggal. Seminggu kemudian, kakak ibunya juga meninggal. Dan
puncak kesedihannya adalah tepat pada tanggal 31 Desember, ayahnya pulang menghadap Sang Pencipta.
“Bisa dibayangkan, pada
saat itu ketika semua orang merayakan pergantian tahun, saya menangis di
samping jenasah papa tercinta”, kenangnya
sedih.
“Satu hal yang saya sesalkan adalah papa tidak sempat melihat saya menikah”,
lanjutnya. Benny menikah pada tangal 15 Oktober 1995,
dengan Liliana, yang dua tahun lebih muda dari Benny, yang telah memberinya dua
orang putri, Felicia Purnomo dan Valerie Purnomo yang keduanya masih duduk di bangku SMA.
“Saya bertanya kepada Tuhan mengapa hal ini terjadi?”, ujarnya dengan nada tanya. “Hanya sepuluh bulan sebelum hari pernikahan kami”, tuturnya. “Tetapi justru dengan kedua peristiwa
itu, Tuhan mau mengasah ketahanan saya terhadap badai
kehidupan. Tuhan mengajarkan bahwa kesedihan dan kebahagiaan itu adalah paket
yang membuat kehidupan ini menjadi indah dan bermakna”, ungkapnya.
Benny memulai karir dari
bawah. Setelah lulus universitas, dia diterima sebagai manajemen trainee
di PT Inti Salim Corpora, dan ditempatkan sebagai programmer. “Kuliah ekonomi kok
jadi programmer, ya?”, kenangnya sambil tersenyum. Tiga tahun kemudian, Benny dipindahkan ke PT Bank Central Asia (BCA). “Jabatan saya keren, Kepala Bagian, tetapi pekerjaan
saya adalah pengisi uang di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) sekaligus membersihkan ruang ATM”, ungkapnya sambil tertawa.
Terkait
pekerjaannya saat itu, ada satu cerita yang menunjukkan kesetiaan, komitmen,
dan tangungjawabnya kepada pekerjaannya. Saat itu, tahun 1998 saat BCA di rush habis-habisan. Waktu itu sudah
lewat tengah malam. Istri saya, yang sedang berada di jalur antrian untuk
mengambil uang di ATM di jalan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan, melihatnya
dengan antusias masih sibuk mengatur antrian. Tidak sedikit pun terlihat rasa
lelah di wajah Benny. Walaupun pasti saat itu dia bekerja dengan tingkat stres
dan kelelahan yang tinggi.
Seiring berjalannya waktu, dengan kerja kerasnya karirnya meningkat hingga menjabat sebagai Kepala Biro di BCA. “Pada
tahun 2006, saya ditawari untuk membantu
Bank NISP yang pada waktu itu baru dibeli sahamnya oleh Bank OCBC Singapura”, Benny melanjutkan ceritanya. Selama tiga tahun di OCBC NISP, Benny berhasil menambah 170 kantor cabang baru. Keberhasilannya mengundang tantangan yang lebih besar
dan lebih sulit.
“Tahun 2009, saya
ditantang untuk membantu menyehatkan Bank Century yang baru saja diselamatkan
oleh pemerintah. Pada saat saya menerima tantangan ini, semua orang bilang saya
bodoh dan gila, karena saat itu tingkat
kepercayaan orang kepada Bank Century hampir tidak ada. Padahal dalam
mengembangkan suatu bank, kepercayaan adalah modal dasar yang paling
utama”, ujarnya.
“Pada saat itu saya berprinsip bahwa, hidup itu bukan menunggu badai
berlalu, tetapi bagaimana kita dapat menari di dalamnya”, papar
Benny lebih lanjut. Tepat pada tanggal 1 Mei 2009
Benny bergabung dengan Bank Century.
“Pada saat itu jika saya datang dengan membawa nama
Bank Century ke nasabah, saya diusir dan tidak mau diterima”, ungkapnya. “Akhirnya yang saya
lakukan adalah “menjual diri” saya, dalam artian mengunjungi nasabah dengan
membawa nama sendiri, mengandalkan hubungan pribadi di masa sebelum saya di
Bank Century”, lanjutnya. “Saya meminta nasabah untuk mencoba kembali menaruh
uangnya di Century selama seminggu dengan jaminan diri saya (semacam garansi
personal), dengan jangka waktu mulai harian. Artinya, kalau mereka takut, mereka dapat menarik uangnya
kapan saja. Saya menganjurkan
nasabah untuk tidak membaca koran dan menonton televisi”, paparnya.
“Pada tanggal
3 Oktober 2009, Bank Mutiara lahir menggantikan Bank Century. Bank Mutiara
sangat berbeda jauh dengan Bank Century. Setidaknya ada tiga hal dasar yang
membedakan Bank Mutiara dengan Bank Century”, tutur Benny.
“Pertama,
soal kepemilikan. Bank Century dimiliki oleh orang-orang yang sekarang
menjalani hukuman. Pemilik Bank Mutiara adalah pemerintah Republik Indonesia.
Kedua, perbedaan manajemen. Manajemen Bank Century adalah orang-orang yang
menjalani hukuman sedangkan manajemen Bank Mutiara terdiri atas orang-orang
profesional. Dewan Komisaris Bank Mutiara terdiri atas eks wakil BPKP, bankir Bank
Niaga, dan Pemimpin Redaksi Majalah Perbankan terkemuka. Dewan Direksi terdiri
atas para bankir profesional yang berpengalaman di bidang perbankan lebih dari
sepuluh tahun di bank-bank besar seperti Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA),
Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Lippo. Ketiga, Bank Century tidak
mempunyai budaya perusahaan, sedangkan Bank Mutiara memiliki budaya perusahaan
yang disingkat dengan SPIRIT (Service Excellence, Profesionalism, Integrity,
Relationship, Innovative, Trust)”, papar
Benny menjelaskan perbedaan Bank Century dan Bank Mutiara.
Paska
penggantian nama dari Bank Century menjadi Bank Mutiara, tidak mereduksi
tantangan yang harus dihadapi Benny dan seluruh karyawan Bank Mutiara. Saat itu
kasus dana talangan yang dikucurkan pemerintah kepada Bank Century justru
sedang gencar menjadi bahan berita seluruh media. Tetapi, Benny dan seluruh
karyawan tetap memiliki antusiasme yang tinggi untuk bersama-sama bahu membahu
bagaimana memompa kinerja Bank Mutiara. Para Insan Mutiara, demikian Benny
menyebut karyawan Bank Mutiara, sadar bahwa mereka tidak boleh menyerah. Mereka
tetap berusaha untuk meyakinkan semua nasabah bahwa kemelut politik yang
terjadi tidak akan membuat Bank Mutiara dilikuidasi.
Mereka
mengemukakan dua alasan kuat mengapa Bank Mutiara tidak akan dilikuidasi.
Alasan pertama adalah, jika Bank Mutiara dilikuidasi maka dana talangan senilai
triliunan rupiah yang telah dikucurkan pemerintah itu bukan saja hilang, malah
pemerintah harus menambah dana talangan baru. Suatu hal yang amat sangat tidak
boleh terjadi. Alasan kedua adalah, Bank Mutiara kini adalah bank yang sehat,
jika suatu bank yang sehat dilikuidasi maka akan dapat terjadi ketidakpercayaan
kepada perbankan Indonesia. Jika hal ini terjadi maka akan merusak perekonomian
Indonesia. Suatu hal yang amat sangat tidak boleh terjadi juga. “Saya merasa bahwa dua alasan itu sangat
valid. Hal ini yang secara terus menerus dijelaskan kepada nasabah. Nasabah tidak
perlu ragu untuk melakukan transaksi perbankan dengan Bank Mutiara”, ujar
Benny. “Sekarang
Bank Mutiara sudah menjadi bank yang normal”,
lanjut Benny tersenyum puas.
Perjuangan
Benny menari dalam badai saat itu
sungguh sangat berkesan bagi dia. “Di
tahun 2009 dan awal 2010, saya dan anggota tim direksi yang lain beserta beberapa kepala divisi,
selama enam bulan rata-rata
hanya tidur 2-3 jam per hari termasuk hari sabtu dan minggu”, kenangnya. “Pada saat Ramadhan
2009, saya ikut berpuasa. Kami sahur dan buka puasa di
kantor”, lanjutnya. “Yang
lucu lagi, kalau ada undangan
pernikahan dari nasabah, kami mandi di
kantor, pergi ke undangan, dan
kembali ke kantor. Seluruh aktivitas
saya di gereja terpaksa saya hentikan sementara. Hanya mengajar di Unika Atma
Jaya yang saya teruskan”,
ungkapnya.
Benny
adalah Sang Pemenang, antusiasme yang tinggi terhadap tantangan dan
tanggungjawab atas situasi sulit yang dihadapi telah menjadi sumber energi yang
besar bagi dia untuk mampu menari dengan baik dalam terpaan badai yang dahsyat.
“Kini, tantangan berikutnya adalah
bagaimana bagaimana meningkatkan value Bank Mutiara sehingga bisa dijual dengan
harga Rp 6,7 triliun”, ujar Benny.
“Kunci sukses
saya cuma tiga hal”, katanya. “Pertama, jangan
takut. Jangan takut tantangan, jangan takut hambatan,
jangan takut perubahan. Jangan tunggu badai berlalu, tapi bagaimana kita
memanfaatkan peluang yang ada dalam badai itu. Hidup itu memang tidak mudah
tetapi bukan berarti tidak bisa”, jelasnya.
“Kedua, lakukan seluruh pekerjaan dengan pikiran bahwa hasilnya
akan diberikan kepada orang yang paling kita kasihi. Dengan demikian kita akan
melakukan pekerjaan kita dengan sepenuh hati”,
lanjutnya.
“Dan
terakhir, jangan lupa berserah dan meminta
pertolongan Tuhan untuk setiap aktifitas kita”,
tutur Benny menutup kisahnya. Benny adalah Sang Pemenang.
Salam Pemenang!
Catatan
- Kisah di atas adalah satu dari tiga puluh kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi dengan para sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Buku tersebut telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di seluruh Gramedia.
- Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
- Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.